Kita tidak berharap peristiwa yang berpotensi mengancam eksistensi manusia menjadi kenyataan. Meskipun singularitas teknologi dan waktu terjadinya masih menjadi perdebatan, satu hal yang pasti: implementasi kecerdasan buatan dalam kehidupan manusia adalah keniscayaan.
Akan tiba masanya teknologi kecerdasan buatan menjadi kebutuhan yang melekat pada diri manusia. Tampaknya, singularitas teknologi, ketika kecerdasan buatan “unggul” atas manusia, adalah tanda dimulainya era kecerdasan buatan. Puncaknya diperkirakan akan terjadi pada tahun 2136; segala sesuatunya menjadi otonom dan otomatis (Katja Grace et all, 2017).
Saat ini hal yang sangat penting dan mendesak adalah manusia harus mendisrupsi dirinya sendiri. Bagaimanapun, manusia harus menentukan masa depannya sendiri, bukan teknologi. Manusia harus tetap menjadi subjek peradaban. Manusia dipaksa untuk berani mendisrupsi diri sendiri agar tetap relevan dan tidak kehilangan esensi sebagai manusia.
Kai-Fu Lee, pakar kecerdasan buatan asal Tiongkok, mengatakan selama manusia masih kreatif dan punya empati, masa depan umat manusia tetap cerah, meskipun manusia hidup di era kecerdasan buatan.
Lalu, apakah bangsa Indonesia siap memasuki era kecerdasan buatan? Apakah perayaan 100 tahun kemerdekaan yang bersamaan dengan singularitas teknologi -- bila Ray Kurzweil benar -- akan menjadi perayaan sebagai negara maju dan makmur?
Prasyarat menjadi negara maju
Salah satu pilar utama visi Indonesia 2045 adalah membangun sumber daya manusia dan menguasai sains dan teknologi.
Dalam Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur, dijelaskan manifestasi pilar tersebut adalah manusia yang unggul, berbudaya serta menguasai sains dan teknologi.
Manusia adalah aset bangsa. Kualitas suatu bangsa tercermin dari kualitas manusianya. Untuk menguasai sains dan teknologi harus dimulai dari membangun manusia. Manusia harus memegang kendali peradaban.
Di era kecerdasan buatan, meminjam teori Kai-Fu Lee, manusia Indonesia yang unggul dan berbudaya adalah manusia yang kreatif dan punya empati. Ada tiga alasannya:
Pertama, kreativitas dan empati adalah keunggulan manusia yang belum mampu direplika oleh kecerdasan buatan.