Ai selalu mengingat pesan kakaknya, " Ai, kamu dek tak boleh berkecil hati kepada orang lain. Ingat, apakah kamu sudah pernah berbuat baik pada orang lain? Apakah kamu sudah memberi sesuatu kepada mereka? Bila tidak. Kamu tak boleh kecewa pada orang itu."
"Bahkan sudah kamu santuni pun mereka, kamu tetap tak boleh berharap balasan dari mereka. Hasbunallah. Cukup Allah tempat kita berharap, Dek!" Lanjut beliau. Soal ginian, Kakak memang jagonya. Tiga jam pun beliau oke ceramah. Hi hi hi.
Pagi sudah tiba. Rumah terasa sunyi. Di ruang tamu suara televisi terdengar menyala. Di sudut, kedua abangku, Budi dan Antok duduk. Semalam saja mereka tak menghadiri ulang tahun Ai.
Wajah mereka nampak kaku malah mereka melirikku dengan kekesalan. Hah, mereka sedang marahan. Penyebabnya pasti deh utang lagi.
Seminggu yang lalu Budi meminjam uang kepada Antok untuk bayar cicilan motor iparnya. Antok sebenarnya tak suka meminjamkan uang. Ia terpaksa merelakan sebagian tabungannya. Apalagi masa sedang sulit begini. Pelanggan Pecel Lele lagi sepi.
Antok berharap Budi harus segera mengembalikan uangnya dalam waktu seminggu. Namun, sudah lima belas hari berlalu, uang itu belum juga kembali.
Antok biasanya kalem, akhirnya meledak tiga hari lalu. Hingga mereka lupa kumpul semalam. Akibatnya Ai merasa sendiri. Ai sangat sayang kepada dua abangnya.
“Budi, utangmu kapan mau dilunasi? Aku butuh uangnya buat bayar kuliah Rere anakku,” kata Antok dengan nada dingin.
Budi, yang tampaknya masih tenang, hanya menjawab dengan nada santai, “Sabar, Tok. Nanti aku bayar, tunggu aja iparku melunasinya.”
“Tunggu sampai kapan? Katanya cuma seminggu!” Anto membalas dengan suara yang mulai meninggi.
Sejak saat itulah, mereka tak saling bicara. Feni yang biasanya menjadi penengah, kali ini merasa tak punya kuasa. Ia pun sedang keret. Sedang tak punya uang. Jumlahnya lumayan gede. 7 juta.