"Arina!" Jangan lari-lari sayang.." Gadis itu berlari manakala bocil bernama Arina sudah ia dapati jauh dari jangkauannya. Bocah cilik berumur 19 bulan itu memang sedang gemar-gemarnya berlari.
Gadis itu menangkapnya. "Happp. Dapat!" Teriaknya riang. Ia menggelitik bocil perempuan dalam gendongannya. Kemudian berkali-kali ia mencium pipi gembul gadis cilik itu. Ia gelitik lalu ia cium. Ketika bocil itu tertawa, wangi khas mulut bayi menguar.
Wangi itu membuatnya ketagihan memancing bocil itu untuk tertawa. Iapun ikut terkikik bersama gadis cilik di pangkuannya. Bocil itu tiba-tiba berontak. Ia minta dilepas.Â
Gadis mungil itupun berlari-lari kecil lagi dengan kaki mungilnya. Â Gadis itu ingin mengejar, "Nyiiiiitttttt, " perhatiannya beralih ke samping. Ada mobil colt diesel berhenti. Ia melirik pintu mobil. Sayangnya gelap. Kacanya memakai reben.
Pintu mobil terkuak. Gadis itu menganga. Jantungnya berdegub kencang. Darahnya berdesir. Dag dig dug. Bertalu-talu. Tanpa ia sadari mulutnya menganga dan matanya membeliak.
"Pram!"
"Ayunda!"
Mereka sama-sama memanggil dan terpana. 'Kok ada Pram di pesantren? Apa Pram pemasok ayam dan telor ke dapur asrama?'
"Anakmu, Yun?" Tanya Pram melirik si bocil.
"Duh, Pram, gara-gara kamu, Arin duduk di lantai lapangan. Tuh, mulutnya kotor. Pasti ia nyobain pasir." Ayunda berlari menuju bocil itu.
"Eh, iya. Kamu makan batu kecil, Nak?" Pram merebut Arin dari Ayunda. Gesekan tangan mereka membuat darah Ayunda berdesir lagi. 'Ashtagfirullah. Bukan muhrim (saudara) Pram,' Â bisik hati Ayunda.
Ia mengikuti langkah Pram membawa Arin ke dalam mobilnya. Pram nampak sibuk membersihkan mulut bocil itu. Ia bersihkan memakai air mineral. Ayunda mengambil tisu di atas dashboard. Mereka bekerja sama membersihkan Arin. Sudah seperti pasutri saja.
"Yun, kamu belum jawab aku. Anak siapa ini? Kapan kamu menikah?" Mata coklat Pram menatap Ayunda lembut. Mereka sekarang duduk bersisian di atas mobil. Saling menatap. Arin tetap dalam pangkuan Pram. Bocil itu anteng.
Darah Yunda berdesir lagi. Degup jantungnya tak beraturan. Ayunda menarik nafas dari bidung, ia tahan sesaat di perut, lalu ia hempas kuat-kuat. Terasa dadanya lapang sedikit meski gemuruh halus masih terasa.
Ayunda memang selalu merasa sesak bila bertemu Pram. Mata coklatnya dengan alis mata tebal, dan bulu mata lentiknya selalu menghanyutkan dirinya. Seperti telaga dalam Lubuk Tompat di kampungnya. Dalam membuai.
Hidung mancung dan bibir pinknya. Duh sempurna banget jadi cowok. Macho. Cool, tapi sayang mereka tak bisa berjodoh karena Pram cuma lulusan SD.
"Hmmm melamun lagi." Pram mengangetkan Ayunda.
"Yun, jawab. Arin anakmu? Coba amati Yun. Arin mirip Yet waktu kecil. "(Yet anak kakak Pram, Kak Shima). Kak Shima suaminya meninggal, jadi Yet kecil diasuh keluarga Pram. Ayunda sering membawa Yet ke kosannya waktu di SMP bila Pram datang berkunjung.
"Iya. Betul. Kok mirip Yet, ya. Cuma Arin putih kayak kamu." Ayunda menyapu wajah Pram yang putih. Brewoknya sudah rapi. Janggutnya juga. Hari ini wajah Pram se-fresh wajah kota.
"Yun! Anak siapa?
"Cindy. Orang Pegang. Â Emang kamu kenal?
Jantung Pram berdegup halus saat Ayunda menyebut Pegang. Pegang nama sebuah kampung di dekat kampung mereka, Kampung Manggis. Â Dari Peganglah asal Tinuk istrinya. Pram menarik napas dari hidung, menahan sesaat di perut. Lalu ia hempaskan kuat.
Sementara Arina, tertidur anteng di pangkuan Pram. Ayunda membiarkan saja. Mungkin ia sedang kangen Yet kecil dulu. 'Duh, Yet di mana sekarang, ya?'Â
"Kenapa? Kamu gelisah Pram?"Â
"Hmmm. Ingat sesuatu." Wajah Pram berubah buram. Nampak gurat sedih di wajahnya yang tampan. Yunda ikut perih melihatnya.
"Yun, Vella di sini, lo!"
"Whats?"
"Gak usah ngeledek, Yun!"
"Eh, sorry. Eh eh eh maaf!" Ayunda menyatukan kedua telapak tangannya. Senyum 5 centi kiri 5 centi kanan.
Pram mengalihkan tatapannya dari Ayunda. "Aku bukan anak sekolahan Yun. Jangan diajak ke Inggris. Sesat." Ayunda mencibir dengan menjulurkan lidahnya. Mengembangkan kedua lubang hifungnya. Seperti biasa tertangkap basah oleh Pram. Baru ia simpan lidahnya secepat kilat.
"Aku sudah 6 bulan mondok di sini, Yun."
'Whats' Ayunda membelalak.
"Aku belajar agama dengan ustadz Azam. Selama belajar, kami tak diizinkan keluar dan bertemu siapapun. Kami belajar puasa Daud, sehari puasa sehari tidak untuk mengontrol hawa nafsu. Kami juga harus menghafal sejumlah hafalan. Mirip suluk gitulah."
"Suluk ya?"
"Hmmm. Nah, pas mau pulang, kami makan bersama ustadz Azam  di ruang beliau. Yang biasa antar makanan, anaknya sakit. Ustadz Azam ternyata menyuruh Vella. Vella tukang masak di sini, Yun."
'Haaaaa' "Kok gak ketemu sama aku Pram? Aku sudah setahun bolak-balik di pesantren ini dan ke rumah kost." Tanya Ayunda.
"Tapi aku dan preman---"
"Bukan kamu. Vella."
"Vella makai cadar. Juga tak pernah keluar ruang masak putri."
"Oh pantesan."
"Yun! Ayunda!" Ayunda mendengar suara Cindy memanggilnya. "Bentar Pram. Cindy mama Arin." Tapi, Ayunda kaget melihat wajah Pram. Tiba-tiba pucat. Kulit putihnya memutih seperti kapas.
"Cin! Arin di sini!" Teriak Ayunda. Ia tak tega meninggalkan Pram.
"Ayunda. Arin mana? Jam tidurnya----" Cindy tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia pun lemas. Ia meleyot ke lantai bukan karena kagum tapi lemas.. Tak sadarkan diri. Terduduk di lantai lapangan. Lalu rebah kuda.
"Cindy! Kamu kenapa?" Teriak Yunda.
"Ti...nuk...." Desah Pram. Ia pun turut rebah. Meleyot karena lemas.
"Tinuk! Pram! Siapa Tinuk?
"Hoaa... hoaaaaa...hoa.. ."Arin dalam pangkuan Pram bangun.Â
'Aduh.' Ayunda pun mengambil Arin dari pangkuan Pram. Ia membawa Arin ke pos satpam. Tak mungkin ia menyelesaikan ini sendirian.*Â
Biar nyambung baca kisah Pram dan Tinuk (Cindy).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H