Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Merawat Demokrasi, Tantangan dan Urgensinya

18 Maret 2022   06:38 Diperbarui: 21 Maret 2022   16:33 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menunda pemilu 2024 tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengkhianati demokrasi. Sumber: gettyimages/Ulet Ifansasti

Kedaulatan berada di tangan rakyat. Itulah demokrasi. Demokrasi merupakan antitesis dari sistem monarki dan aristokrasi.

Demokrasi sering dianggap sistem yang "ideal" dan lebih superior. Meski demokrasi dan implementasinya tidak sempurna, saat ini hampir semua negara di dunia menganut atau mengadopsi sistem demokrasi, termasuk Indonesia.

Di satu sisi, Indonesia punya visi besar. Visi Indonesia 2045 adalah Indonesia maju, berdaulat, adil dan makmur.

Ada empat pilar yang dibutuhkan untuk mewujudkannya: pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Bila bangsa Indonesia serius dan komitmen untuk menjadi negara maju, merawat demokrasi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. =

Kabar baiknya, The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat, indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya. Artinya, kualitas demokrasi Indonesia mulai membaik.

Setelah 5 tahun berturut- turut (2016-2020) mengalami penurunan, meningkatnya indeks demokrasi tahun 2021 patut diapresiasi.

Meski indeks demokrasi meningkat, demokrasi Indonesia belum penuh; masih cacat (flawed democracy). Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

Tantangan dalam merawat demokrasi di Indonesia tidaklah mudah. Meski begitu, demokrasi yang penuh sangat diperlukan untuk mewujudkan impian bangsa Indonesia; visi Indonesia 2045. =

Lalu, apa saja tantangan dalam merawat demokrasi? Mengapa demokrasi yang sehat sangat dibutuhkan dalam upaya mewujudkan visi Indonesia 2045?

Candu kekuasaan?

Demokrasi Indonesia kembali diuji. Wacana memperpanjang masa pemerintahan Presiden Jokowi, dengan menunda pelaksanaan pemilu 2024 atau amandemen UUD 1945, membuat ruang publik kembali gaduh.

Wacana tersebut tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengkhianati demokrasi itu sendiri; pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Konstitusi membatasi siapapun yang menjadi presiden hanya 2 periode. Memang, konstitusi bisa diamandemen.

Namun, tidak ada alasan yang logis, mendesak dan konstitusional menunda pemilu 2024 atau amandemen UUD 1945.

Kita patut curiga dengan motif atau tujuan dari beberapa elit politik dan partai politik yang ingin menunda pemilu 2024 dan mengubah konstitusi.

Lagipula, berdasarkan survei sejumlah lembaga, mayoritas masyarakat Indonesia menolak ide penundaan pemilu 2024 dan amandemen UUD 1945. Bila konstitusi melarang dan konstituen menolak, patut diduga motif atau tujuan dari ide menunda pemilu 2024 dan amandemen konstitusi adalah untuk kepentingan oligarki.

Mengubah aturan atau konstitusi demi mempertahankan kekuasaan atau berada dalam lingkar kekuasaan. Sepertinya kekuasaan sudah menjadi candu.

Bila sudah candu kekuasaan, maka kita perlu mencermati apa yang dikatakan oleh Lord Acton: kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

Meskipun masih sebatas ide atau wacana, memperpanjang masa jabatan presiden dengan alasan dan cara apapun merupakan hal yang tidak patut dan tidak etis. Demokrasi ada bukan untuk melayani kepentingan elit dan penguasa. Demokrasi ada untuk melayani kepentingan setiap orang.

Bila wacana memperpanjang masa jabatan presiden benar-benar terjadi, sangat mungkin indeks demokrasi Indonesia kembali merosot. Dan, tidak menutup kemungkinan bangsa Indonesia semakin menyimpang dari esensi dan nilai demokrasi, sekalipun Indonesia masih mengakui sistem demokrasi.

Ilustrasi menunda pemilu 2024 tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengkhianati demokrasi. Sumber: gettyimages/Ulet Ifansasti
Ilustrasi menunda pemilu 2024 tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengkhianati demokrasi. Sumber: gettyimages/Ulet Ifansasti

Beberapa ahli hukum tata negara berpendapat, menunda pemilu 2024 dan amandemen konstitusi demi mempertahankan kekuasaan adalah langkah awal menuju otoritarianisme. 

Padahal, hasil penelitian Daron Acemoglu dan kolega (2019) menunjukkan, demokrasi berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Bukankah itu bagian dari visi Indonesia 2045?

Korupsi

Salah satu fondasi dari visi Indonesia 2045 adalah pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan. Wujudnya ialah negara yang demokratis, bersih dan kuat.

Memperpanjang masa jabatan presiden dengan alasan apapun merupakan cara yang tidak demokratis. Demokrasi ada untuk membatasi kekuasaan agar terjadi sirkulasi kekuasaan.

Menunda pemilu 2024 atau amandemen konstitusi demi melanggengkan kekuasaan tidak hanya bukti lemahnya komitmen atas proses pemilu, tetapi juga berdampak negatif bagi partisipasi politik dan budaya politik. Tingkat partisipasi politik berpotensi menurun dan budaya politik di tanah air akan semakin parokial

Selain itu, tantangan berat lain dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi adalah korupsi. Sulit dipungkiri bahwa perilaku korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia.

Transparency International mencatat, skor indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2021 adalah 38. Dengan kata lain, korupsi masih menjadi masalah yang serius di Indonesia.

Bila korupsi masih lumrah terjadi di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa dikatakan ketiga lembaga tersebut belum berfungsi dengan baik; cenderung mengutamakan kepentingan pribadi.

Ini bisa kita cermati dari undang-undang yang dibahas dan dibuat legislatif dan eksekutif belum aspiratif. Kebijakan dari eksekutif juga sering tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.

Budaya korupsi menghambat proses dan fungsi demokrasi. Korupsi menghambat investasi, kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan semakin sulit terwujud. Ironisnya, lembaga peradilan sering memberikan diskon hukuman bagi pelaku korupsi dengan alasan yang konyol dan tidak masuk akal.

Adalah hal yang wajar bila skor rule of law index Indonesia tahun 2021 hanya 0.52; berada di posisi 68 dari 139 negara. World Justice Project mencatat, Indonesia sebagai negara hukum masih lemah dalam hal pemberantasan korupsi, peradilan sipil dan peradilan pidana.

Sering kali hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Penegakan hukum di tanah air cenderung semakin jauh dari prinsip adil, independen dan bebas. Supremasi hukum sudah mulai memudar.

Dalam demokrasi, pemerintah bisa berfungsi dengan baik bila ada check and balances. Sayangnya, kita hampir tidak pernah melihat itu terjadi di Indonesia, khususnya dalam beberapa tahun ini. Kita sering melihat elit dan partai politik lebih tertarik berada dalam lingkar kekuasaan atau penguasa.

Menjadi penyeimbang artinya berada di luar istana. Ini yang kurang disukai oleh sebagian elit dan partai politik.

Kalaupun mau menjadi oposisi, perannya kurang "bertaring" dan cenderung bermain aman. Begitu juga dengan DPR. Sebagai lembaga legislatif, perannya dalam check and balances hampir tidak kelihatan.

Eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan pilar demokrasi. Bila ketiga lembaga itu masih lazim melakukan korupsi dan belum melakukan fungsinya dengan baik, kepercayaan publik atas tiga lembaga tersebut akan menurun. Dampak jangka panjangnya ialah publik tidak lagi percaya pada demokrasi (Susan Rose-Ackerman, 2003).

Studi yang dilakukan Transparency International pada 2018 juga menunjukkan, ada korelasi antara korupsi dengan demokrasi. Kegagalan suatu negara dalam mengendalikan korupsi secara berkelanjutan menyebabkan krisis demokrasi.

Korupsi menggerogoti demokrasi. Lembaga yang berkantor pusat di Berlin, Jerman, itu juga menemukan, negara yang memiliki skor indeks persepsi korupsi tinggi cenderung memiliki indeks demokrasi yang tinggi juga.  

Kebebasan sipil menurun

Selain partisipasi politik, budaya politik, fungsi pemerintah, pluralisme dan proses pemilu, indikator lain yang digunakan The Economist Intelligence Unit dalam mengukur kualitas demokrasi adalah kebebasan sipil.

Kebebasan adalah hakikat dan prinsip demokrasi. Kebebasan dalam arti kehendak bebas dan keberadaan setiap manusia tidak dibatasi oleh paksaan, ketidakadilan, perbudakan, jenis kelamin, ataupun lainnya yang merupakan pelanggaran hak asasi setiap individu. Setiap orang punya hak untuk bebas berpendapat, berserikat, beragama dan lain sebagainya.

Sayangnya, menurut The Legatum Institute (2021), kebebasan sipil di Indonesia menurun. Bahkan, kebebasan sipil di Indonesia termasuk buruk; menempati posisi 102 dari 167 negara.

Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya perilaku intoleransi. Wahid Institute mencatat, intoleransi di Indonesia meningkat dari 46% menjadi 54%.

Selain radikalisme, meningkatnya intoleransi di Indonesia berkaitan dengan penggunaan politik identitas dalam kontestasi politik. Politik identitas telah membelah masyarakat dan merusak kohesi sosial. Polarisasi masih sering kita temukan, khususnya di ruang media sosial.

Selain itu, menurut survei Indikator Politik (2020), sebanyak 79,6% responden takut menyatakan pendapat.

Agaknya menghormati pendapat orang lain sudah menjadi pemandangan langka. Pendapat ataupun kritik dibungkam dengan cacian dan stigma negatif. 

Peretasan akun media sosial orang yang mengkritik ataupun berbeda pendapat sudah lumrah terjadi. Perilaku ini tidak mencerminkan esensi dan prinsip demokrasi.

Bangsa Indonesia perlu merenungkan apa yang dikatakan Voltaire: Saya tidak setuju dengan apa yang Snda katakan, tapi akan saya bela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya. Bukankah yang dikatakan oleh filsuf Prancis itu merupakan esensi demokrasi?

Selama kebebasan sipil setiap orang -- dengan keberagamannya -- kurang dihormati, jangan terlalu berharap kualitas demokrasi Indonesia akan meningkat.

Sebaliknya, bila perilaku intoleransi semakin meningkat, kebebasan sipil semakin terancam. Bila kebebasan sipil setiap orang tidak lagi dihormati, maka dengan sendirinya demokrasi akan hilang.

Bila prinsip demokrasi semakin hilang dalam kehidupan berbangsa-bernegara, maka harapan untuk menjadi negara maju pada perayaan 100 tahun kemerdekaan semakin kecil. Karena, ukuran negara maju bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi ataupun pertumbuhan domestik bruto (PDB) per kapita, tetapi masyarakatnya juga sejahtera dan bahagia.

Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, mengatakan, kebebasan -- sebagai prinsip dan hakikat demokrasi -- dapat mendorong kesejahteraan.

Amartya Sen mengatakan, kesejahteraan individu bisa terwujud bila individu tersebut memiliki kapabilitas untuk melakukan dan atau mendapatkan sesuatu. Ekonom asal India itu menambahkan, kapabilitas tiap individu sepatutnya tidak dibatasi ataupun terbatas.

Setiap orang berhak mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas. Itu merupakan amanat konstitusi.

Karena itu, upaya perluasan akses dan perbaikan kualitas di berbagai bidang perlu konsisten dilakukan agar setiap warga negara bisa mendapatkannya.

Hasil penelitian Daron Acemoglu et al (2019) menunjukkan, demokrasi tidak hanya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara, tetapi juga perbaikan pelayanan publik--seperti layanan kesehatan dan pendidikan--dan mengurangi keresahan sosial.

Dengan kata lain, demokrasi memungkinkan perluasan akses dan perbaikan kualitas di bidang kesehatan dan pendidikan, yang merupakan bagian dari pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK serta pemerataan pembangunan, bisa terwujud. Bukankah itu yang sedang diupayakan bangsa Indonesia saat ini?

Satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan adalah perluasan akses dan peningkatan kualitas di berbagai bidang, termasuk kesehatan dan pendidikan, harus dilakukan secara adil dan setara. Seorang anak tidak akan mungkin mendapatkan layanan pendidikan atau kesehatan yang baik, bila ia mengalami diskriminasi karena agamanya.

Seorang pekerja akan sulit mengalami hidup sejahtera bila karirnya, yang berdampak pada pendapatan, dihambat ataupun terhambat hanya karena ia seorang perempuan. Padahal, dengan mendapatkan kesehatan, pendidikan dan pendapatan yang layak setiap orang bisa berkembang; kapabilitasnya meningkat.

Bila kapabilitasnya memadai, kesempatan untuk mengalami hidup sejahtera akan semakin terbuka. Salah satu indikator seseorang dikatakan hidup sejahtera ialah memiliki pendapatan yang baik.

Nah, penelitian Matthew A. Killingsworth (2020) menunjukkan, orang yang punya pendapatan yang baik cenderung bahagia dan lebih puas dengan hidupnya.

Masyarakat Indonesia yang sejahtera dan bahagia sangat mungkin terwujud bila negara menjamin dan menghormati kebebasan sipil setiap warga negara. Dan, setiap warga negara mampu bersikap toleran; menghormati keberagaman dan kebebasan sipil orang lain.

Tidak sempurna, tapi dibutuhkan

Demokrasi memang tidak sempurna dan cenderung membuat kehidupan berbangsa dan bernegara gaduh. Socrates pernah mengkritik demokrasi Athena karena lebih mengutamakan voting atau pendapat banyak orang dengan mengorbankan kebenaran. Bahkan, Plato berani menyimpulkan, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan terburuk setelah tirani.

Selain itu, korelasi antara demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi negara masih menyisahkan perdebatan dan pertanyaan. Ada negara dimana ekonominya bertumbuh, tetapi tidak menerapkan sistem demokrasi, misalnya Tiongkok dan Singapura.

Meski begitu, sejarah menunjukkan, demokrasi dengan segala kelemahannya merupakan pilihan logis bagi masa depan bangsa dan negara. 

Demokrasi memungkinkan setiap warga negara mengkritik pemerintahnya agar berfungsi dengan baik. Demokrasi mendorong negara dan setiap individu menghormati hak asasi manusia.

Demokrasi, bila diimplementasikan dengan baik, memungkinkan setiap manusia mengalami dan menikmati kebebasan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Demokrasi yang penuh merupakan salah satu syarat yang penting dan dibutuhkan bangsa Indonesia agar visi Indonesia 2045 bisa menjadi kenyataan.

Pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan membutuhkan demokrasi yang sehat. Bisa dikatakan demokrasi semacam inkubator visi Indonesia 2045.

Bila bangsa Indonesia berhasil merawat demokrasi, jalan menuju Indonesia maju pada perayaan 100 tahun kemerdekaan tidak akan terhambat. Namun, merawat demokrasi tidaklah mudah. Praktik politik yang candu kekuasaan, perilaku korupsi, dan menurunnya kebebasan sipil adalah tantangan yang harus dihadapi.

Merawat demokrasi agar menjadi demokrasi penuh sangat penting dan mendesak, karena menyangkut masa depan bangsa dan negara Indonesia. Lagipula, setiap warga negara -- apapun latar belakang dan status sosial-ekonominya -- punya tanggung jawab yang sama: merawat demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun