Nah, sebelum lokakarya ini dimulai, para peserta diminta mengirimkan puisi untuk "dibedah" bersama-sama saat acara. Namun hanya beberapa saja, mengingat waktu yang sangat terbatas.
Ia menegaskan, seorang penyair akan menghasilkan karya dengan proses unik, yaitu 25% membuat draft dan 75% menyuntingnya. Di sanalah seni berpuisi akan terasa.
Baginya, menulis puisi itu menantang tapi asyik, dan melalui penyuntingan ini, ia akan menunjukkan asyiknya di bagian mana. Singkat cerita, dipilihlah sebuah puisi berjudul "BANGKU CINTA", karya seorang peserta namun tak disebutkan namanya. Berikut puisinya:
Sudah terlalu lama
Kita duduk di bangku yang sama
Dengan aku menghadap belakang
Dan kau menghadap depan
Sampai-sampai kita saling lupa rupa.Â
Menurut Jokpin, puisi ini "mahal" karena menggunakan kata-kata indah, apalagi menulis puisi pendek bukanlah pekerjaan mudah.
Walau begitu, ia mengatakan bahwa karya ini akan memiliki nilai yang lebih tinggi apabila disunting di beberapa bagian; bisa menggantinya dengan kata lain yang lebih dalam atau mengubahnya dengan kata yang lebih efektif. Baginya, mengutak-atik puisi adalah hal menyenangkan apalagi akan membuat puisi lebih sempurna.
Setelah 20 menit berjalan, didapatlah "BANGKU CINTA" versi baru ala Jokpin:
Sudah terlalu lama
Kita duduk di bangku yang sama
Aku menghadap barat, kau menghadap timur
Kita saling lupa rupa
Bagaimana menurut kamu? Terasa lebih enak dibaca bukan?
Nah, Jokpin mengharapkan agar para penulis masa kini dapat menjalani proses kreatif penyuntingan puisi ini dengan sabar. Tentu saja demi menghasilkan puisi yang lebih bagus.Â
Masih di acara lokakarya Festival Patjar Merah, Jokpin beralih ke puisi lain untuk dilakukan penyuntingan. Sebuah puisi panjang memenuhi kertas, yang jelas lebih ruwet dari puisi pertama.Â