Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Anak Bakar Sekolahnya, Melampiaskan Rasa Kesal, PR Orangtua dan Guru?

3 Juli 2023   21:10 Diperbarui: 5 Juli 2023   10:24 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by Kompasiana.com

Duh, sudah lama sekali teman Kompasianer, saya tak menulis. Kangen sekali. Hari ini saya baru saja balik baralek ke Padang Luar, Agam karena dua putri teman sekaligus atasan saya di Kampus FKIP UMSB dan atasan saya di MTsN Paninjauan, Tanah Datar, baralek dua putri beliau-beliau Nanda dan Nisa. (Baralek/pesta pernikahan).

Sayangnya, tak ada swafoto kali ini karena saya lupas cas HP tadi pagi. Duh. Padahal di sana pestanya unik banget. Ada pegelaran musik gendang mengiringi arak-arak pengantin, silek Minang, iringan bundo kanduang-bako menjujung bawaan,  dan foto bareng yang terpaksa cuma makai jasa tukang foto dari WO, ya.

Bila Senin, seperti hari ini apalagi jalan menuju Bukittinggi,  Agam,  Padang Panjang, Padang macet banget lho. Hingga suami saya pilih rute muter Pasa Rabaa-Koto Tinggi, Pandai Sikek. Duh, jalan penghasil Tenun Songket Mahal Pandai Sikek ini memicu adrenalin saya.

Jalan di kaki Gunung Singgalang yang naik turun. Pendakian tinggi dan curam. Duh ekstrim bangat dah. Mana macet lagi karena bus-bus dan beberapa prah, ternyata juga melarikan diri ke jalan ini. Bau kopleng dan tantangan kepeleset ban di jurang jadi taruhan.

Terkadang berpapasan pula di jalan sempit mendaki dengan mobil berbodi gede yang meminta jatah jalan lebih besar. "Dek Tengok kiri? Jangan sampai kepeleset ban !" Kata suami kepada si dedek yang duduk di depan. Macet diperparah lagi oleh banyaknya Pak Ogah yang minta jatah 2000 perak.

Pulangnya kami tak melewati jalan itu lagi. Kami pilih jalan biasa. Jalan utama. Lebih aman. Lelah juga meski jarak tempuh yang harusnya cuma 30 menit menjadi 90 menit. 

Macet ini sih sebetulnya sudah diatasi Bapak Jokowi dengan jalan tol, tapi warga kurang setuju sehingga pembangunan masih tertunda dan terkendala pembebasan tanah.

Macet tiap Senin, Rabu, dan Sabtu. Sumbar.Antara News
Macet tiap Senin, Rabu, dan Sabtu. Sumbar.Antara News

Sesampai di rumah cas HP, iseng buka browser pencarian ketika teman saya chat yang mengeluh atas mahalnya UKT (Uang Kuliah Tunggal) anaknya. Sayapun melihat UKT anak teman yang akan kuliah di UNAND Padang itu.

Namun, Saya pun kaget manakala membaca konten Kompas, "Polisi Pegang Senjata di Sampung Siswa Pembakar Sekolah Saat Konpers, Irwasum Diminta Turun Tangan."

"....Sebelumnya, R (14) siswa kelas VII SMPN 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah membakar sekolahnya sendiri pada Selasa (27/6/2023) dini hari." Salah satu paragraf laporan tersebut.

Duh, satu lagi PR kita orang tua dan Guru. Pembakaran. Sebelunnya bullying, pemerkosaan, tawuran, narkoba, seks bebas, membunuh, dan sekarang membakar sekolah.

Aduh, ternyata inilah zaman era global, perdagangan bebas, dan era keterbukaan itu. Dulu, saat belajar IPS tentang tantangan Indonesia  di Era global, serasa biasa saja. Siapa nyana ternyata saya dan kompasianer sekalian adalah orangtua di era ini bahkan juga guru.

Betapa tercoreng muka guru di Sana oeh ulah R. Tak menghargai guru dan sekolah mereka. Bahkan tak takut hukum.

Wajarlah bila Kompasiana mengawali topik ini dengan paragraf, "Kompasianer, selain kognitif (Pengetahuan), ada aspek lain yang perlu dipelajari oleh anak, yakni aspek emosi. Apakah anak pernah kelepasan mengekspresikan emosinya sehingga tak terkendali? Bagaimana cara mengatasinya?"

Betul sekali. Tantangan dan PR guru memang bertambah- mencegah anak membakar. Bayangkan R, baru usia 14 tahun sudah memiliki persiapan cara membakar sekolahnya.

Kita pun sangat menyayangkan memang atas kurangnya kendali orang tua atas anak. Dini hari keluar rumah. Berkali-kali dibuly teman. Mengapa rendah sekali pengawasan orangtua kepada anak?

Duhai ayah bunda, perhatikanlah wajah lelah mereka saat pulang sekolah. Mintalah mereka bercerita bagaimana guru dan teman mereka du sekolah. Namun, semua itu hanya kalimat saran untuk orangtua cerdas yang melek baca, sedang orangtua murid kita, merem baca. Prihatin masih saja ada bulying di antara anak kita.

Saya masih ingat, ponakan saya semangat di sekolah pada minggu-minggu pertama masuk di sekolah saya. Namun, 1 bulan belajar mulai lesu. Mulai minta pindah sekolah. Mulai sakit. 

Sayapun cek chat dengan saudarinya ternyata ada yang ganjil, "Dek, masih diketawain temanmu, Dek?"

Kening saya berkerut. Saya pun cari info. Pura-pura cerita kepada teman sesama guru. Ternyata nama ponakan saya mereka pelesetkan. Misalnya, Fur - Qon menjadi Fur Qon t*l. Jorok banget deh ini di kampung saya. 

Haram menyebut nama aurat laki dan perempuan. Panteslah ia trauma. Saya pun melaporkan ini ke pihak wakil kepala. Satu minggu saya patroli buat menyelesaikan kasus itu. Hingga ia semangat lagi belajar.

Bagi kita ada begitu banyak cara supaya orangtua, guru, dan anak mengenali emosi. PR untuk orangtua dan guru. Mohon kenali emosi anak kita.

Baik emosi bahagia, sedih, takut, marah, dan lainnya. Bukan anak saja perlu dilatih menyikapi setiap emosi yang ia rasakan supaya ia dapat mengelolanya. Harus diawali oleh skil orangtua dan guru. Bila orangtua memiliki skil mengelola emosi, maka bisa menularkan ilmu itu kepada anak.

Ya, jangan sampai kejadian beberapa waktu lalu, Selasa (27/6/2023) dini hari, siswa SMP berinisial R itu membakar sekolahnya sendiri 

Ya karena diduga mendapat perundungan atau bulying dari temannya. Selain itu, R juga merasa sakit hati karena kurang diperhatikan oleh gurunya.

Setelah membakar sekolah, ternyata  R justru menyerahkan diri dan mengaku jika dia baru saja membakar sekolah. Di Polsek Pringsurat, wajah siswa R tampak tenang saat mengucapkan penyesalannya.

Bagaimana tanggapan kita terkait kasus ini? Apa yang sekiranya membuat amarah siswa R memuncak dan tidak terkendali?

Bagaimana cara kita memantau perkembangan emosi anak? Bisakah dengan membantunya mengenali akar penyebab emosi bahagia/sedih/takut sedari kecil? Bagaimana cara anak mengartikulasikan emosinya?

Pertama, tatap wajah anak saat pulang sekolah bagi Ayah Bunda. Kenali wajah mereka. Bahagia/sedih/takut sedari mereka kecil. Sejak TK misalnya. Ajaklah dulu istirahat bila terlihat gurat sedih, kecewa, atau kesal.

Beri minum. Pijat bahu mereka hingga siku. Belai rambutnya. Lalu kecup pipi mereka. Berikan pelukan. Tanya masih kurang minumnya atau laparkah? Perlahan, mereka akan bercerita sambil menangis. Perhatikan dengan tetap memegang tangannya. Lalu tentukan solusi yang tepat.

Bila mereka mengalami bulying,  berdiskusilah bagaimana cara tepat mengatasinya. Diskusikan berdua saja dulu. Bila memungkinkan untuk diatasi berdua saja. Bila tidak, mungkin melibatkan pihak orang tua pembuly dengan bersilaturahmi ke rumah si pembuly.

Namun, bila kasus berat tentu melibatkan sekolah, berwajib, dan mungkin pindah sekolah. Malah bila anak mengalami trauma buruh penanganan konselor atau pihak profesional seperti psikolog anak.

Kedua, ketika menemukan anak pulang dalam emosi kesal, sedih, dan marah. Bila cara pertama tak memungkinkan. Bisa jadi anak sudah usia SMP, SMA, atau Perguruan Tinggi. Ajak duduk. Beri kertas dan pena.  Lalu suruh menuliskan semua uneg-unegnya di kertas. Semacam surat kepada Allah. 

Berjanjilah tak akan membaca surat itu. Maka ia akan menulis surat itu dengan berurai air mata meskipun anak Ayah Bunda Cowok.atsu Cewek. Suruh menuliskan kemarahannya di kertas itu. Lampiaskanlah. 

Katakan merobek surat itu bila sudah siap seolah merobek masalah mereka. Mereka akan plong dan senang. Lalu ajaklah menyanyikan atau membaca puisi. Bila mereka bilang tak kuat. Beri minum dan makan. Lalu ajaklah berdiskusi.

Mereka pun akan jujur bercerita tentang emosinya. Mereka butuh perhatian dan curhat. PR kita mendengar dan memfasilitasi curhatan mereka. PR kita orangtua dan guru berskil emosi agar memiliki skil pula dalam mengelola emosi putra putri kita di rumah. Duh, kasian guru.

Satu lagi, stoplah Bapak Menteri Pendidikan memangkas materi Menulis Pengalaman Berkesan di Kurikulum Bahasa Indonesia, Membaca Puisi, Mendeklamasikan Puisi,dan menulis surat. Kesenian dengan lagu-lagu perjuangan dan daerah. Jangan cuma kreasi dan kreatif mereka yang dituntut. 

Mereka siswa SMP dan SMA butuh dipaksa menuliskan pengalaman-pengalaman pahit, getir, dan manis yang silih berganti dalam hidup mereka. Mereka butuh sarana peluapan emosi dengan berteriak, bernyanyi, dan bermain peran yang kadang perlu dimanipulasi guru skenarionya.

Bahasa Indonesia dan Kesenian sarat kognitif emosi dengan pelajaran menulis di buku diary, menulis surat pribadi, membaca puisi, bernyanyi tapi sayang semua itu diganti dengan materi-materi tanpa emosi. Teks diskusi (ini adalah masalah) teks kritik (juga masalah) teks ulasan (masalah juga).

Mereka sudah bermasalah dengan hidup serba pas-pasan di rumah. Orangtua yang tak harmonis di rumah, ayah yang suka mendidik anak dengan keras di rumah, lalu di sekolah ditawari dengan guru yang memberikan tugas berdiskusi masalah lagi (ranah Bahasa Indonesia). Duh, serasa mau pecah dong kepala mereka.

Sedangkan berbagai negara yang menjadi rujukan belajar menerapkan malah materi itu. Menulis di buku harian mereka. Mencurahkan emosi mereka di sana. Guru bisa menyarankan berdialog dengan Allah. Emosi apapun bisa mereka adukan kepada Allah. Sang pencipta dan maha mengetahui isi hati mereka.*  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun