Aku dan Pram cuma bisa bertukar pandang. Debar jantung dan helaan nafas kami cukup menggambarkan rasa takut dan cemas. Kami tak sekufu dan tak sejalan. Bias suka perlahan muncul dan perlahan pula disirnakan. Aku takut Ayah.
Namun, kala itu berbeda dengan Prima. Cinta monyet sedang bermusim dan bersemi. Hati dan pikiran Prima seolah hanya berpusat kepada Bang Armen. Tak ada di antara kami yang ia percayai lagi selain Bang Armen. Sekalipun Ayahku, tulangnya dan menasihatinya.
Nampak wajah Prima cemberut, kata Ayah. Bahkan seterusnya, tak mau menyapa tetua yang menasihatinya. Hingga ia mengemasi semua baju dan alat-alat kesehariannya. Dari sekolah mereka kawin lari. Dinikahkan di Lampung.
Sekarang pupus sudah impian Prima. Impian indah yang ia sematkan di bahu suaminya yang kekar. Impian sudah menepi. Menepi bukan karena sukses. Tapi perahu pecah terhempaskan ombak ke karang terjal, bernama bui.
Bang Armen sekarang di bui. Kalah judi mnghabisi lawan main judinya. Berakhir sudah masa depannya. Namun untuk Prima hidup belum berakhir.
Dua anak kembarnya Rana dan Rani menunggu kedewasaan Prima. Mengasuh, membimbing, menawarkan kehidupan, dan warna cinta seorang ibu untuk kedua putrinya.
Nasi sudah jadi bubur. Meski nasib rumah tangga Prima Saudara kembar Pram sudah berakhir sementara, tapi dua bocil kembar itu butuh kelanjutan hidup dan masa depan. Semoga nasib mereka berdua beda dari mama papanya. Sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H