Walaupun cukup sulit masyarakat (khususnya lapisan ekonomi menengah ke bawah) mencerna investasi dalam bentuk penghematan dan pembaharuan energi, akan tetapi pemerintah perlu usaha yang lebih dalam rangka mencerdaskan masyarakat.Â
Contoh yang bisa diambil dalam mewujudkan hal ini adalah ketika Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo turun tangan dan konsentrasi dalam perencanaan dan pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (tenaga angin) di Sidrap, Sulawesi Selatan. Masyarakat Sidrap pun menanggapi positif kehadiran pembangkit ini.Â
Apabila pemerintah berhasil dalam melangsungkan proses pengenalan investasi dan pembuatan EBT, tidak menutup kemungkinan masyarakat yang berada pada lapisan ekonomi dan sosial menengah ke bawah menjadi peduli dan peka terhadap isu-isu keseimbangan alam, khususnya perubahan iklim.
Selain dalam perspektif lembaga eksekutif, lembaga legislatif sebagai pembuat kebijakan perlu memperhatikan eksistensi EBT ini. Perlu ada kebijakan dan regulasi yang jelas dalam rangka menghasilkan EBT yang sesuai dengan rencana awal. Sampai dengan saat ini, lembaga legislatif baru berada pada tahap membuat Rancangan Undang-Undang EBT.Â
Dokumen yang mendukung dan mengatur EBT hanya terdapat pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 39/K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028. Kebijakan dan regulasi yang ada belum mengatur dan mengendalikan seluruh aspek baik sarana maupun prasarana dari EBT.
Selain itu, sinergisasi antar lembaga pemerintahan juga masih minim terhadap kehadiran EBT. Masyarakat sebagai subjek yang ditujukan dalam operasional pemerintahan tidak akan mampu memahami EBT apabila lembaga pemerintahan sebagai pengendali sistem tidak memberikan konsentrasi pada hal yang sudah perlu diperhatikan dalam perspektif global, yakni perubahan iklim itu sendiri.Â
Pemerintah masih terlalu fokus dalam menerapkan kebijakan-kebijakan politis dan menyelesaikan permasalahan di Indonesia yang sifatnya dinilai lebih fundamental (seperti kejujuran dan ketertiban) untuk dianalisis.Â
Padahalnya, masalah alam dapat dikatakan fundamental apabila memperhatikan kondisi negara di masa mendatang. Apabila negara tidak memberi perhatian tertentu pada perubahan iklim, masa depan penerus bangsa akan dipersulit dengan kondisi lingkungannya.
Potensi di wilayah Indonesia begitu beragam, sehingga untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan tidak merata. Hal ini akan semakin rumit jika menghubungkan daerah yang memiliki ketersediaan sumber energi dan daerah yang memerlukan energi lebih.Â
Contohnya di Gunung Kidul, Yogyakarta yang memiliki potensi untuk menghasilkan listrik tenaga angin sampai 100 MegaWatt tetapi daerah tersebut tidak memerlukan sumber daya listrik lebih, justru daerah Indonesia Timur yang lebih memerlukan. S
ebuah keberuntungan bagi masyarakat Sidrap ketika mereka memang memerlukan energi listrik tambahan dan daerah tersebut memiliki potensi besar untuk dibangun pembangkit tenaga angin, sehingga muncul pemahaman pentingnya kehadiran EBT dari masyarakat tersebut. Beragamnya potensi dan kebutuhan energi di setiap wilayah Indonesia justru menjadi hal penghambat realisasi dan perhatian masyarakat kepada EBT.