Qeira hanya tertawa. “Menulis cerita? Apa yang mau kita tulis?”
“Tentang petualangan kita! Tentang hujan! Tentang kehidupan kita sebagai kakak adik! Pasti lebih seru lagi bila masih ada Rina, ya Kak?”Ia mengingatkanku tentang adik bungsu kami yang sudah tiada.
Rani selalu punya banyak ide. Dia sering mengatakan hidup adalah cerita yang menunggu untuk diceritakan. Namun kini, Rani sudah juga tak ada. Cerita itu tetap belum dituliskan.
Qeira pun memejamkan mata. Ia merasakan perih yang menyeruak dari dalam hatinya. Ia tahu, hari ini bukan sekadar menulis untuk mengisi halaman kosong di laptop. Hari ini, ia harus menulis untuk Rani. Untuk mengenang adik keduanya yang pergi terlalu cepat menyusul adik ketiganya. Untuk memenuhi janji yang tak sempat ditunaikan ia mulai mengetik.
---
Jejakmu di Bawah Hujan, Dek!
Hujan selalu membawa kenangan tentangmu, Rani. Tentang tawa yang kau bawa setiap kali kita menari di bawah rinainya.
Tentang mimpi-mimpi yang kau bisikkan, mimpi tentang dunia yang penuh petualangan.
Kau bilang, suatu hari kita akan menulis cerita bersama. Cerita tentang tiga kakak beradik yang menemukan dunia mereka di balik rintik hujan...
---
Kata-kata mengalir tanpa henti. Qeira tak lagi peduli pada hujan di luar yang semakin deras Apalagi pada kopi yang sudah dingin. Yang ada hanyalah kenangan tentang Rani, perlahan menjelma menjadi cerita.