"Berapa dada seperempat, Nek?" Teriakku kepada si penjual langganan.
"20.000 Nak. Ayam besar!" Kata penjual sambil memotong ayam itu. Akupun menyodorkan uang 50 ribuan. Dikembalikan si Nenek satu uang 20 ribu dan 2 uang 5 ribu.
"Anak muda," kata si Bapak lusuh, suaranya serak, "Kasih uang lima ribu? Mau beli jengkol." Tunjuknya pada penjual jengkol di seberang si Nenek. Hari pasar seperti sekarang memang rami penjual.
Aku menoleh padanya, terkejut. Permintaan itu begitu spesifik. Lima ribu untuk jengkol? Aku mengira ia akan meminta uang untuk hal-hal yang lebih umum, seperti makan atau ongkos pulang.
"Kenapa jengkol, Pak?" tanyaku, penasaran.
Bapak itu tersenyum kecil nampaklah giginya yang berkarang, menunjukkan deretan giginya yang penuh sisa makanan juga. Aku berdzikir melihat itu. Takut muncul rasa merendahkan. Naudzubillah min dzalik.
"Aku lagi ingin makan jengkol, Nak.."
Aku diam, mencoba mencerna. Di era serba mahal ini, lima ribu rasanya terlalu kecil untuk membeli apa pun keinginan, apalagi jengkol. Tapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tulus dan jujur bahwa ia tak punya daya.
Aku mengeluarkan uang lima ribu. "Ini, Pak. Jengkol saja?" Ia mengangguk lugu dan langsung pergi menyeberang beli jengkol tanpa berterima kasih.
Aku dan nenek penjual ayam cuma bisa geleng kepala. "Ada rezki orang lain, Nak!" Seru penjual ayam.
"Betul Nek. In sya Allah diganti Allah."Jawabku. Sambil menjalankan motor, "Terima kasih ayam, Nek!" Pamitku.