Jam berlalu dan Bu Yuli menyampaikan materi seadanya. Tak ada kegiatan tambahan, tak ada cerita pengantar yang biasa membuat kelas menjadi hidup. Ia hanya memberikan penjelasan singkat, kemudian membiarkan anak-anak mengerjakan tugas.
Sore harinya, di ruang guru, suasana tak jauh berbeda. Setiap orang sibuk dengan tugas masing-masing, tapi tanpa senyum atau percakapan hangat yang biasanya mengisi ruangan.
Bu Nina menghela napas panjang, mendongak, lalu berbisik pada Bu Yuli, "Aku merasa seperti robot, hanya sekadar menyampaikan materi."
Bu Yuli pun mengangguk pelan. “Aku juga. Entah kenapa rasanya ada yang hilang... sesuatu yang dulu membuat kita betah berlama-lama di kelas."
"Kita tak perlu menuruti kepala sekolah. Beliau cuma sesaat di sekolah ini. Tugas kita tetap menjaga kualitas sekolah." Tiba-tiba Pak Agus masuk ruangan majelis guru. Semua guru menyambut dengan anggukan.
Hari-hari berlalu dan suasana itu terus berlanjut. Guru-guru yang tak peduli, kelas-kelas menjadi dingin. Murid-murid tak lagi mendapat nasihat atau perhatian di luar pelajaran. Di sudut hatinya, Bu Yuli tahu bahwa semua ini, perlahan-lahan, sedang menggerogoti mutu pendidikan mereka.
Satu demi satu, semangat para guru yang dulu menyala kini mulai padam, hanya meninggalkan jejak-jejak kelelahan di wajah mereka yang sepi dari keceriaan.
Di saat-saat itu, Bu Yuli diam-diam berharap ada yang mengingatkan Pak Herman bahwa guru bukan sekadar mesin yang mengajar. Mereka guru sebagai pemandu, penjaga, dan pembimbing jiwa-jiwa muda, murid mereka.Â
Ketika peran itu dibatasi, yang tersisa hanyalah ruang kosong tanpa asa, di mana mimpi-mimpi masa depan tumbuh tanpa bimbingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H