Di pagi yang cerah, suasana ruang rapat sekolah dipenuhi bisik-bisik kecil dari para guru yang berkumpul. Ada rasa was-was di antara mereka, sebuah kegelisahan yang sudah mulai terasa familiar. Begitu terus perasaan guru jelang rapat.
Pak Herman, kepala sekolah yang tegas itu, akan kembali mengadakan rapat pagi.
"Seperti biasa, pasti beliau akan bilang tugas kita guru hanya mengajar," gumam Bu Nina sambil menghela napas panjang. Beberapa guru mengangguk setuju, wajah mereka tampak lelah bukan karena tugas, tapi karena teguran yang sudah terlalu sering terdengar. Membosankan.
Pintu terbuka dan Pak Herman beserta unsur pimpinan masuk dengan langkah mantap. Rapat dimulai dan tak lama, pernyataan yang sama kembali keluar dari bibirnya.
"Ingat, Bapak dan Ibu. Tugas kalian hanya satu: mengajar. Tidak perlu mencampuri urusan lainnya. Saya sudah memberikan Surat Keputusan untuk mengajar, bukan untuk yang lain."
"Urusan lain serahkan kepada kami selaku unsur pimpinan. Tugas kalian hanya satu: mengajar. Tidak perlu mencampuri urusan lainnya. Saya sudah memberikan Surat Keputusan untuk mengajar, bukan untuk yang lain." Tiga kali kalimat itu beliau ulang.
Pak Agus yang duduk di barisan belakang menunduk. Ia ingat betul bagaimana kemarin ia menghabiskan waktu istirahat untuk menasihati dua siswa yang terlibat perkelahian. Usahanya ternyata tak dianggap, bahkan nyaris mendapat teguran.
Di ujung ruangan, Bu Yuli menatap papan tulis kosong dengan pandangan hampa. "Kalau hanya mengajar, apa yang bisa kita harapkan dari anak-anak ini selain nilai di atas kertas?" pikirnya, namun suara itu hanya ia simpan dalam hatinya.
Satu per satu, guru di ruangan itu merasakan semangat mereka yang dulu menyala kini mulai padam.