Cerita di Balik Tulisan: Mengukir Jejak di Kompasiana
Menjadi bagian dari Kompasiana adalah sebuah penemuan berarti dalam hidupku. Perjalanan hidupku yang biasa sekarang menjadi perjalan hidup yang penuh warna. Mulai dari langkah pertama mengunggah tulisan hingga akhirnya merasakan dampak kemudahan di kemudian hari.
Berawal tahun 2022. Tepatnya 19 Juni 2022. Aku beranikan diri mengunggah tulisan di sini. Di tengah tahun Masehi dan di penghujung tahun Covid-19. Aku memberanikan diri menulis di platform ini. Ketika tulisan pertamaku tayang, aku deg-degan.
Nanti dibilang plagiat gimana? Aduh deg-degan banget saat itu. Pas tulisanku keluar, duh bangganya. PILIHAN. seminggu kemudian jadi ARTIKEL UTAMA. Wow senangnya hatiku.
Lama aku pandangi tulisan itu. Kuresapi. Ternyata aku berhasil. Sejak saat itu aku semangat menulis di sini. Jatuh bangun mendapatkan tulisan PILIHAN. Kadang dapet. Kadang nggak. Apalagi ARTIKEL UTAMA.
Langkah selanjutnya aku pun mempelajari cara dapet K-Reward. Aku baca syarat dan ketentuan. Kamu baca aja sendiri ya. Buka aja poin K-Rewards paling akhir kanan atas. Wow....September 2022 aku dapat K-Rewards.
Bagiku dan banyak penulis lain, Kompasiana bukan sekadar platform berbagi cerita tetapi sudah menjadi sebuah ruang keluarga. Di ruang ini inspirasiku tumbuh, jaringan antar penulis (kompasianer) terjalin. Dari pergaulan dan komunitas ini dampak-dampak yang tidak terduga muncul.
Bagiku, setiap tulisan di Kompasiana adalah refleksi diri pengalaman, perasaan, dan gagasan yang ingin disampaikan kepada khalayak luas. Salah satu tulisan yang sangat berkesan bagiku lahir dari pengalaman pribadi tentang hubungan dengan keluarga. Bagaimana proses membentuk karakter anak.
Khususnya kisah bersama keluarga dan muridku di sekolah. Artikel itu tidak hanya mendatangkan apresiasi dari pembaca, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang makna keluarga, kedekatan, dan cara kita memaknainya dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya ada di sini.
Dampak yang dirasakan setelah tulisan tersebut tayang sungguh di luar dugaan. Banyak komentar yang masuk dari teman kompasianer. Berbagi pengalaman serupa, hingga menambah relasi dengan sesama penulis yang memiliki kesamaan pandangan di sini.
Tidak hanya menambah pembaca setia, namun juga memberikan rasa ketagihan untuk terus menulis dan berbagi cerita di Kompasiana. Perasaan bahwa cerita sederhana yang kami tulis bisa memberi pengaruh bagi orang lain adalah hal yang luar biasa tentunya.
Seiring waktu akupun menemukan bahwa Kompasiana adalah ruang kolaborasi yang unik. Di sinilah aku bertemu dengan banyak orang yang 'sefrekuensi. Mereka penulis-penulis dengan minat yang sama. Pada akhirnya memungkinkan kami berkontribusi dalam gerakan-gerakan yang berdampak lebih luas bagi masyarakat.
Salah satu gerakan yang pernah kami ikuti adalah kampanye literasi. Tulisan-tulisan kami berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membaca dan menulis.
Di antara semua penulis hebat di Kompasiana, ada beberapa yang benar-benar menginspirasi tentuya. Bahkan karena apresiasi mereka aku berani lanjut menulis. Terutama mereka yang konsisten menulis dengan gaya yang autentik dan berani menyuarakan kebenaran.
Masih ingat satu tulisan tentang isu sosial yang ditulis oleh salah satu Kompasianer favorit kami. Tulisan itu begitu kuat dalam narasi dan mampu menggugah kesadaran banyak orang tentang isu tersebut. Pengalaman ini membuat kami semakin termotivasi untuk menulis lebih banyak, dengan harapan dapat memberi dampak serupa.
Yah, bahkan tulisanku sering lho digantung. Aku dapat pesan, sabar ya. Tulisan Anda tentang ini sedang kami periksa. Bla bla bla. Eh tahunya. ARTIKEL UTAMA.
Kompasiana, sebagai tempat berbagi dan bercerita, telah menjadi bagian penting dari perjalananku sebagai penulis. Setiap artikel yang ditulis tidak hanya menjadi sebuah catatan, tetapi juga pintu menuju diskusi yang lebih luas dan peluang untuk mempengaruhi banyak orang.
Kini, setelah kamu 16 tahun, Aku tak hanya mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi juga bersyukur karena bisa menjadi bagian dari perjalanan panjang ini. Kompasiana: Aku Menemukan Jejak Kemudahan di Dirimu, Kompasiana.
Engkau telah memberi ruang bagi kami untuk berkembang dan kami yakin masih banyak cerita yang menanti untuk ditulis sebagai tikam jejak kami. Sudah 3 tahun aku membawa muridku menulis di Kompasiana. Akupun menjadi mudah menilai keunique-an tulisan mereka.
No Plagiat karena Kompasiana sangat teliti dalam mendeteksi tiap tulisan. Keren dan memudahkan.
Empat kali empat, enam belas. Selamat ulang tahun, Kompasiana! Teruslah menjadi ruang inspirasi bagi banyak orang. Ini Kupersembahkan untukmu dan Kompasianer Ibu Icha. Marisa Haque. Artis idola saat aku SMP.
Jejakmu di Bawah Hujan
Hujan turun deras di sore itu. Ia membasahi jalanan yang sepi. Qeira menatap keluar dari balik jendela kamarnya. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang sudah mendingin. Pikirannya melayang jauh.
Di sudut meja, laptopnya terbuka, memperlihatkan layar kosong yang belum terisi satu kata pun. (Mirip ruang tulis Bunda Roselina Nih. Ayahanda, Tjip)
“Hari ini harus menulis!” Gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, inspirasi seakan lari dari jemarinya. Ia mencoba menulis beberapa kata tapi semuanya terasa hampa.
Hujan yang menderas di luar justru membuatnya tenggelam dalam kenangan yang tidak seharusnya datang hari ini.
Tiba-tiba saja, bayangan adiknya, Rani, terlintas di benaknya. Rani, yang selalu ceria dan penuh semangat, kini sudah tidak ada lagi. Rani telah pergi tiga hari lalu, meninggalkan kekosongan yang tak pernah bisa terisi.
Qeira menarik napas panjang, berusaha mengusir perasaan sedih yang tiba-tiba menyergap. Qeira masih ingat hari itu. Hujan turun seperti sore ini. Mereka berdua berlarian di bawah guyuran air dari langit.
Rani tertawa, sementara Qeira berusaha melindungi kepalanya dengan tangan, meski akhirnya menyerah. Mereka basah kuyup, namun tawa Rani menghangatkan sore yang dingin itu.
“Kak, kapan-kapan kita harus menulis cerita bersama!” Kata Rani waktu itu, sambil melompat di atas genangan air. Ada lantai teras yang rendah. Air hujan pun menggenanginya.
Qeira hanya tertawa. “Menulis cerita? Apa yang mau kita tulis?”
“Tentang petualangan kita! Tentang hujan! Tentang kehidupan kita sebagai kakak adik! Pasti lebih seru lagi bila masih ada Rina, ya Kak?”Ia mengingatkanku tentang adik bungsu kami yang sudah tiada.
Rani selalu punya banyak ide. Dia sering mengatakan hidup adalah cerita yang menunggu untuk diceritakan. Namun kini, Rani sudah juga tak ada. Cerita itu tetap belum dituliskan.
Qeira pun memejamkan mata. Ia merasakan perih yang menyeruak dari dalam hatinya. Ia tahu, hari ini bukan sekadar menulis untuk mengisi halaman kosong di laptop. Hari ini, ia harus menulis untuk Rani. Untuk mengenang adik keduanya yang pergi terlalu cepat menyusul adik ketiganya. Untuk memenuhi janji yang tak sempat ditunaikan ia mulai mengetik.
---
Jejakmu di Bawah Hujan, Dek!
Hujan selalu membawa kenangan tentangmu, Rani. Tentang tawa yang kau bawa setiap kali kita menari di bawah rinainya.
Tentang mimpi-mimpi yang kau bisikkan, mimpi tentang dunia yang penuh petualangan.
Kau bilang, suatu hari kita akan menulis cerita bersama. Cerita tentang tiga kakak beradik yang menemukan dunia mereka di balik rintik hujan...
---
Kata-kata mengalir tanpa henti. Qeira tak lagi peduli pada hujan di luar yang semakin deras Apalagi pada kopi yang sudah dingin. Yang ada hanyalah kenangan tentang Rani, perlahan menjelma menjadi cerita.
Waktu berjalan tak terasa, akhirnya Qeira menyelesaikan ceritanya. Ia membaca ulang, merasakan kehangatan yang entah datang dari mana. Mungkin dari kenangan itu sendiri, atau mungkin dari perasaan lega setelah akhirnya bisa menuliskan kisah yang selama ini tertahan.
Qeira menatap keluar jendela lagi. Hujan mulai reda, menyisakan titik-titik air yang mengalir perlahan di kaca. Ia tersenyum kecil. Di luar, genangan air membentuk jejak-jejak samar, seperti jejak langkah mereka bertiga dulu.
Rani dan Rina mungkin sudah tidak ada, tapi cerita mereka kini telah terukir abadi. Qeira menutup laptopnya. Kali ini dengan perasaan lebih ringan. Petualangan mereka di bawah hujan telah selesai diceritakan.
Seperti biasa, hujan akan selalu membawa jejak kenangan itu kembali. Qeira berjanji dalam hati bahwa ia akan menulis dan menulis lagi di sini. Melanjutkan tulisan dengan cerita generasi Gen-Z dan Alpha. Tentang karakter anak bangsa.
Selamat ulang tahun yang ke-16, Kompasiana!
Selama 16 tahun ini, Kompasiana telah menjadi rumah bagi para penulis seniorku seperti Mb Icha di tahun 2010. Engkau menjadi ruang untuk berbagi cerita, ide, dan inspirasi.
Terima kasih telah menjadi wadah yang selalu memberi tempat bagi kami yang ingin menyuarakan pikiran dan perasaan. Semoga Kompasiana terus tumbuh menjadi komunitas yang lebih kuat, terus memberikan dampak positif, dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya.
Empat kali empat, enam belas. Sempat tak sempat, kami ucapkan, Selamat ulang tahun, Kompasiana! Teruslah menjadi ruang cerita bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H