Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bonus Demografi, Antara Peluang dan Tantangan di Tengah Agenda Outsourcing dan Menyempitnya Lahan Pertanian

26 Juni 2022   21:18 Diperbarui: 30 Juni 2022   09:23 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bonus demografi ditandai dengan mendominasinya masyarakat usia produktif, yaitu 15-64 tahun. (iStock/Domepitipat)

Bonus demografi apa sih? Rupanya  sebuah fenomena saat penduduk usia produktif jumlahnya sangat banyak. 

Indonesia diketahui menjadi salah satu negara yang kini memiliki bonus demografi atau ledakan penduduk. 

Pasalnya jumlah penduduk usia produktif lebih tinggi dibandingkan usia non produktif.  Selain Indonesia ada juga Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang.

Jika begini, apa jadinya? Tentu bisa menjadi peluang dan bisa pula menjadi tantangan. Tentu lapangan pekerjaan semakin sempit dan tidak memadai. 

Apalagi  penduduk usia produktif lebih banyak daripada yang tidak produltif. Dikhawatirkan akan muncul kesenjangan sosial, pengangguran, meningkatnya tindak a susila, kriminal, masalah kesehatan fisik maupun mental, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Bonus demografi justru mendatangkan keuntungan kalau di negara Jepang. Jepang menjadi salah satu negara maju dengan ini. 

Begitu juga Korea Selatan dan Tiongkok. Mengapa mereka bisa maju karena mereka termasuk negara yang berkomitmen, memiliki visi maju karena faktor lingkungan SDA-nya minim tidak bisa terlalu diandalkan. Mereka juga memiliki disiplin dan etos kerja yang tinggi. 

Melimpahnya bonus demografi di negara kita ini bisa dipandang peluang untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Bila kita mampu menyiasatinya. Jumlah mereka 53,81 persen dari total penduduk Indonesia. Atau mencapai 70 persen dari jumlah penduduk.

Mereka ini terdiri dari generasi yang lahir tahun 1998 hingga 2010. Sebagiannya lagi lahir pada tahun 1980-an sampai 2000-an. 

Anak-anak muda inilah yang akan memajukan bangsa kita saat bersaing dengan negara kuat atau asing. Inilah generasi emas yang kita gadang-gadang penerus bangsa dan mampu meningkatkan kesetaraan ekonomi dengan negara luar.

Pemerintah harus serius menyikapi masalah bonus demografi. Ketersediaan lapangan pekerjaan bisa menjadi pemicu kurang harmonisnya hubungan antar penduduk ini atau penduduk ini dengan  pemerintah. Demikian juga sumber daya manusia mereka menjadi perhatian penting. 

Sekaitan dengan peningkatan SDM penduduk produktif kita, tercatat, angka kasus mahasiswa drop out atau putus kuliah di Indonesia mencapai 7 persen pada tahun 2019. 

Data tersebut juga menyebutkan total keseluruhan 7 persen dalam angka yakni sebanyak 602.208 mahasiswa dari total 8.483.213 mahasiswa terdaftar. Mahasiswa drop out berdasarkan prodi di semua jenjang:

  • Manajemen Retail 14,26
  • Komputer Multimedia 4,59
  • Teknologi Kimia Industri Kab. Nagekeo 3,5
  • Pendidikan Guru SD 3,02
  • Ilmu Pendidikan Teologi 2,04 (Sumber  Solopos.com-Kemendikbudristek)

Saya masih ingat teman-teman bermain seusia saya di kampung. Dua kelas kami di SD, tiap kelas 30 orang lebih sekelas. Ada 33 orang dan 35 orang. Berarti jumlah kami 60 orang lebih. 

Dari 60 orang lebih ini, hanya berdua kami sarjana. Selebihnya hanya tamat SD dan sebagian kecil tamat SMP. Usia SMP dan SMA mereka umumnya sudah menikah, bahkan mereka sudah bercucu saat ini.

Rasionya jika mereka masing-masing memiliki anak 3 orang per keluarga 60 x 3 anak saja = 180

Sebanyak 180 anak ber-SDM rendah mereka sumbangkan ke negara jika masing-masing teman seangkatan beranak 3 orang. 

Nyatanya mereka ada yang memiliki anak 3, 4, 5, bahkan lebih. Tambah lagi dengan mereka sendiri menjadi 180 anak + 60 teman saya + 60 suami atau istri mereka. 

Begitulah perkiraan rasio SDM rendah negara kita dalam satu periode kelahiran tahun 1975 orang tua dan berkisar tahun 1990-2002 anak-anak mereka dari satu kampung.

Inilah contoh generasi emas yang kita gadang-gadang bisa menaikkan taraf kemajuan Indonesia di tahun emas 2030-2045. Lalu apa strategi yang bisa kita lakukan?

Tentu strategi ini harus merata hingga menyentuh kampung-kampung lain yang setara dengan kampung saya.

Situasi mereka dari waktu ke waktu tentu semakin menyempitkan lahan pertanian di daerah, sementara di kota-kota besar diberlakukan pula penghentian honorer dan digantikan dengan outsourcing. Jangankan penduduk produktif ber-SDM rendah di daerah-daerah ini, para sarjana pun tentu terbatas peluang kerjanya.

Berbangga diri dengan Sumber Daya Alam (SDA) pun tak mungkin kita pilih lagi karena sudah menuju fase habis. Demikian juga lahan pertanian dan perkebunan sudah tidak memadai untuk sebagian daerah karena sudah diubah menjadi pemukiman yang tak cukup karena lonjakan jumlah penduduk kita saat ini.

Ngomong- omong bagaimana action nyata, Kemendikbudristek dan Menaker menyiasati ini, tentu dengan:

Peningkatan SDM

Peningkatan SDM penduduk produktif di kota dan di daerah harus dibedakan, karena potensi mereka tidaklah sama. 

Orientasi kerja siswa dan mahasiswa lulusan perkotaan lebih condong ke industri. Adapun siswa lulusan daerah tentu lebih condong ke Sumber Daya Alam (SDA)  yang ada, jika tidak akan muncul skill mismatch.

Skill mismatch akan menghadang generasi ber-SDM rendah ini. Pekerjaan yang ditawarkan kepada mereka tidak ada yang sesuai karena faktor ketiadaan dan ketidakcocokan pendidikan mereka dengan pasar kerja. Bukan karena link antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan kerja serta kebutuhan pasar yang tidak harmonis.  Tapi ketegasan pemerintah ke bawah yang kurang atau tidak ada sama skali. 

Mendisiplinkan Masyarakat

Mendisiplinkan masyarakat bukan saja siswa selaku pengembang pendidikan. Orang tua mereka juga perlu mendisiplinkan agar mengontrol dan mengawasi anaknya yang bolos dan tak bertanggung jawab di sekolah. 

Masyarakat jangan dibiarkan saja putus sekolah tanpa ada sanksi tegas misalnya berupa denda. Ini sesuai amanat UU wajib belajar 12 tahun

Kata wajib pada UU tersebut selama ini hanya tertulis wajib tanpa ada konsekuensi bagi yang melanggar atau tidak menjalankan. Sehingga terjadilah putus sekolah massal seperti di kampung saya. Mereka putus sekolah tetapi diberi tunjangan PKH (Program Keluarga Harapan) melalui orang tua mereka.

Masyarakat kita di daerah masih perlu aturan tegas dan ketat tentang umur boleh menikah dan umur boleh putus sekolah. Jika kita biarkan maka yang maju hanyalah masyarakat kota yang sudah punya standardisasi ketat capaian pendidikan anak-anak mereka.

Mereka yang sudah menyadari peluang dan tantangan ini cepat mencari jalan pintas untuk menyikapi ke mana anak-anak mereka akan mereka arahkan mulai dari jenjang  SD,SMP, dan SMA hebat.

Mereka bersedia membayar uang sekolah berpuluh juta hanya demi keahlian berbahasa asing anak-anak mereka. Karena pasar kerja yang mereka bidik dalam dan luar negeri memakai standardisasi kemampuan berbahasa. Nah, jumlah mereka ini berapa dibanding jumlah anak-anak kita ber-SDM rendah di daerah. 

Kalau saya menyebutnya kampung-kampung. Mereka untuk mengikuti pelatihan satpam saja sesuai standardisasi outsourcing di perusahaan, instansi, dan sekolah-sekolah tidak mampu membayar atau menyediakan uang 5 juta rupiah per latihan.

Pembantu yang bekerja di rumah saya, mengeluhkan ini pada saat anaknya tamat SMK tahun lalu. 

Ia menyampaikan keinginan anaknya untuk mengikuti sekolah satpam di Pekan Baru dengan biaya 5 juta. 

Biasanya jika ia bercerita akan saya bantu secara spontanitas dengan meminjam uang dan dicicil lewat potong gaji setiap bulannya. 

Tapi, sayangnya saya pun sedang mengalami krisis keuangan karena baru merenovasi rumah dan berganti mobil. Ternyata, covid-19 bulan Maret 2020 mewajibkan lockdown dan daring bagi siswa SMP. 

Adapun saya renovasi rumah untuk menerima anak kos. Hingga hari ini anak kos kosong, maka saya pun tak bisa bantu. Itulah contoh kasus kita di kampung-kampung. Akhirnya anaknya bekerja di TV Kabel bagian menagih pembayaran pelanggan.

Begitu juga dengan adik ipar saya tamatan SMK jurusan pertanian. Hasil bertani kurang memadai karena lahan yang sudah sempit harus berbagi dengan saudara. 

Ia pun bertanya kepada saya apakah ada lowongan pekerjaan, "Assalamualaikum, lai tdanga informasi lowongan krjo d pdg panjang dga e ni?"

Ada lebih dari sembilan perusahaan BUMN yang menyerap tenaga kerja tetapi tidak ada satu pun yang sesuai jurusannya bidang pertanian.

Sementara anak-anak mahasiswa yang saya kenal karena murid saya di SMP, sambil kuliah mereka sudah bisa menabung 20-30 juta setiap tahunnya dengan magang dan bekerja sama dengan kampus dan BUMN. 

Mereka inilah anak-anak kota yang orang tuanya mampu memberi bimbel mereka di SMA dan jelang SBMPTN hingga membayar puluhan juta.

Kesenjangan ini bukan tak disadari pemerintah kita. Buktinya perbaikan kebijakan kurikulum senantiasa terjadi dengan dalih pendidikan belum sesuai harapan. 

Untuk apa perbaikan-perbaikan kalau hanya sebatas siapa atau sekolah siapa siap. Semua sekolah siap memakai kurikulum merdeka belajar.

Tapi tidak semua kepala sekolah mampu menahan siswa mereka untuk tetap duduk di bangku sekolah karena tidak adanya ketegasan kedisiplinan di sekolah. 

Guru dan sekolah yang mendisiplinkan anak-anak di sekolah siap-siaplah menuju kasus dengan pasal kekerasan terhadap anak di bawah umur atau kasus pungli karena guru mendenda siswanya yang cabut atau tidak mengerjakan tugas dengan benar.

Tidak semua peserta didik berkarakter harus dihadapi dengan kelembutan, beberapa di antara mereka berlatar keluarga keras. 

Ketika mereka dihadapi dengan lembut justeru mereka semena-mena dengan tidak hadir-hadir sama sekali ke sekolah. Menghadapi anak-anak seperti ini dengan kondisi orang tua yang tidak mau tahu bahkan tak sanggup menghadapi anak sendiri tentu guru pun kewalahan. Apalagi guru kita yang masih berusia muda-muda.

Ada seorang anak tunggal di kampung saya. Tiap hari cabut, ketika guru melaporkan ini kepada orang tuanya, ayahnya pun cuek menanggapi dengan berkata biarkan saja. Masih usia bermain. Nanti Pasti sukses. Sekarang ia menjadi salah satu anggota DPRD di wilayah pemilihan kampung kami.

Apa jadinya suara rakyat kecil dengan wakil rakyat seperti itu. Okelah jika dia mungkin belajar mandiri di rumah. Kita berpikiran positif saja karena sultan mah bebas kata generasi milenial. Artinya bisa les mandiri atau belajar mandiri di rumah hingga bisa pencapaian jabatan itu.

Meningkatkan Pelatihan-Pelatihan

Selama ini pelatihan-pelatihan atau latihan pendidikan keterampilan (LPK) ada tetapi hanya utusana satu orang per desa dengan jangka waktu yang begitu jauh. Kadang hanya sekali dalam setahun. Kalau kita simak sih program Pemberdayaan Masyarakat Desa , seperti UMKM, BUMDes, Program Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pertanian, Program Pemberdayaan di Bidang Kesehatan, Program Pemberdayaan di Bidang Agama.

Tetapi program ini hanya formalitas di atas kertas untuk daerah-daerah karena kurangnya pengawasan seperti di kota-kota. 

Kemudian pelatihan-pelatihan itu belum menyentuh elemen terkecil masyarakat di pedesaan sehingga urbanisasi tetap menjadi primadona di tengah menyempitnya lahan pertanian ini.

Jika hal ini tak disiasati oleh pemerintah tentu populasi penduduk dan bonus demografi di kota-kota tidak bisa di atasi. Populasi produktif ini sudah harus dibenahi dengan produk nyata bukan sekedar program pelengkap laporan kenaikan pangkat dinas atau jabatan terkait. CCTV di mana-mana mungkin bisa juga menjadi salah satu strateginya.

Tanpa strategi, jangan tua sebelum kaya tentu hanya bisa diwujudkan golongan tertentu saja. Sementara hidup terus berlanjut. Mereka butuh ketersediaan sandang, papan, dan pangan. 

Kadang ingin berspekulasi juga tapi dengan siapa. Tentang sebenarnya besaran mana pengeluaran negara pengadaan untuk kartu pra kerjaplus uang PKH daripada dengan melakukan pelatihan nyata berhasil produk langsung bisa jual?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun