"Eh, iya. Kamu makan batu kecil, Nak?" Pram merebut Arin dari Ayunda. Gesekan tangan mereka membuat darah Ayunda berdesir lagi. 'Ashtagfirullah. Bukan muhrim (saudara) Pram,' Â bisik hati Ayunda.
Ia mengikuti langkah Pram membawa Arin ke dalam mobilnya. Pram nampak sibuk membersihkan mulut bocil itu. Ia bersihkan memakai air mineral. Ayunda mengambil tisu di atas dashboard. Mereka bekerja sama membersihkan Arin. Sudah seperti pasutri saja.
"Yun, kamu belum jawab aku. Anak siapa ini? Kapan kamu menikah?" Mata coklat Pram menatap Ayunda lembut. Mereka sekarang duduk bersisian di atas mobil. Saling menatap. Arin tetap dalam pangkuan Pram. Bocil itu anteng.
Darah Yunda berdesir lagi. Degup jantungnya tak beraturan. Ayunda menarik nafas dari bidung, ia tahan sesaat di perut, lalu ia hempas kuat-kuat. Terasa dadanya lapang sedikit meski gemuruh halus masih terasa.
Ayunda memang selalu merasa sesak bila bertemu Pram. Mata coklatnya dengan alis mata tebal, dan bulu mata lentiknya selalu menghanyutkan dirinya. Seperti telaga dalam Lubuk Tompat di kampungnya. Dalam membuai.
Hidung mancung dan bibir pinknya. Duh sempurna banget jadi cowok. Macho. Cool, tapi sayang mereka tak bisa berjodoh karena Pram cuma lulusan SD.
"Hmmm melamun lagi." Pram mengangetkan Ayunda.
"Yun, jawab. Arin anakmu? Coba amati Yun. Arin mirip Yet waktu kecil. "(Yet anak kakak Pram, Kak Shima). Kak Shima suaminya meninggal, jadi Yet kecil diasuh keluarga Pram. Ayunda sering membawa Yet ke kosannya waktu di SMP bila Pram datang berkunjung.
"Iya. Betul. Kok mirip Yet, ya. Cuma Arin putih kayak kamu." Ayunda menyapu wajah Pram yang putih. Brewoknya sudah rapi. Janggutnya juga. Hari ini wajah Pram se-fresh wajah kota.
"Yun! Anak siapa?
"Cindy. Orang Pegang. Â Emang kamu kenal?