Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kecerdasan Buatan Memaksa Manusia Mendisrupsi Dirinya Sendiri

28 Desember 2021   06:30 Diperbarui: 28 Desember 2021   17:33 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya teknologi yang lain, kecerdasan buatan rentan disalahgunakan oleh manusia. Kejahatan siber seperti pencurian data, senjata otonom dan peretasan sistem otomatis adalah sedikit contoh ekses yang mungkin bisa timbul dari kecerdasan buatan. Kita harus jujur setiap ekses yang dihasilkan dari teknologi sebagian besar bersumber dari manusia.

Penyimpangan atau penyalahgunaan kecerdasan buatan sangat mungkin terjadi apabila kita tidak mengaktifkan empati secara kontinu. Empati menolong kita menekan imajinasi dan obsesi liar yang muncul dalam pikiran. Artinya, kreativitas manusia harus diselaraskan dengan kemampuan berempati.

Setiap kreativitas manusia entah itu menggunakan kecerdasan buatan atau tidak, etisnya tidak melanggar nilai kemanusiaan. Teknologi seperti kecerdasan buatan mesti digunakan untuk kebaikan bersama.

Agar setiap hasil kreativitas tidak menimbulkan masalah sosial, kita mesti memiliki kepekaan sosial, salah satunya dengan cara membayangkan diri kita pada posisi orang lain. Sayangnya, tantangan untuk mengaktifkan empati di masa sekarang tidak mudah.

World Economic Forum (WEF) dalam Global Risk Report 2019 menyebutkan tidak ada lagi batas yang jelas antara manusia dan teknologi. Imbasnya kesepian, polarisasi dan lemahnya empati, sebagai ekses teknologi, dialami oleh sebagian besar manusia modern.

Penelitian yang dilakukan Adam Waytz et al (2018) juga menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara teknologi dengan menurunnya empati. Kemampuan berempati menurun atau melemah ketika relasi antar manusia dibangun melalui internet ketimbang relasi dalam dunia nyata.

Tidak hanya teknologi, meningkatnya gangguan kesehatan mental seperti depresi, stres dan kecemasan berkontribusi menurunkan empati kita. Data terbaru Deloitte menunjukkan hampir sepanjang waktu 41% generasi milenial dan 46% generasi Z mengalami perasaan cemas dan stres.

Stres tidak hanya meningkatkan hormon kortisol tetapi juga menghambat kita untuk berempati (Loren J Martin et al, 2015). Bila ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama bukan tidak mungkin empati kita akan tumpul. Tentu, ini bukan kabar baik bagi kemanusiaan kita, termasuk kreativitas.

Ya, empati memberikan pengaruh dalam proses kreativitas. Memahami perspektif dan kebutuhan orang lain bisa menjadi jalan untuk kreativitas. Misalnya, produk yang kreatif akan muncul bila kita memberikan waktu yang cukup untuk memahami kebutuhan orang lain.

Dalam laporan Global Creativity Index 2015, selain talenta, indikator toleransi Indonesia sangat lemah. Semakin tinggi toleransi dalam suatu wilayah maka peluang munculnya ide- ide baru cenderung besar. Ini menjadi magnet bagi orang- orang kreatif -- dengan berbagai latar belakang yang berbeda -- untuk berinovasi (Martin Prosperty Institute, 2015).

Memang empati dan toleransi berbeda. Akan tetapi, sulit membayangkan bila kita mengaku toleran (menghormati keberagaman yang melekat pada orang lain), tapi minim empati (memahami perasaan dan berbagi perasaan dengan orang lain). Dengan kata lain, empati memudahkan kita bersikap toleran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun