Fenomena #Desperate di LinkedIn dan Realitas Sulitnya Mencari Kerja
LinkedIn menjadi platform utama bagi para pencari kerja. Mereka membangun jaringan dan mempromosikan diri di platform ini. Namun, ada fenomena baru yang cukup mengejutkan: pekerja muda kini mulai menyematkan tagar #Desperate di profil mereka.
Tagar ini konon muncul sebagai bentuk bagian dari keputusasaan sebagian dari mereka karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Fenomena ini kian ramai di kalangan generasi Z dan milenial. Akibat merasa frustrasi setelah berbulan-bulan mencari pekerjaan tanpa hasil.
Salah satu kekhawatiran terbesar dari penggunaan tagar ini adalah risiko yang dihadapi pencari kerja. Memasang tagar #Desperate bisa membuat mereka terlihat rentan. Keadaan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menawarkan upah yang lebih rendah.
Selain itu, beberapa ahli perekrutan menyarankan agar pencari kerja tidak sembarangan melamar pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian mereka, karena hal ini bisa memperburuk reputasi profesional mereka.
Di sisi lain, ada juga anggapan bahwa dengan menunjukkan keputusasaan, para pencari kerja berharap menarik perhatian lebih cepat. Namun, apakah ini benar-benar ngaru sebagai solusi yang efektif, atau justru kontra-produktif?
Bagaimana Menyikapi Keputusasaan dalam Mencari Kerja
Sulitnya mendapatkan pekerjaan adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tingkat kompetisi tinggi, ditambah dengan ketidakpastian ekonomi saat ini. Hal inilah yang membuat banyak pencari kerja merasa tertekan.
Tagar #Desperate pun menjadi cerminan dari kondisi emosional banyak pekerja muda yang merasa bahwa usaha mereka tidak membuahkan hasil. Namun, apakah menampilkan keputusasaan ini berpengaruh? Ngaru nggak sih.
Memang, transparansi mengenai kondisi pencari kerja dapat menunjukkan keberanian dan keterbukaan. Namun, seperti yang dikhawatirkan banyak orang, memasang tagar ini justru bisa memberikan kesan negatif di mata perekrut.