Mohon tunggu...
Reza Imansyah
Reza Imansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Indonesia

Seorang mahasiswa teknik sipil yang sangat menyayangi ilmunya. Suka menguak sisi lain Indonesia, khususnya dalam sosial, budaya, dan politiknya. Menulis menjadi bagian dari hidup. Dan akan terus hidup walau saya mati. Saya yakin.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gagasan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Indonesia terhadap Perubahan Iklim

27 Agustus 2020   09:44 Diperbarui: 27 Agustus 2020   09:47 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panel Surya sebagai Salah Satu EBT (rctiplus.com, 2020)

Sebagian masyarakat Indonesia tidak menyadari bahwa perubahan iklim sudah terjadi. Menurut penelitian YouGov pada tahun 2019, 18 persen masyarakat Indonesia mempercayai bahwa aktivitas manusia tidak mempengaruhi perubahan iklim dan 6 persen masyarakat Indonesia tidak mempercayai adanya perubahan iklim. 

Hal ini membuat perlunya suatu sistem yang wajib sesegera mungkin dirancang dan dilaksanakan supaya tingkat kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim semakin meningkat.

Pemerintah sebenarnya telah mengusahakan banyak hal supaya perubahan iklim tidak terus berlanjut, salah satunya dengan target pencapaian peningkatan pembauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025. 

EBT adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali ke bentuk semula dan menggunakan teknologi relatif baru serta modern. Adapun tujuan dari kehadiran EBT adalah mengurangi efek rumah kaca dan ketergantungan energi fosil yang terbatas di Indonesia sehingga hadirnya EBT dapat mengurangi efek perubahan iklim. 

Namun, dengan memerhatikan aspek-aspek untuk merealisasikan EBT, apakah munculnya gagasan EBT mampu meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat Indonesia kepada perubahan iklim?

Realisasi EBT

EBT sebagai terobosan cerdas dari pemerintah sayangnya memiliki banyak tantangan dalam proses merealisasikannya. Teknologi EBT yang mahal, kebijakan dan regulasi yang belum jelas, pemerataan yang sulit, dukungan finansial yang rendah, serta daerah terpencil, yang pastinya belum memahami secara mendalam mengenai masalah global berupa perubaan iklim, masih meminta generator pembangkit listrik berbahan bakar fosil adalah alasan-alasan yang menggambarkan sulitnya merealisasikan EBT. 

Selain itu, alasan-alasan ini juga mempersulit pengetahuan masyarakat perihal EBT, disertai dengan kurang hadirnya pemerintah dalam mencerdaskan dan memberikan informasi mengenai EBT.

Upaya menghadirkan EBT memang sangat mahal. Agung Kuswandono, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa pada 23 April 2019 di Rapat Koordinasi dan Peninjauan Lapangan Kaji Banding Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Sekam Padi, Palembang menyatakan pembiayaan bagian awal pembangunan EBT memang relatif sulit. 

Namun, upaya ini dapat dikatakan sebagain investasi karena menurut perhitungan pemerintah apabila EBT sudah dapat direalisasikan, anggaran pemerintah dapat dihemat sampai puluhan triliun setiap tahunnya. 

Walaupun cukup sulit masyarakat (khususnya lapisan ekonomi menengah ke bawah) mencerna investasi dalam bentuk penghematan dan pembaharuan energi, akan tetapi pemerintah perlu usaha yang lebih dalam rangka mencerdaskan masyarakat. 

Contoh yang bisa diambil dalam mewujudkan hal ini adalah ketika Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo turun tangan dan konsentrasi dalam perencanaan dan pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (tenaga angin) di Sidrap, Sulawesi Selatan. Masyarakat Sidrap pun menanggapi positif kehadiran pembangkit ini. 

Apabila pemerintah berhasil dalam melangsungkan proses pengenalan investasi dan pembuatan EBT, tidak menutup kemungkinan masyarakat yang berada pada lapisan ekonomi dan sosial menengah ke bawah menjadi peduli dan peka terhadap isu-isu keseimbangan alam, khususnya perubahan iklim.

Selain dalam perspektif lembaga eksekutif, lembaga legislatif sebagai pembuat kebijakan perlu memperhatikan eksistensi EBT ini. Perlu ada kebijakan dan regulasi yang jelas dalam rangka menghasilkan EBT yang sesuai dengan rencana awal. Sampai dengan saat ini, lembaga legislatif baru berada pada tahap membuat Rancangan Undang-Undang EBT. 

Dokumen yang mendukung dan mengatur EBT hanya terdapat pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 39/K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028. Kebijakan dan regulasi yang ada belum mengatur dan mengendalikan seluruh aspek baik sarana maupun prasarana dari EBT.

Selain itu, sinergisasi antar lembaga pemerintahan juga masih minim terhadap kehadiran EBT. Masyarakat sebagai subjek yang ditujukan dalam operasional pemerintahan tidak akan mampu memahami EBT apabila lembaga pemerintahan sebagai pengendali sistem tidak memberikan konsentrasi pada hal yang sudah perlu diperhatikan dalam perspektif global, yakni perubahan iklim itu sendiri. 

Pemerintah masih terlalu fokus dalam menerapkan kebijakan-kebijakan politis dan menyelesaikan permasalahan di Indonesia yang sifatnya dinilai lebih fundamental (seperti kejujuran dan ketertiban) untuk dianalisis. 

Padahalnya, masalah alam dapat dikatakan fundamental apabila memperhatikan kondisi negara di masa mendatang. Apabila negara tidak memberi perhatian tertentu pada perubahan iklim, masa depan penerus bangsa akan dipersulit dengan kondisi lingkungannya.

Potensi di wilayah Indonesia begitu beragam, sehingga untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan tidak merata. Hal ini akan semakin rumit jika menghubungkan daerah yang memiliki ketersediaan sumber energi dan daerah yang memerlukan energi lebih. 

Contohnya di Gunung Kidul, Yogyakarta yang memiliki potensi untuk menghasilkan listrik tenaga angin sampai 100 MegaWatt tetapi daerah tersebut tidak memerlukan sumber daya listrik lebih, justru daerah Indonesia Timur yang lebih memerlukan. S

ebuah keberuntungan bagi masyarakat Sidrap ketika mereka memang memerlukan energi listrik tambahan dan daerah tersebut memiliki potensi besar untuk dibangun pembangkit tenaga angin, sehingga muncul pemahaman pentingnya kehadiran EBT dari masyarakat tersebut. Beragamnya potensi dan kebutuhan energi di setiap wilayah Indonesia justru menjadi hal penghambat realisasi dan perhatian masyarakat kepada EBT.

Dukungan finansial dari pihak pemerintah dan swasta masih kurang dalam merencanakan dan merealisasikan EBT di Indonesia. Sejalan dengan keberadaan kebijakan dan regulasi, pemerintah masih lebih memberi fokus pada anggaran untuk hal-hal lain seperti pendidikan, kesehatan, dan pertahanan-keamanan. 

Pihak swasta juga perlu memerhatikan bahwa EBT adalah hal penting, sehingga pemerintah perlu lebih gencar menawarkan investasi kepada pihak swasta untuk membiayai perencanaan dan pembangunan EBT.

Usaha lebih pemerintah dalam menawarkan investasi kepada pihak swasta dapat memberikan rasa peduli lebih kepada masyarakat lapisan ekonomi dan sosial menengah ke atas perihal perubahan iklim, hal ini disebabkan umumnya pihak swasta tergolong pada lapisan tersebut. 

Selain itu, menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Darma, pemerintah seharusnya menetapkan harga jual listrik, yang mempengaruhi perkembangan EBT, sebaiknya berdasarkan investasi pengembang, bukan biaya pokok Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

Hal ini sangat mengurangi minat investor untuk memperhatikan EBT. Namun, dalam merealisasikan ide ini pemerintah memerlukan tenaga yang lebih untuk mengawasi proses investasi dan pembangunan EBT agar tidak terjadi kecurangan dalam berbagai aspek, di antaranya keuangan dan materi pembangunan.

Realisasi EBT yang sulit didukung pula dengan sulitnya masyarakat di daerah terpencil untuk mengenali EBT sehingga dapat menggunakannya. Masyarakat di daerah terpencil jauh lebih baru mengenali pembangkit energi yang berasal dari bahan bakar fosil daripada masyarakat perkotaan, oleh karenanya secara psikis masyarakat tersebut masih kagum dengan teknologi yang sebenarnya sudah cukup usang bahkan ditinggalkan oleh negara-negara maju. 

EBT juga memiliki sistematika yang lebih rumit dalam segi penempatan bangunan pembangkitnya dan penggunaannya, juga memerlukan perawatan lanjut yang lebih perlu diperhatikan daripada pembangkit berbahan bakar fosil. 

Masyarakat di daerah terpencil, yang logikanya berada pada lapisan sosial masyarakat menengah ke bawah, umumnya tidak mau menggunakan hal yang lebih kompleks, disertai minimnya pengetahuan akan perubahan iklim dan ketidakseimbangan alam. 

Melihat alasan ini lebih mengarah kepada subyektifitas masyarakat, solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah penyuluhan secara masif dan mengarahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak pada bidang terkait ini untuk membantu pemerintah dalam penyuluhan. 

Melihat diagram di atas, sepertinya kurikulum yang ada sudah mencakup pada dua langkah pertama secara teori. Namun, seperti kecacatan kurikulum Indonesia umumnya adalah kurangnya tindakan konkret atau praktikal terhadap teori-teori yang dipelajari. 

Apabila kurikulum berhasil memberi tindakan atas teori-teori secara nyata dan lokasi pemberian kurikulum ini merata, semakin sedikit masyarakat yang masih menginginkan penggunaan bahan bakar fosil. 

Pendidikan yang baik dapat membentuk masyarakat yang semakin memperhatikan kondisi sekitarnya walaupun sedikit disusahkan, dalam hal ini tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan dasar untuk pembangkit listrik melainkan menggunakan EBT. 

Hadirnya tindakan konkret yang akan memberikan kesimpulan tertentu pastinya akan semakin meningkatkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat baik terhadap isu perubahan iklim maupun isu aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan iklim.

Pemerataan Merupakan Kata Kunci

Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), terdapat empat sektor kunci dalam pengembangan EBT, yaitu transportasi, bangunan, industri, dan sumber energi. Sektor-sektor kunci ini pastinya dimiliki terlebih dahulu oleh daerah-daerah yang lebih maju, serta semakin modern akan semakin canggih keberadaan dan penggunaan sektor-sektor kunci tersebut. 

Dapat dikatakan, semakin modern sebuah daerah maka semakin berpengalaman daerah tersebut dalam mengoperasikan sektor-sektor kuncinya. Mungkin, ketika isu energi yang tidak dapat diperbaharui belum sebanyak sekarang, kota-kota yang lebih maju seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung belum memikirkan pembaharuan energi tetapi sudah menggunakan secara masif bahan bakar tidak dapat diperbaharui sebagai sumber energi. 

Akan tetapi, setelah majunya teknologi dan informasi, kota-kota yang sudah maju akan cenderung berusaha menggunakan EBT, didukung dengan aspek ekonomi, sosial, dan budaya yang mengikuti tren. Sayangnya, di daerah lain belum ada tren semarak di kota-kota besar, sehingga polanya akan terus tertinggal.

Dalam sektor transportasi, tidak hanya kota kecil bahkan Jakarta sebagai kota metropolitan pun tertinggal daripada kota-kota di negara lain. Indonesia masih belum mampu memanfaatkan dengan baik bahan bakar yang ramah lingkungan seperti biodiesel dan biofuels sebagai bahan bakar kendaraan. 

Banyaknya kendaraan disertai sulitnya mengontrol keberadaan kendaraan ini membuat semakin banyak penggunaan bahan bakar fosil, apalagi pemerintah masih memberikan biaya subsidi kepada beberapa bahan bakar fosil dan bahan bakar tersebut (yang disubsidi oleh pemerintah) memiliki nilai oktan yang kurang baik untuk lingkungan. 

Perlu ada langkah yang cukup sulit dilakukan pemerintah dalam menangani hal ini. Mengurangi jumlah kendaraan pastinya menjadi solusi utama, dengan dapat memberikan regulasi-regulasi tertentu yang lebih efektif dalam rangka memperkecil kemungkinan perubahan iklim di kota metropolitan karena polusi udaranya yang sangat masif. Semakin banyak regulasi yang ada, masyarakat akan semakin menyadari perubahan iklim sangat nyata.

Untuk sektor industri, diharapkan pabrik-pabrik dan penambangan-penambangan dapat memanfaatkan sumber energi untuk proses pengerjaannya seperti pemanasan dan pendinginan melalui EBT, contohnya sumber listrik untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut menggunakan pembangkit listrik tenaga angin. 

Dalam hal ini, perlu adanya kerjasama pemerintah sebagai penyedia lahan dan pembuat regulasi dan pihak swasta sebagai operator dari industri pada umumnya. Apabila industri yang ramah lingkungan tercapai, dapat terjadi kepekaan lingkungan baik dari pemilik industri, pekerja industri, dan stakeholders terkait industri tersebut yang dapat pula menjadi nilai jual sebuah perusahaan industri.

Sektor bangunan menjadi penting diperhatikan karena pemanfaatan EBT bisa dilakukan di gedung-gedung bahkan rumah-rumah. Kompor listrik dapat memanfaatkan energi listrik dari sumber yang berbasis EBT, begitupula dengan pendingin. 

Konsep konstruksi bangunan yang ramah lingkungan juga membantu pengurangan potensi perubahan iklim di daerahnya, dalam hal ini Indonesia. Konstruksi yang minimalis dan aerodinamis dapat mengurangi kebutuhan pendingin ruangan yang jelas menyebabkan efek gas rumah kaca dan semakin meningkatkan potensi perubahan iklim. 

Hal lain yang dapat diperhatikan pula adalah konsep bangunan seperti itu akan meningkatkan kesadaran masyarakat yang melihatnya untuk semakin memahami dan mengingat ulang bahwa perubahan iklim itu nyata dan semakin mendekat menuju kehidupan manusia ke depannya.

Didukung dengan keberadaan sumber energi yang berbasis EBT, ternyata dapat diperlihatkan bahwa semakin majunya sektor transportasi, industri, dan bangunan akan menghasilkan kesadaran yang lebih pada lingkup masyarakat di dalamnya. 

Hal ini dikarenakan di daerah yang lebih maju dan modern, informasi semakin cepat untuk didapatkan sehingga cukup mudah untuk melakukan acuan tertentu pada sebuah sistem untuk dilakukan di daerah tersebut. Kemudian, pengalaman daerah tersebut dalam membangun kota serta sarana-prasarananya lebih lama dan berpengalaman, sehingga fase untuk mencapai EBT sangat memungkinkan untuk lebih jauh dibandingkan daerah-daerah lainnya.

Oleh karena itu, persebaran sektor-sektor ini perlu segera dimeratakan agar tujuan untuk memanfaatkan EBT semakin cepat terlaksana menyeluruh di Indonesia. Selain itu, dapat menghasilkan masyarakat yang lebih memahami perubahan iklim. Efek dari pemerataan ini juga mencakup kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara supaya segera mencapai tahap madani.

Berharap Besar pada EBT

Secara empiris sudah terbukti manusia berhasil meningkatkan kemampuan teknologi, informasi, dan komunikasi yang menghasilkan berbagai sistem dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan hal tersebut, manusia pada akhirnya mempunyai sikap respek terhadap kemajuan dan modernisasi sistem. Artinya, manusia kemungkinan besar akan meninggalkan sistem yang lebih kuno, sulit digunakan, apalagi normatif fungsinya.

Dalam rangka meningkatkan kepekaan dan kepedulian di era sekarang, perlu ada metode-metode yang menyesuaikan dengan lingkup masyarakat yang menjadi subyek tujuan. 

Kemungkinan besar, masyarakat Indonesia di daerah terpencil yang telah dikatakan masih menginginkan sumber energi dari bahan bakar fosil lebih mudah untuk diarahkan supata memedulikan perubahan iklim karena di daerah mereka sendiri umumnya kondisi iklim masih baik dan sebagai pihak yang memegang sistem (pemerintah beserta stakeholder-nya) cukup memberikan pencerdasan dan penyuluhan yang lebih sederhana dan masif sehingga mereka semakin peduli dengan perubahan iklim. 

Misalnya, masyarakat di daerah tersebut diberitahukan dampak dari penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan di kota-kota besar seperti polusi udara, sungai tercemar, dan lingkungan yang tidak mendukung proses kehidupan sehari-hari.

Letak kesulitan yang paling besar adalah meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim pada pribadi masyarakat yang berada pada daerah lebih maju dan modern. Kecendrungan masyarakat yang individualis memunculkan sikap apatis terhadap sekitar, baik makhluk hidup maupun lingkungan. Contohnya di Jakarta,  menurut riset dari Dr. R. Budi Haryanto, SKM, M. Kes, M. Sc., Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) pada tahun 2018, 80 persen penyebab polusi udara adalah transportasi. 

Namun, masyarakat Jakarta tidak memedulikan riset tersebut dengan lebih mementingkan pekerjaan dan pendidikan formalnya. Masih banyak masyarakat Jakarta yang menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum. Bahkan, pada tahun 2017, jumlah sepeda motor di Jakarta lebih banyak daripada penduduknya. Kepedulian terhadap lingkungan di masyarakat Jakarta dapat dikatakan rendah,

Melihat permasalahan kondisi kepedulian masyarakat terhadap lingkungan di kota-kota yang lebih maju, perlu ada sistem yang menarik dan direspek oleh masyarakat supaya dapat meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan itu sendiri. 

EBT dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan hal ini. Sesuai dengan definisi EBT yaitu tidak sekadar sumber energi dari sesuatu yang mudah diperbaharui, tetapi juga menggunakan teknologi relatif baru dan modern, kehadiran EBT akan menciptakan sesuatu nilai lebih di masyarakat perkotaan, khususnya kota-kota metropolitan. 

Kondisi masyarakat yang sudah melek teknologi, informasi, dan komunikasi, apalagi sudah terkena dampak globalisasi seperti mencontoh budaya luar negeri, EBT dapat menjadi sebuah sistem yang memperlihatkan bahwa kondisi perubahan iklim sudah terjadi. Hadirnya EBT dapat menjadi suatu bukti nyata, bahwa masyarakat perlu memanfaatkan gagasan ini perlu dirancang dan dilaksanakan sesegera mungkin.

Masyarakat perkotaan yang cenderung memiliki pengalaman dan pendidikan lebih juga dapat membantu peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim di daerah-daerah lain. 

Dengan menggunakan kemampuan lebih, masyarakat perkotaan dapat memberi pencerdasan, publikasi, dan bukti empiris bahwa perubahan iklim sudah ada sehingga dalam mewujudkan hal ini tidak semata-mata bergantung pada pemerintah atau lembaga-lembaga terkait. Apabila hal ini berhasil dilakukan, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi bangsa dan negara yang sangat peduli secara merata terhadap perubahan iklim.

Kemunculan gagasan Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat menjadi sebuah jawaban untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap perubahan iklim. Akan tetapi, perlu usaha serentak dari pemerintah secara vertikal (pusat dan daerah) juga horizontal (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk memberi perhatian lebih dan melaksanakan rencana-rencana dalam menyukseskan EBT di Indonesia. 

Pemerataan pembangunan juga harus segera direalisasikan karena hal ini memegang banyak peranan kunci, salah satunya adalah meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarat terhadap perubahan iklim dari wujud nyata berupa realisasi EBT. Ternyata, selain dapat menyelesaikan permasalahan yang bersifat fisik, EBT juga mampu memberi hasil demi membentuk masyarakat yang lebih baik dan madani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun