Namun, bila kasus berat tentu melibatkan sekolah, berwajib, dan mungkin pindah sekolah. Malah bila anak mengalami trauma buruh penanganan konselor atau pihak profesional seperti psikolog anak.
Kedua, ketika menemukan anak pulang dalam emosi kesal, sedih, dan marah. Bila cara pertama tak memungkinkan. Bisa jadi anak sudah usia SMP, SMA, atau Perguruan Tinggi. Ajak duduk. Beri kertas dan pena. Â Lalu suruh menuliskan semua uneg-unegnya di kertas. Semacam surat kepada Allah.Â
Berjanjilah tak akan membaca surat itu. Maka ia akan menulis surat itu dengan berurai air mata meskipun anak Ayah Bunda Cowok.atsu Cewek. Suruh menuliskan kemarahannya di kertas itu. Lampiaskanlah.Â
Katakan merobek surat itu bila sudah siap seolah merobek masalah mereka. Mereka akan plong dan senang. Lalu ajaklah menyanyikan atau membaca puisi. Bila mereka bilang tak kuat. Beri minum dan makan. Lalu ajaklah berdiskusi.
Mereka pun akan jujur bercerita tentang emosinya. Mereka butuh perhatian dan curhat. PR kita mendengar dan memfasilitasi curhatan mereka. PR kita orangtua dan guru berskil emosi agar memiliki skil pula dalam mengelola emosi putra putri kita di rumah. Duh, kasian guru.
Satu lagi, stoplah Bapak Menteri Pendidikan memangkas materi Menulis Pengalaman Berkesan di Kurikulum Bahasa Indonesia, Membaca Puisi, Mendeklamasikan Puisi,dan menulis surat. Kesenian dengan lagu-lagu perjuangan dan daerah. Jangan cuma kreasi dan kreatif mereka yang dituntut.Â
Mereka siswa SMP dan SMA butuh dipaksa menuliskan pengalaman-pengalaman pahit, getir, dan manis yang silih berganti dalam hidup mereka. Mereka butuh sarana peluapan emosi dengan berteriak, bernyanyi, dan bermain peran yang kadang perlu dimanipulasi guru skenarionya.
Bahasa Indonesia dan Kesenian sarat kognitif emosi dengan pelajaran menulis di buku diary, menulis surat pribadi, membaca puisi, bernyanyi tapi sayang semua itu diganti dengan materi-materi tanpa emosi. Teks diskusi (ini adalah masalah) teks kritik (juga masalah) teks ulasan (masalah juga).
Mereka sudah bermasalah dengan hidup serba pas-pasan di rumah. Orangtua yang tak harmonis di rumah, ayah yang suka mendidik anak dengan keras di rumah, lalu di sekolah ditawari dengan guru yang memberikan tugas berdiskusi masalah lagi (ranah Bahasa Indonesia). Duh, serasa mau pecah dong kepala mereka.
Sedangkan berbagai negara yang menjadi rujukan belajar menerapkan malah materi itu. Menulis di buku harian mereka. Mencurahkan emosi mereka di sana. Guru bisa menyarankan berdialog dengan Allah. Emosi apapun bisa mereka adukan kepada Allah. Sang pencipta dan maha mengetahui isi hati mereka.*Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H