Aku memasukkan separuh santan ke dalam adonan tepung dan menambahkan 3 sendok makan gula pasir, dan 4 gelas air putih. Diaduk hingga santan, gula, tepung, dan air merata. Tak ada tepung menggumpal lagi baru dijerangkan. Begitu Mama dan Ibu mertuaku mengajari dulu.
Nah, bubur putih ala slow living di tengah derasnya hujan dan kehangatan tetangga sudah bisa kita nikmati. Sekarang yuk kita bahas yang tersisa. Slow Living.
Slow Living dan Sejarahnya
Slow living adalah gaya hidup yang menekankan pada hidup yang lebih lambat, sadar, dan penuh perhatian. Filosofi ini menolak pola hidup serba cepat yang kerap melelahkan dan merampas momen-momen kecil yang berharga.
Slow living mengajak kita untuk menikmati kehidupan secara mendalam, lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana seperti momen berbagi dengan tetangga, dengan suami, dan membuat kudapan sederhana tanpa beban.
Sejarah Slow Living
Asal-usul slow living dapat ditelusuri ke gerakan Slow Food yang lahir di Italia pada tahun 1986. Gerakan ini dimulai oleh Carlo Petrini sebagai bentuk protes terhadap pembukaan restoran cepat saji McDonald's di dekat Spanish Steps, Roma.
Petrini dan para pendukungnya mengkritik bagaimana makanan cepat saji melucuti budaya lokal, nilai tradisional, dan kenikmatan makan. Mereka mendorong masyarakat untuk kembali menikmati makanan yang dimasak perlahan, menggunakan bahan lokal, dan merayakan tradisi kuliner.
Keberhasilan gerakan Slow Food memicu lahirnya filosofi serupa di aspek kehidupan lain, seperti pekerjaan, pendidikan, perjalanan, dan hubungan sosial, yang kemudian dikenal sebagai gerakan Slow Living.