"Ayunda! Ada Prima, nih!" Jerit Mak mengagetkan.
Prima, Saudara kembar Pram. Prima lahir 1 jam lebih dulu dari Pram. Prima dipanggil kakak dan Pram sebagai adiknya.Â
Mereka bukan kembar identik. Malah tak mirip satu sama lainnya. Merekapun terlahir dengan jenis kelamin yang berbeda. Wajah mereka berbeda pula.
Prima cewek, lebih tinggi dari Pram. Wajahnya cantik mirip lidya Kandau muda. Sedang Pram brewokan mirip-mirip Brad Pitt atau Ajay Defgn dari India. Prima bermata hitam dan besar sedang Pram bermata coklat menenggelamkan.
" Yun. Masih ingat aku, gak?" Sapa Prima ketika aku mendapatinya di teras bersama Mak dan Ayah. Sore begini Mak dan Ayah suka duduk berduaan di teras hingga menimbulkan komen lucu dari warga. "Kepala Desa dan Ibu Kades romantis."
Aku cuma ketawa dan merasa lucu atas tanggapan warga itu. Memang mereka romantis. Bikin iri berjiwa jomblo. Sepertiku. Ya mau gimana lagi. Pacaran dilarang Mak dan Ayah. "Sekolah dulu!" Kata mereka dengan mata besar.
"Ingatlah. Masa calon kakak ipar dilupain." Candaku balik sambil melirik Mak dan Ayah yang santai. Kami pun berpelukan. "Ke kamar, yuk!" Ajakku. Aku lebih senang mengobrol di kamar sambil rebahan di kasur.
" Tinggal di mana sekarang, Prim?" Tanyaku ketika kami sudah berada di kamarku yang sempit.
"Di Lampung, Yun. Tapi sekarang aku lagi istirahat. Lelah Yun."
"Ngapa? Ayo cerita. Kita kan sahabat. " Kami tos kelingking. Nampak mata hitamnya berkabut. Hidung mancungnya bergerak-gerak. Ingus bening mulai keluar. Itu ciri khas Prima saat sedih.
Aku memeluknya. Memijat-mijat bahunya. Ia mulai sesenggukan. "Hmm. Nangislah. Udah lama kamu tak menangis. Menangislah." Bisikku pelan. Aku sekarang menepuk pundaknya. Lembut.
Bahunya naik turun. Khas orang sesenggukan. "Nasibku dan Pram sama Yun. Kami sama-sama ditipu pasangan. Bang Armen menipuku, Yun. Tega benar. Ia--- ia juga bawa kabur uangku, Yun. Â 500 juta. Padahal itu modal terakhir kami. Hu---- hu --- hu, " raungnya keras.
"Sekarang abangmu di mana, Prim?" Tanyaku pelan dan hiba.
"Yun, ia juga menggadaikan sertifikat rumah dan mobil kami. Semua sudah habis. Rumah ia gadai ke bank 700 juta, mobil juga. Kami miskin sekarang. Padahal anak-anak lagi butuh rumah, ayah, dan gizi." Ia menghapus ingusnya yang membola.
"Udah, semua pasti diganti Allah. Sabar ya." Rayuku sok dewasa. Padahal aku sendiri bingung. Aku saja baru tahun pertama kuliah. Duh bingung juga.
"Yun, kamu harus kuliah dengan baik. Jangan sepertiku dan Pram cuman lulus SD. Menikah muda, dan miskin."
Nah, kan pasti aku bingung buat nanggapinya. Aku belum faham soal hidup berumah tangga. Apalagi punya anak dan hidup miskin. Mak dan Ayah selalu kompak. Tak pernah bertengkar. Mereka akur, makan bersama, duduk di teras, Â dan kompak menghitung uang panen.
Nasib rumah tangga Prima Saudara kembar Pram, memang sudah diprediksi Ayahku dulu. Katanya takkan bertahan lama. Armen suami Prima anak teman Ayahku, suka berjudi, dan minum tuak.Â
Tahukah kamu tuak? Tuak adalah sejenis minuman beralkohol khas Indonesia. Terbuat dari air niru atau nira aren. Umumnya, minuman ini dikonsumsi laki-laki masyarakat Batak di Sumatera Utara saat perayaan dan acara-acara khusus. Juga dijual di kedai tertentu di kampungku.
Bang Armen salah satu kakak kelas Prima di sekolahnya. Mereka kawin lari dan menikah dini. Lari dari sekolah ke Lampung. Di Lampung ada Uwak bang Armen. Di sanalah mereka menikah di rumah Uwaknya. (Kakak Ayah)
" Sifat suka mabuk dan berjudi itu penyakit." Kata Ayah. "Suatu hari suntuk, maka akan kambuh lagi." Lanjut Ayah, ketika menasihati Prima dahulu. Ayah menasihati keponakannya itu di dekat Bou Umak Pram, aku, dan Pram.
Aku dan Pram cuma bisa bertukar pandang. Debar jantung dan helaan nafas kami cukup menggambarkan rasa takut dan cemas. Kami tak sekufu dan tak sejalan. Bias suka perlahan muncul dan perlahan pula disirnakan. Aku takut Ayah.
Namun, kala itu berbeda dengan Prima. Cinta monyet sedang bermusim dan bersemi. Hati dan pikiran Prima seolah hanya berpusat kepada Bang Armen. Tak ada di antara kami yang ia percayai lagi selain Bang Armen. Sekalipun Ayahku, tulangnya dan menasihatinya.
Nampak wajah Prima cemberut, kata Ayah. Bahkan seterusnya, tak mau menyapa tetua yang menasihatinya. Hingga ia mengemasi semua baju dan alat-alat kesehariannya. Dari sekolah mereka kawin lari. Dinikahkan di Lampung.
Sekarang pupus sudah impian Prima. Impian indah yang ia sematkan di bahu suaminya yang kekar. Impian sudah menepi. Menepi bukan karena sukses. Tapi perahu pecah terhempaskan ombak ke karang terjal, bernama bui.
Bang Armen sekarang di bui. Kalah judi mnghabisi lawan main judinya. Berakhir sudah masa depannya. Namun untuk Prima hidup belum berakhir.
Dua anak kembarnya Rana dan Rani menunggu kedewasaan Prima. Mengasuh, membimbing, menawarkan kehidupan, dan warna cinta seorang ibu untuk kedua putrinya.
Nasi sudah jadi bubur. Meski nasib rumah tangga Prima Saudara kembar Pram sudah berakhir sementara, tapi dua bocil kembar itu butuh kelanjutan hidup dan masa depan. Semoga nasib mereka berdua beda dari mama papanya. Sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H