Ia raih tangan putranya, "Mama pernah merasakan rasa bersalah pada nenekmu di usia si dedek, Bang. Mama kan anak tertua. Semua pekerjaan rumah mama yang lakukan.Â
Nenek mana mampu membayar asisten rumah tangga." Via menghapus mata kirinya. Kenangan masa kecilnya pun menari-nari. Kala itu membantu orangtua sangatlah berat.
"Bang, Mama mengatakan kepada nenek, Â "Aku tak pernah minta dilahirkan." Ngeri perkataan mama pada nenek, Bang. Yah, mama lelah. Lelah mengerjakan semuanya. Banyak sekali tugas mama. 1)(8. 1 banding 8 lo, Bang." Ia menatap putranya.
"Mama sendiri. Adik mama 6. Tambah nenek dan kakek. Delapan yang mengotori. Sedang mama sendirian yang membersihkan semua." Kembali bulir bening bergulir di pipinya. Ia garuk kelopak mata kanannya yang gatal.
"Teman-teman abang di SMA juga banyak yang bilang iru, Ma. Ustadz, aku tak pernah minta dilahirkan." Jelas putranya sambil tertawa.
"Kamu sendiri gimana?" Tantang Via.
"He he he... abang bilang itu dalam hati saja Ma. Kalau lagi kesal dengan tugas sekolah yang banyak. Tapi teman-teman abang curhat itu bila ustadz membahas berbakti kepada orangtua, Ma." Jelas putranya lugu.
"Makanya, mama tak mau maksa si dedek melakukan pekerjaan rumah dengan alasan itu. Mama takut akan terlontar kata yang sama. 'Aku tak pernah minta dilahirkan.' Namun, sesekali mama suruh juga kok." Via senyum di sela tangisnya.
"Semau si dedek saja, Bang. Bila mau, ya iya kerjakan. Bila tidak mau, gimana lagi bang. Mama ngak maksa dan merepet."
Putranyapun pergi ke kamar adiknya. Terdengar ia menasihatinya. Sedang Via pun kembali pada kenangan masa lalunya.
Tak lama suaminya pun datang. Beliaupun ikut merebahkan diri di lantai. Meniru gaya rebah istrinya. Menerawang dan meletakkan kedua tangan di bawah kepala sebagai bantal mereka.*