Cerah hari itu semeriah ruang kelas Elen, siswa kelas dua Sekolah Dasar. Riuh kelas itu tiap hari, nyaris tak pernah henti, diramaikan oleh dua puluh siswa-siswi kisaran usia delapan tahun. Sedari pagi hingga jam pulang, anak-anak itu berkali-kali menyibukkan Rosa. Guru wali kelas dua, Sekolah Dasar Biang Bahagia, Yogyakarta. Di tengah riuh anak-anak, Rosa mengungkapkan bahwa hari itu hari spesial.
"Anak-anak tahu tidak hari ini tanggal 10 November. Hari ini adalah hari pahlawan" ungkap Rosa.
Seketika anak-anak terdiam dan terdiam, menyimak penuh tanya.
"Mereka semua telah wafat, mereka hidup pada era sebelum merdeka. Merekalah yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia". Jawab Rosa dengan detail.
"O... Kakek buyut kita ya buk?" cetus Nina, teman Elen.
"Iya, Kakek nenek moyang Bangsa Indonesia. Mereka sangat berjasa mengusir penjajah" papar Rosa.
"Siapa itu penjajah buk?" tanya Kei.
Tak habis pertanyaan mereka mengulik tentang pahlawan-pahlawan itu. Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir, bagai letupan-letupan lava dari mulut gunung. Sambut bergayung, Rosa, guru muda itu semangat menjelaskan bagaimana perjuangan pahlawan itu menyelamatkan bangsa dan memerdekakan Indonesia. Meski kadang harus mengulang, tak bosan ia menjelaskan tentang detail cerita sejarah itu.
"Kring...kring.."
Suara bel tanda jam pulang berbunyi. Seketika anak-anak bersorak gembira, "Pulang...".
Sesaat bel jam pulang berbunyi, kebisingan berpindah ke depan kelas. Mereka berimpitan memadati loker sepatu. Sebagian berhasil mengambil satu sepatu, ada juga yang masih antre di belakang sambil merapikan tasnya. Elen salah satunya, sembari menanti loker sepi, Elen memeriksa kembali alas tulisnya.
"Waduh... Kotak pensil kok nggak ada?" keluhnya lirih.
Elen melangkah kembali masuk ke kelasnya, memeriksa laci meja di mana ia duduk semula. Dia saksikan kotak pensilnya di dalam laci, namun saat ditarik, kotak pensil Elen tidak bergerak. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Berkali ia mencoba tetapi  tak membuahkan hasil. Menyaksikan itu, Rosa mendekatinya dan mencari tahu apa yang dilakukan Elen. Sambil terus mengamati, Rosa meminta Elen mundurkan langkah agar Rosa bisa leluasa mengambil kotak pensil itu. Lorong laci itu cukup panjang dan tidak datar, tentu anak sekecil Elen kesulitan mengambilnya. Spontan Rosa melepas jedai, digunakan menyambung tangannya meraih kota pensil Elen. Sekian menit mencoba, akhirnya kota pensil itu berhasil diambil, namun jedai Rosa patah beberapa giginya.
"Ini kotak pensil Elen" ucap Rosa sambil menyodorkan kotak pensil warna kuning berhias beruang cokelat kecil.
"Alhamdulillah. Terima kasih Buk. Yah..., jepit rambut ibu patah. Ibu, sudah berkorban. Berarti ibu pahlawan". Ucapnya ceria.
"Bukan." Jawab Rosa spontan. "Eee...Iya, bisa dibilang begitu, tetapi  pahlawan bagi Elen saja. Bukan seperti pahlawan yang ibu ceritakan tadi". Jawab Rosa sambil tersenyum manis.
"Hm...." Masih ingin  Elen menyambung pertanyaan itu, namun ia ingat jika ibunya mungkin sudah lama menunggu digerbang sekolah.
"Ya sudah, Elen buruan Sudah ditunggu bunda" Tangkas Rosa. Guru muda itu kembali menuju meja guru membereskan barang bawaannya.
Tak lama berselang, keduanya sudah meninggalkan ruang kelas. Berpisah jalan di Lorong. Elen berlari kecil menuju gerbang sekolah, Rosa menuju kantor guru.
***********
Sesampai di rumah, Elen tak lantas masuk rumah. Menuruni motor matic berwarna merah itu, Elen memberikan helm kepada ibunya, Sisil.  Sambil melepas sepatunya, Elen bertanya : "Ma, tadi ibu Rosa cerita, hari ini hari pahlawan. Bu Rosa juga pahlawan lo Ma... Tetapi  anehnya Bu Rosa unhappy dianggap pahlawan". Cerita Elen sambil menanti Sisil membuka pintu rumah mereka.
"Bu Rosa memang pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa." Jawab Sisil sambil mengarahkan Elen memasuki rumah.
"Kenapa tanpa tanda jasa Ma?"
"Elen berkemas dahulu , berganti pakaian ya sayang..."
Siang itu Elen merasa sangat bingung atas perbedaan penjelasan antara Ibu Rosa dan Mamanya. Setelah berganti pakaian dan mencuci tangan dan kaki, Elen bersiap makan siang. Elen dan Sisil melanjutkan perbincangan asyik tentang rangkaian kejadian kotak pensil itu. Sisil menjelaskan, perbedaan antara kepahlawanan Rosa dengan para pahlawan yang tercatat sebagai pahlawan kemerdekaan yang sedang diperingati di hari itu. Bahkan, menjelaskan pula kepahlawanan Rosa menyelamatkan kotak pensil Elen. Cukup lama diskusi itu, karena rasa penasaran Elen tak surut dan terus membuih. Pertanyaan Elen bergulir mengalir bak efek domino, mencolek-colek segenap peristiwa perihal pahlawan.
"Pahlawan itu ada yang bertanda jasa dan tidak bertanda jasa. Pahlawan berjasa itu diakui oleh negara, seperti Jenderal Soedirman, Pangeran Diponegoro. Sedangkan pahlawan tanpa tanda jasa itu misal guru. Mereka itu pahlawan, namun bukan pahlawan nasional. Orang yang sedang bekerja di Luar Negeri juga pahlawan, pahlawan devisa negara." Jelas Sisil sembari menyuapi Elen.
"Semua orang bisa jadi pahlawan ya Ma?" tanya Elen.
"Iya Sayang, asal mau membantu dan berkorban bagi bangsa dan orang lain. Termasuk Ibu Rosa yang membantu Elen dan berkorban jedai. Sebagai pelajar, Elen juga bisa jadi pahlawan." Jawab Mamanya sambil menyodorkan minum kepada Elen.
"Bagaimana caranya Ma?" tanya Elen sambil menelan paksa air yang diberikan Sisil. Hampir saja Elen tersedak, efek terlalu bersemangat bertanya.
"Elen harus melanjutkan cita-cita para pahlawan. Dahulu  mereka mengusir penjajah supaya anak cucunya bisa hidup merdeka, jadi generasi cerdas. Elen harus belajar, berprestasi dan bisa berguna untuk bangsa" papar Sisil.
"Seperti Bu Rosa ya Ma?" sahut Elen.
Belum sempat Sisil menjawab, datang Febi, adiknya, seraya menyahut
"Apaan seeh dari tadi kok kayaknya seru obrolannya?" tanya Febi.
"Ngobrolin soal hari pahlawan tante" jawab Elen.
"Jangan...,Nanti arwah para pahlawan nggak tenang." Ledek Febi
"Kalau Tante  Febi jadi pahlawan apa?"
"Pahlawan kesiangan ha...ha..." jawab Febi sambil tertawa terbahak-bahak. Febi mencoba menjabarkan pernyataan itu sembari menjumput tempe orek, menu makan siang keluarga Elen siang itu.
"Huss... nggak baik. Elen masih dalam tahap belajar sungguh-sungguh tentang pahlawan nasional" tangkas Sisil.
"Aku juga serius lo mbak..." tangkis Febi. "Dikalangan anak muda, sekarang yang penting kerja mbak, ngungkit-ungkit peristiwa pahlawan juga nggak ada gunanya kalau nggak kerja" timpal Febi.
"Memang betul, tetapi  bukan berarti kita tidak perlu mengenang jasa-jasa para pahlawan kita kan? Coba bayangkan bila semua orang hanya fokus bekerja tanpa punya semangat nasionalisme? Jangan lupa Febi, peringatan hari pahlawan agar kita mengenang jasa mereka mengusir penjajah dan memupuk rasa nasionalisme. Itu bisa dimulai dari lingkungan pendidikan dan sejak usia dini" jelas Sisil.
"waktu sekolah dari TK sampai SMA selalu upacara hari pahlawan. Kok tidak berbekas ya mbak rasa itu? Luntur entah kemana." Tanya Febi
"Kenapa bisa? Apa yang terlintas jika mendengar cerita tentang pahlawan?" tanya Sisil.
"Ingat seeh, jasa-jasa pahlawan mbak, tetapi  ya kayak berpikir itu kan dahulu , sekarang kan beda zaman. Saat masuk dunia kerja, tak pernah ditanya perihal pahlawan-pahlawan itu. Tidak ada penjajah lagi." ujar Febi.
"Yakin tidak ada penjajah lagi? Kalau misal orang tidak lagi berpikir tentang nasionalisme, sedang potensi sumber daya alam Indonesia melimpah, apa tidak berbahaya jika begitu? Ingat lo dahulu  sejarah penjajahan terjadi karena ketertarikan VOC terhadap rempah-rempah alam Indonesia. Plus Indonesia belum terbentuk dalam negara" urai Sisil.
"Mungkin bukan nggak punya jiwa nasionalisme mbak, kami hanya bingung, di hari pahlawan kami harus seperti apa? Semua orang tetap bekerja juga kan di hari itu?" timbal Febi.
"Ya.. walau memperingati hari pahlawan, bukan berarti tidak harus bekerja kan? Kita masih bisa melanjutkan aktivitas kita masing-masing. Kita hanya dianjurkan merenungkan jejak jasa-jasa pahlawan agar kita bisa menghargai pengorbanan itu dan bisa menjaga kemerdekaan yang telah mereka perebutkan dengan darah." Jelas Sisil.
Sisil berdiri mengangkat piring dan gelas menju ke wastafel yang berjarak tak jauh dari meja makan, tempat mereka bercengkerama mengobrolkan perihal pahlawan. Elen mengatakan bahwa ada pekerjaan rumah (PR) Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Keduanya bergegas meninggalkan Febi yang baru bersiap akan menikmati makan siang. Berakhir pula perbincangan persepsi antar generasi itu soal pahlawan disiang hari itu.
Rujukan :
Pahlawan Sederhana (hal. 105-112), 2022, KMO, Jawa Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H