Pagi itu udara di dalam kelas terasa tegang. Bukan karena ada ulangan atau tugas yang mendadak. Tetapi karena suasana hati anak-anak kelas 9 yang sedang tidak menentu.
Bu Rina, sang wali kelas, duduk di depan meja guru. Ia mengamati setiap wajah yang tampak tak sabar itu. Beberapa dari mereka tampak lesu, sebagian lagi terlihat gelisah, dan hanya sedikit yang berusaha menjaga senyuman di wajah mereka.
Sudah dua minggu sejak mereka menerima pengumuman hasil ujian tengah semester dan hari ini adalah waktu untuk diskusi hasilnya. Bu Rina tahu tak semua dari mereka siap menerima kenyataan. Mata-mata yang biasanya penuh semangat itu kini meredup seperti langit yang tertutup mendung.
Namun, bukan itu yang membuat suasana terasa tegang. Rasa frustrasi yang ada di kelas itu lebih dari sekedar nilai. Ada yang hilang dalam dinamika antara guru dan murid selama beberapa bulan terakhir, kepercayaan dan rasa hormat yang dulu kuat kini seolah perlahan memudar.
"Saya tahu kalian sudah bekerja keras," kata Bu Rina akhirnya, memecah keheningan. Suaranya lembut, namun bergetar oleh kejujuran yang ia simpan sejak lama. "Tapi mungkin kalian merasa saya belum sepenuhnya ada untuk kalian."
Anak-anak terdiam. Beberapa dari mereka melirik ke arah teman bingung apakah mereka harus menanggapi atau tidak.
Bu Rina menarik napas panjang. Ia sudah mengajar selama hampir dua dekade, namun ini adalah kali pertama ia merasa bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara ia mendekati murid-muridnya.
Dalam hatinya, ia tahu bahwa menjadi otoriter bukanlah solusi, tapi rasa lelah dan tekanan membuatnya tanpa sadar memaksakan kehendaknya pada siswa-siswa yang seharusnya ia bimbing.
"Aku ingin minta maaf," katanya pelan, membuat beberapa anak mendongak. "Mungkin aku terlalu keras. Mungkin aku terlalu banyak menuntut tanpa memberi kalian kesempatan untuk berbicara."