Masih ingat beberapa kasus di Medan Sumatera Utara sana? Banyak sekali kasus anak membunuh semua anggota keluarganya. Seperti Andi Lala, membunuh mertua dan semua keluarga mertuanya kecuali istrinya hanya karena utang 5 juta.
Begitu juga MAK 21 (inisial) menghabisi nyawa ayah dan saudara kandungnya hanya karena sang ayah dan kakaknya sering menegur dan menasihatinya.
Ada lagi Ical, masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Umum mengaku membunuh lantaran sering diomelin ayah serta mamaknya (ibunya). Termasuk kakak-kakaknya.
Ical kesal dengan perlakuan itu, ia masih berusaha menahan diri. Akan tetapi, angkara murka Ical tak terbendung lagi tatkala sang mamak membangunkannya secara paksa untuk menyapu halaman rumah. Bukan untuk shalat.
Dengan dendam membara, iapun mengambil sebuah alu kayu (anak lesung berukuran panjang) untuk membantai keluarganya.Â
Demikian juga kejadian pada keluarga Dhio (22) di Magelang. Dhio menghabisi kedua ibu bapaknya dan kakak satu-satunya dengan racun sianida yang dimasukkan pada teh dan kopi hingga keluarganya terkapar dengan usus terbakar.
Mengapa anak-anak itu tega menghilangkan nyawa anggota keluarga mereka? Tidakkah mereka sayang kepada Ibu Bapaknya? Tidakkah mereka takut merasa kesepian? Bahkan mereka tidak takut penjara atau hukum?
Ini akibat kurangnya pendidikan parenting pada generasi milenial selaku orang tua dan kurangnya kasih sayang yang dirasakan oleh anak selaku generasi Y dan Z.
Generasi Y, Z, dan Alpha adalah generasi anak kita sekarang yang tidak sudi dinasihati, dimarahi, apalagi dikasari. Mereka senang diajak berdiskusi dan tak suka diberi beban.
Mereka sudah biasa tegang di sekolah dengan muatan pelajaran. Dimarahi guru dan dituntut guru. Giliran di rumah dimarahi orang tua pula.
Beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak terutama anak cowok gang saya amati dari saya kecil hingga dewasa.Â
Pertama, tingkat pendidikan orang tua milenial yang rendah, hanya tamat SD, SMP, dan SMA. Orang tua ini sering kasar kepada anak. Sering menuntut anak untuk membalas jasa kepada keluarga.
Mereka tak memiliki ilmu parenting dan malas membaca. Mereka mengedepankan ego. Mendidik anak sesuai warisan turun temurun. Perintah dan paksa. Mereka memanjakan anak di masa kecil dan tiba-tiba menuntut rajin setelah anak remaja dan dewasa.
Kedua, pola asuh anak yang salah. Orang tua memanjakan anak sejak kecil. Tak pernah mengajari anak pekerjaan rumah. Sehingga mereka beranggapan semua pekedjaan rumah untuk perempuan.
Sejatinya anak lelaki dan perempuan sama memiliki tanggung jawab. Misalnya anak perempuan diajari menyapu rumah, mencuci piring, dan melipat kain dari jemuran. Ini tugas ibu yang membimbing.
Sedang putra kita bisa dibimbing ayah menguras bak mandi, mencuci pakaian di mesin cuci, dan membersihkan halaman rumah serta berkebun.
Bagilah pekerjaan secara adil dan proaktiflah Ayah Bunda membimbing mereka. Sambil kita mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Menurut A.A. Gimnastiar, kasih orang tua kepada anak seperti air terjun. Tapi kasih anak kepada orang tua seperti air dalam sumur yang dalam.
Ketiga, Orang tua beranggapan bahwa anak laki-laki tidak boleh ikut campur urusan dapur. Inilah budaya yang melekat di masyarakat. Terutama di beberapa daerah di Indonesia. Orang tua lupa bahwa anak laki-laki juga butuh makan dan berhemat.
Tak ada salahnya anak laki dan anak perempuan cakap di dapur. Toh kita orang tua tak mungkin melayani mereka seumur hidup. Diskusikan dengan mereka jadwal masak bergantian. Agar mereka mencintai dapur, memasak, dan rumah.
Keempat, orang tua dalam mendidik anak laki-laki suka menuntut agar anak memendam emosinya. Orang tua beranggapan bahwa anak laki-laki tak boleh menangis.
Akhirnya emosi anak harus selalu ditahan dan mereka belajar bahwa perasaan yang alami ini harus disembunyikan. Ini pendapat keliru. Layaknya anak cewek, anak cowokpun berhak menangis agar lega. Emosi yang ditahan-tahan suatu waktu bisa meledak, seperti ical pada kasus di atas.
Kelima, Â membeda-bedakan kegiatan anak perempuan dan anak laki-laki. Melarang anak perempuan main bola tapi memaksa anak laki-laki untuk melakukan aktivitas olahraga lebih. Melarang anak laki-laki memasak, tapi memaksa anak perempuan memasak.
Ketika istri mereka kelak melahirkan dan pembantu mereka izin pula maka anak lelaki perlu memasak, mencuci, dan melayani istri mereka.
Keenam, membiarkan anak lelaki merampas mainan teman bahkan merusak mainan teman. Kesalahan mendidik anak laki-laki yang cukup mempengaruhi kelak.
Hal ini akan membuat anak laki-laki tumbuh menjadi individu egois yang tidak perduli meski ia merugikan orang lain. Ketika ia salah mari ajari sportif meminta maaf.
Ketujuh, Kesalahan orang tua mendidik anak laki-laki adalah tidak menghormati keputusan anak. Mereka juga butuh dihormati keputusannya sama halnya dengan orang dewasa, si ayah.
Apalagi jika menyangkut hak akan tubuhnya. Anak perlu mengetahui tentang konsensual atau pemberian izin tentang segala sesuatu. Masalahnya seringkali orang tua memaksa anak untuk melakukan sesuatu yang mungkin tidak disetujui anak. Hargai pendapat anak.
Apalagi anak lelaki, mereka tak jauh beda dari ayahnya. Ingin dihargai, ingin dimanja, dan mereka punya rasa cemburu yang tinggi. Tetapi mereka tak mampu menyampaikannya. Maka ibu dan ayah harus peka dan jeli.
Lalu bagaimana seharusnya Ayah Bunda selaku orang tua bersikap dalam mendidik anak terutama anak lelaki guna meminimalisir kesalahan orang tua dalam mendidik anak agar tak berujung maut kelak ketika mereka sudah remaja, dewasa, dan berkeluarga?
Ini tips yang bisa kita cobakan. Yuk, intip tipsnya.
Pertama, Melatih Percaya Diri Anak
Orang tua hendaknya menyamakan harga diri dengan dengan kepercayaan diri. Katakan kepada anak lelaki kita, "Kamu spesial," atau "Kamu bisa menjadi apapun yang kamu inginkan," Anak lelaki lebih gila pujian lo daripada anak perempuan.
Percaya diri lebih penting daripada harga diri. Percaya diri mampu meningkatkan kesuksesan akademis atau kebahagiaan anak.
Penelitian juga mengatakan bahwa sebagian besar anak-anak sukses karena mereka percaya diri dengan usaha dan kemampuan dirinya.
Bila rasa percaya diri muncul dari dalam diri anak, mereka akan berhasil melakukan sesuatu dengan baik, mampu menghadapi rintangan, dapat menciptakan solusi, dan tegas terhadap diri sendiri. Biarkan mereka belajar salah dan benar dengan percaya diri mereka.
Kedua, Pancing Empati Anak
Sejumlah cara dapat dilakukan untuk menumbuhkan kemampuan empati anak, di antaranya: mengenalkan jenis-jenis emosi, seperti bahagia, kesal, marah, hingga sedih kepada anak. Terangkan satu persatu emosi itu setiap peristiwa yang mereka lihat. Misal, mengajari mereka bersedekah.
Ketiga, Ajarkan  dan Ajak Anak untuk Mengenali dan Cara Mengungkapkan Perasaan Emosi yang Mereka Alami
Beri anak kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka dengan cara yang baik dengan memberikan contoh. Misalnya menangislah jika sedih. Peluk mereka agar perasaan mereka tenang, lalu biarkan mereka menangis di bahu Ayah Bunda. Sesekali menangis melegakan jiwa anak lelaki dan perempuan.
Keempat, Ajak Anak BerdiskusiÂ
Terkait perasaan orang lain, minta mereka mengungkapkan persaan mereka, seperti menanyakan "Menurutmu, bagaimana perasaan orang itu ketika dimarahi guru tadi? Kamu pernah merasakan itu enggak, Nak?"
Kelima, Pengendalian Diri
Kesuksesan anak ketika mampu mengendalikan perhatian, emosi, pikiran, tindakan, dan keinginan mereka. Salah satu cara dengan memberi isyarat.
"Kalau kamu ragu, berhenti dulu. Lalu berpikir dan tenang,"
Keenam, Mengajarkan Anak Berintegritas
Berupa integritas atas keyakinan kepada Allah, kapasitas dalam keluarga apa, sikap toleran, dan keterampilan untuk mengetahui dan melakukan hal-hal baik. Â Lalu akui dan puji perilaku yang dilakukan anak sehingga mereka menyadari bahwa orang tua menghargainya.Â
Ketujuh, Latih Agama, Ketekunan, dan Optimisme Anak
Cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan Agama, sifat tekun, dan optimisme anak adalah dengan membantu mereka memberikan contoh beragama, tekun shalat, puasa sunah, membaca Al Quran, untuk mengenali masalah beragama dan hidup.
Baik masalah menahan lapar, sekolah, teman, dengan siapa saja. Layaknya orang tua anak juga punya masalah. Beri penjelasan dengan diskusi agar anak-anak tetap termotivasi bekerja keras dan menyelesaikan apa yang mereka mulai walaupun ada banyak kendala.
Merekapun akan optimis memandang tantangan dan hambatan sebagai hal yang bersifat sementara dan dapat diatasi sehingga lebih berpotensi untuk menjadi berhasil.Â
Orang tua harus memiliki sifat optimis terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada anak. Sebab, anak-anak mengadopsi optimisme dan ketekunan orang tua mereka.
Selain itu orang tua adalah  panutan yang baik atau model bagi anak? Jika kita ingin si kecil bersikap baik,  kitapun harus mencontohkan sikap-sikap yang baik dalam kehidupan.Â
Misalnya, jauhi berteriak, membanting sesuatu saat marah, suka memukul, buang sampah sembarangan, malas, atau sikap buruk lainnya, hindari di dekat anak sebab kemampuan kita mengendalikan diri akan ditonton dan ditiru anak sebagai panutan.
Begitu juga kritik dan kata kasar, apa yang Anda rasakan jika Anda dikritik dan dikasari terus? Tentu tidak nyaman. Begitu juga dirasakan anak jika kita sering mengkritik. Dampaknya akan membuat anak bosan dan susah untuk diatur. Kelak kritik menumpuk hingga anak dendam.
Membanding anak dengan anak lain. Tindakan inipun bisa menghancurkan rasa percaya diri anak. Menimbulkan persaingan dan dendam karena menumbuhkan rasa cemburu yang bisa mendorongnya melakukan perbuatan yang tercela kelak, membunuh.
Berekspektasi terlalu tinggi dan menuntut
Anak membalas budi. Ia akan sangat sedih dan frustasi ketika dirinya tidak sesuai dengan harapan orangtuanya. Ini juga kelak menimbulkan rasa dendam di hati anak kelak.
Janganlah bersikap egois. Pahami batas kemampuan anak dan tidak membuatnya tertekan. Tidak konsisten dan terkadang sangat strict dengan peraturan, tapi di lain waktu bersikap tidak peduli sama sekali dengan berbagai hal yang dilakukan anak juga kelak membuat anak plin-plan.
Jangan adu mulut dengan anak. Saat diomeli, anak mungkin akan membalas ucapan kita. Kitapun terpancing amarah menanggapi ucapan anak. Diam, hal ini malah membuat suasana lebih baik.
Jangan menanggapi perkataanya, lebih baik ucapakan kata penegasan. Kemudian, terapkan cara mendisiplinkan anak yang lebih efektif, misalnya menerapkan metode time out. Time out artinya mendisiplinkan anak dengan memberikan waktu menyendiri untuk introspeksi diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H