Nampak Rara mengamati dengan serius. "Koto Gadang itu di mana, Bun?"
"Koto Gadang itu sebuah nagari di Sumatera Barat ini, Ra. Daerah itu emang daerah adat. Terkenal dengan rendangnya yang kaya rempah dan lebih pedas dibandingkan rendang dari daerah lain.
Resep ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Awalnya, rendang diciptakan sebagai makanan yang tahan lama untuk dibawa para perantau Minang ke rantau karena rendang bisa bertahan hingga berminggu-minggu tanpa rusak." Lanjutku bercerita sambil menumis.
Setelah bumbu matang sempurna, aku tambahkan santan dan terus mengaduknya perlahan-lahan.
"Nah, ini kuncinya bikin rendang, sabar. Rendang harus dimasak lama dengan api kecil supaya bumbu dan santan meresap ke dalam dagingnya."
"Berapa lama, Bun?" tanya Rara penasaran.
"Beberapa jam, Sayang. Tapi nanti hasilnya luar biasa. Dagingnya empuk dan bumbunya menyerap sempurna."
Sambil menunggu rendang matang, kami duduk bersama di meja makan. Kami berbincang tentang mimpi-mimpi Rara yang ingin menjadi dokter. Aku bercerita tentang masa kecilku di Koto Gadang, di sana aku belajar memasak rendang dari nenekku sejak umur 5 tahun.
Aku ingat bagaimana nenek selalu berpesan bahwa rendang itu bukan sekadar masakan, tapi simbol ketahanan, ketulusan, dan kesabaran seorang wanita. Pada saat kuah rendang mulai kental, aku memasukkan potongan daging satu-satu hingga habis.
Sesekali aku dan Rara bergantian mengaduk agar dasar kuali tak hangus. Beberapa jam kemudian, aroma sedap rendang mulai menguar memenuhi rumah. Rara membantu mengaduk untuk memastikan semua bumbu tercampur sempurna.
Rendang asli Koto Gadang ini sudah terlihat mulai menghitam, dengan minyak santan yang mulai keluar, menandakan masakan sudah siap.