Berikut cerpen ulang tahun untuk adikku, semoga kamu suka!
"Kue Ulang Tahun dan Bintang di Langit, lihat Dek teriakku hari ini."
Malam pun tiba, Ai sedang duduk di depan jendela kamarnya. Ia memandangi bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Hari ini ulang tahunnya yang ke-41. Ia merasa ada yang kurang.
Biasanya, setiap ulang tahunnya, rumah akan ramai dengan suara tawa teman-teman dan saudara-saudaranya. Akan ada pula tumpukan hadiah di meja dan kue besar dihiasi lilin warna-warni. Namun, tahun ini berbeda.
"Kak, kenapa ulang tahunku sepi tahun ini? Mereka melupakanku ya, Kak" Tanya Ai dengan suara pelan saat kakaknya, Fina, masuk ke kamar. Wajah adiknya itu terlihat murung dan sedih.
Fina tersenyum. Ia membelai tangan adiknya dan duduk di sampingnya. "Tahun ini kita rayakan dengan cara yang berbeda, Ai." Katanya lembut sambil merangkul adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Tapi Kak, aku ingin seperti dulu, ada pesta besar, ada abang-abang, dan teman-teman datang..." Ai menunduk. Ia berusaha menahan air matanya. Air mata pun mulai menggenang di sudut matanya.
Fina berpikir sejenak. Ia pun ikut bersedih. Tak ingin ikut murung apalagi terjebak dalam kungkungan kesedihan. Lalu, dengan semangat, ia berkata, "Bagaimana kalau kita buat malam ini menjadi lebih spesial dari yang pernah ada, Dek?"
Ai mengangkat wajahnya. Ia penasaran. Ia mengerutkan dahinya. 'Emang bisa?' Tanyanya dalam hati. Ia menatap wajah kakak satu-satunya, "Caranya?"
Tanpa menjawab, Fina segera bangkit dan mengajak Ai ke dapur. Di sana, kue sederhana sudah ada di atas meja. Kue itu dihiasi lilin kecil di atasnya. Bukan kue mewah seperti biasanya. Tapi ada kehangatan yang terpancar dari kue itu.
Fina menyalakan lilin dan mematikan lampu dapur. Ruangan menjadi temaram. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya lilin berkilauan. Sesekali blitz halilintar dari pentilasi rumah muncul. 'Mudahan hujan tertunda,' bisik hati Fina. Ia takut adeknya kecewa.
"Dek, Sebelum kamu tiup lilinnya, mari kita keluar sebentar," ajak Fina.
Mereka pun berdua keluar ke halaman belakang rumah. Mereka membawa kue ulang tahun itu. Ai pun melihat ke atas dan seketika ia terpesona. Ternyata langit penuh dengan bintang-bintang. Mereka berkelap-kelip seperti ikut bersorak merayakan ulang tahunnya.
Fina menunduk. Ia pun menyodorkan kue yang bercahaya itu ke Ai.
"Sekarang, buatlah permohonan," ujar Fina lembut.
Ai menutup mata, memikirkan keinginan terbesarnya. Lalu, ia membuka mata dan meniup lilin dengan senyum yang lebar.
"Sudah," kata Ai tak begitu riang.
Fina mengusap punggung tangan adiknya. Punggung tangan itu gemuk dan putih. "Apa kamu tahu, Dek? Bintang-bintang itu juga menyanyikan lagu ulang tahun untuk kita malam ini."
Ai tertawa kecil sambil menggeleng, "Masa, Kak? Kakak masih saja memperlakukanku seumuran belasan tahun."
Fina mengangguk penuh keyakinan. "Iya, mereka pun bilang, Selamat Ulang Tahun, Ai. Mereka janji akan selalu bersinar, memberikanmu cahaya di setiap langkahmu. Semangat, Dek!"
Malam itu, air mata Ai pun menetes. Meski tanpa pesta besar atau keramaian, Ai merasa sangat istimewa. Bintang-bintang selalu ia pandangi. Dari kejauhan terasa begitu dekat. Ia merasa seolah dunia merayakan ulang tahunnya, meski dengan cara yang berbeda. Merayakan ala kanak-kanak.
Di sana di bawah langit berbintang dan di sisi kakak tercintanya, Ai merasa menjadi adik paling beruntung di dunia. Ya sejak sang Mama berpulang, kakak seolah menjadi Mama buat Ai.
Ai selalu mengingat pesan kakaknya, " Ai, kamu dek tak boleh berkecil hati kepada orang lain. Ingat, apakah kamu sudah pernah berbuat baik pada orang lain? Apakah kamu sudah memberi sesuatu kepada mereka? Bila tidak. Kamu tak boleh kecewa pada orang itu."
"Bahkan sudah kamu santuni pun mereka, kamu tetap tak boleh berharap balasan dari mereka. Hasbunallah. Cukup Allah tempat kita berharap, Dek!" Lanjut beliau. Soal ginian, Kakak memang jagonya. Tiga jam pun beliau oke ceramah. Hi hi hi.
Pagi sudah tiba. Rumah terasa sunyi. Di ruang tamu suara televisi terdengar menyala. Di sudut, kedua abangku, Budi dan Antok duduk. Semalam saja mereka tak menghadiri ulang tahun Ai.
Wajah mereka nampak kaku malah mereka melirikku dengan kekesalan. Hah, mereka sedang marahan. Penyebabnya pasti deh utang lagi.
Seminggu yang lalu Budi meminjam uang kepada Antok untuk bayar cicilan motor iparnya. Antok sebenarnya tak suka meminjamkan uang. Ia terpaksa merelakan sebagian tabungannya. Apalagi masa sedang sulit begini. Pelanggan Pecel Lele lagi sepi.
Antok berharap Budi harus segera mengembalikan uangnya dalam waktu seminggu. Namun, sudah lima belas hari berlalu, uang itu belum juga kembali.
Antok biasanya kalem, akhirnya meledak tiga hari lalu. Hingga mereka lupa kumpul semalam. Akibatnya Ai merasa sendiri. Ai sangat sayang kepada dua abangnya.
“Budi, utangmu kapan mau dilunasi? Aku butuh uangnya buat bayar kuliah Rere anakku,” kata Antok dengan nada dingin.
Budi, yang tampaknya masih tenang, hanya menjawab dengan nada santai, “Sabar, Tok. Nanti aku bayar, tunggu aja iparku melunasinya.”
“Tunggu sampai kapan? Katanya cuma seminggu!” Anto membalas dengan suara yang mulai meninggi.
Sejak saat itulah, mereka tak saling bicara. Feni yang biasanya menjadi penengah, kali ini merasa tak punya kuasa. Ia pun sedang keret. Sedang tak punya uang. Jumlahnya lumayan gede. 7 juta.
Suasana rumah sejak itu canggung, dan Feni bingung harus melakukan apa. Hingga sore akhirnya Feni memberanikan diri mendekati Budi di kamarnya sewaktu masih bujangan.
Feni duduk di sampingnya. Ia sebagai saudari tertua mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa nggak bayar utangnya aja, Bang?” tanya Feni pelan.
Budi menarik napas panjang. Ia lalu menatap Feni dengan tatapan lelah. “Aku mau bayar Feni, tapi istriku sedang berulah. Ia kabur membawa gajiku bulan ini. Aku juga nggak enak sama Antok. Iparku sudah memohon-mohon diberi waktu. Eh adiknya malah bawa kabur gajiku. Aku nggak ada uang. Aku bisa apa, Feni?”
"Ashtaghfirullah. Kakak adik nipu abang, Budi!' Feni pun diam, mencoba memahami posisi Budi. Lalu, Feni pun pergi ke kamar Antok. Kamarnya sewaktu bujangan juga. Dia sedang duduk di meja belajar tuanya. Wajahnya terlihat kesal.
“Abang marah banget sama Banh Budi, ya?” tanya Feni hati-hati.
Antok menatap Feni sebentar. Ia memutar bola matanya lalu menghela napas. “Bukan soal utangnya doang. Aku kesel karena dia nggak serius sama janji. Ini bukan pertama kalinya.”
Feni paham. Masalah mereka lebih dalam dari sekadar utang. Antok merasa kecewa karena Budi tidak menepati janjinya dan Budi sedang terjebak karena kondisi keuangan dan istri yang belum kembali.
Setelah berpikir sejenak, Feni punya ide. Feni mengajak mereka berdua duduk di ruang tamu. Ai pun turut duduk dengan suaminya.
“Dengar, kalian ini kakak-adik. Kalau terus marah, nggak akan selesai. Bang Budi, lebih baik bilang sejujurnya sama Bang Antok kenapa belum bisa bayar utang. Bang Antok, kasih Bang Budi sedikit waktu lagi. Kita, kalian berdua butuh satu sama lain,” kata Feni dengan nada serius.
"Bang, Aku mau bayar utangku pas gajian, tapi istriku sedang berulah. Ia kabur membawa gajiku bulan ini, bang. Aku juga nggak enak sama Bang Antok. Iparku sudah memohon-mohon diberi waktu. Eh adiknya malah bawa kabur gajiku. Aku nggak ada uang. Aku bisa apa, Bang?”
Budi akhirnya mengakui bahwa dia kesulitan karena gajinya dibawa kabur istri. Anto terlihat kaget. Ia pun terlihat kecewa. Istri adiknya memang suka berulah. Selalu pangkal masalah istrinya.
"Gimana Ai? Rumah ini kan milik orang tua kita. Boleh tidak kita gadai dulu ke bank?" Tanya Feni kepada Ai adiknya. Mereka pun mulai mencari sepakat untuk memberi waktu tambahan buat Budi.
" Aku punya uang 7 juta Kak. Kurasa Bang Budi bisa pakai. Bang Budi bisa angsur 3x bayar. Tapi harus potong gaji di kantor ya, Bang!" Seru Ai memberi solusi.
Malam itu suasana rumah orang tua mereka yang ditempati Ai dan suami selaku anak bungsu kembali hangat. Meski masalah belum sepenuhnya selesai. Setidaknya kedua abang Feni dan Ai sudah mulai bicara lagi.
Untuk kali ini, Feni merasa cukup lega menjadi penengah. Ia menatap Ai lamat-lamat. Adiknya ini meski bungsu tapi selalu bersikap dewasa. Memang malam-malam ulang tahun Ai berbeda.
"Maaf Abang Antok, Dek! Ulang Tahun yang Berbeda untukmu tahun ini, Dek!" Antok menyalami adik bungsunya.
Abang Budi pun bangkit, "Abang salah Dek! Ulang Tahun yang Berbeda tahun ini gegara istri abang, Dek! Maafkan Abang Dek!" Akhirnya Bang Budi menangis. Ai pun ikut menangis. Derita abangnya deritanya juga.
Ulang Tahun yang Berbeda, Dek!
**Tamat.**
Semoga cerita ini bisa menjadi hadiah manis untuk adikku di hari spesialnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H