Saya sudah cukup lama menjadi seorang single fighter mom pejuang LDM (long distance marriage). Kalau nggak salah sudah sekitar 4-5 tahun terakhir ini.Â
Namun, sepertinya sepanjang tahun 2023 lalu merupakan tahun terberat, sekaligus 'terasa' banget seolah jadi wonder woman dalam menjalani hidup.
Meskipun, proses menjalani hubungan menikah tapi berjauhan dengan suami ini, terjadi secara bertahap.Â
Apa itu Single Fighter Mom Pejuang LDM
Single fighter mom merupakan sebutan saya kepada ibu yang menjalani peran sebagai orangtua, namun sendirian karena kondisi. Sengaja saya menyebutnya pakai kata 'fighter' atau pejuang, untuk membedakan dengan ibu tunggal yang memang sudah tidak memiliki hubungan pernikahan dengan ayah anak-anaknya.
Memang apa bedanya dengan single mom atau ibu tunggal?
Menurut saya, perbedaannya ada di status dan peran ayah terhadap anak-anaknya.Â
Untuk single mom, biasanya anak-anaknya lebih bergantung kepada ibunya secara keseluruhan. Baik pengasuhan maupun biaya hidup, karena hanya ada sedikit ayah yang masih mau membiayai anaknya ketika bercerai dengan istrinya. Apalagi, jika anak-anaknya tinggal bersama sang ibu.
Memang masih ada sih beberapa pasangan orangtua yang bercerai, tapi bisa melakukan co-parenting dengan baik. Namun sepertinya hanya ada segelintir berbanding ratusan ayah yang menelantarkan anaknya selepas bercerai lalu menikah lagi.
Sementara untuk single fighter mom, biasanya hanya bertanggung jawab sepenuhnya atas pengasuhan anak secara langsung. Namun biaya hidup anak-anaknya masih ditanggung oleh ayahnya.
Sisi Plus atau Enaknya jadi Single Fighter Mom Pejuang LDM
Meski kalau dipikir apalagi dilihat, terlebih dirasakan ya. Bahwa menjadi seorang single fighter mom pejuang LDM itu menyedihkan. Tapi, berdasarkan pengalaman saya, masih ada kok beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai sisi plus atau enaknya, seperti:
1. Pekerjaan rumah jadi lebih sedikit
Tak ada ayah anak-anak di rumah, berarti cucian berkurang. Masakan bisa apa adanya, terlebih anak-anak terbiasa dengan masakan maminya yang apa adanya.
Cucian piring berkurang, dan intinya semua pekerjaan rumah jadi berkurang, karena orangnya kurang satu.
Meskipun ayah anak-anak termasuk sosok lelaki yang mau bantu-bantu pekerjaan rumah, tapi apesnya beliau berjodoh dengan saya yang terbiasa rapi.
Jadi, pekerjaan yang dikerjakan beliau, sejujurnya tidak terlalu membantu, karena tidak 'sesempurna' keinginan saya.
2. Mengasuh anak jadi lebih mudah (bagi saya)
Anak-anak saya termasuk tipe anak yang nggak takut ayah, malah takut ibu. Jadi, kalau ada ayahnya di rumah, dijamin ada saja tingkah mereka untuk cari perhatian.
Terlebih, saya termasuk tipe ibu yang disiplin, berbanding terbalik dengan ayahnya yang bisa dibilang tidak sedisiplin saya. Sudah pasti membersamai anak untuk tetap disiplin jadi amat sangat menantang (baca: menguras kewarasan, hehehe).
Ketika ayahnya tidak di rumah, itu berarti mereka tidak punya banyak alasan untuk mematuhi aturan yang sebenarnya sudah kami sepakati bersama.
Misal, menyuruh anak shalat, seketika anak langsung bangkit, wudhu dan shalat.
Berbeda jika ada ayahnya, yang terjadi adalah anak-anak hanya akan menyahut,
"Bentar, nunggu papi aja, biar shalat sama-sama!"
DUH!
3. Bisa punya waktu lebih untuk memberdayakan diri
Karena pekerjaan rumah lebih sedikit (meski bukan benar-benar sedikit ya!), anak-anak lebih mudah diarahkan mengikuti jadwal yang sudah kami bikin bersama. Jadinya, saya masih punya waktu untuk melakukan hal lain yang berkaitan dengan memberdayakan diri, meski jadi ibu rumah tangga.
Saya bisa menulis secara rutin, setidaknya di 4 blog, bisa update di beberapa akun media sosial. Intinya bisa melakukan hal-hal yang bisa menghasilkan uang meski dari rumah.
Meskipun memang butuh kedisiplinan 'tingkat dewa' untuk bisa benar-benar menghasilkan sesuatu.Â
Sisi Minus atau Nggak Enaknya jadi Single Fighter Mom Pejuang LDM
Meskipun ada sisi plusnya, bukan berarti tidak ada sisi minus atau nggak enaknya ya. Berikut beberapa hal nggak enaknya yang saya rasakan selama menjalani kondisi tersebut:
1. Harus bertanggung jawab akan anak dan semuanya, seorang diri
Yang paling menantang sekaligus jadi masalah besar bagi ibu pejuang LDM adalah, ketika harus bertanggung jawab akan semua hal seorang diri. Termasuk yang berkaitan dengan anak.
Anak-anak sakit? ya dihadapi sendiri.
Meski kadang sampai nangis melihat anak kesakitan, lalu bingung harus memutuskan ke dokter atau tidak (karena saya memang nggak punya sosok dokter yang biasa dituju dan cocok untuk anak).
Anak-anak punya masalah di sekolah? Ya harus dihadapi sendiri. Sambil banyak-banyak istigfar agar nggak kelepasan ngamuk dan menyakiti anak, yang dalam pikiran saya, kok nggak mau ngerti ini ibunya sendiri yang harus menghadapi semua itu.
Ada masalah lain pun, harus dihadapi sendiri, anak-anak butuh apa, ya cari sendiri sampai dapat.Â
Puncaknya, ketika sakit, apalagi jenisnya sakit yang tidak bisa bergerak kayak sakit saraf terjepit. Ya harus dipaksa gerak, karena kalau bukan saya, terus siapa yang bisa bantu urus anak? (Saya golongan orang sungkan merepotkan orang lain, dan keluarga kandung terpisahkan ribuan KM di luar pulau).
2. Kadang merasa sedih dengan kondisi kesendirian
Menjalani kondisi sebagai single fighter mom pejuang LDM bertahun-tahun, seringnya bikin hari-hari saya terasa menakjubkan. Di mana ketika saya menyadari,Â
"Wao, betapa hebatnya saya, bisa melakukan semuanya seorang diri!"
Namun, sejujurnya selalu ada juga masa-masa merasa down, sedih, dan kesal sama kehidupan, karena kondisi yang super melelahkan ini.
Ketika berada di kondisi seperti ini, biasanya perasaan menyesal menjadi ibu itu muncul. dan butuh waktu lama sampai saya bisa menemukan cara mengatasi masa-masa lagi down, biar nggak overthinking berkepanjangan.
Kesimpulan dan Penutup
Menjadi single fighter mom pejuang LDM atau kondisi sebagai ibu tunggal karena menjalani jarak dengan ayah anak-anak, itu penuh tantangan luar biasa, setidaknya buat saya.
Namun ada plus minusnya juga loh.
Untuk sisi plus atau enaknya adalah pekerjaan rumah jadi lebih sedikit, mengasuh anak pun jadi lebih mudah karena satu arah, serta bisa punya waktu untuk memberdayai diri dengan melakukan hal-hal yang saya sukai.
Sedangkan, untuk sisi minus atau nggak enaknya adalah, super capek banget karena harus mengerjakan dan bertanggung jawab dengan semuanya seorang diri. Dan hal tersebut kadang bikin stres dan down sampai ke tahap menyesali hidup.
Apapun itu, saya bersyukur bisa melewati semua tantangannya, terutama di sepanjang tahun kemarin yang banyak ujiannya. Dan di akhir tahun, saya pikir semuanya menjadi sebuah hikmah tahun 2023 yang mendewasakan dan mengajari saya tentang bagaimana menua dengan bijak.
Reyne Raea
Blogger at www.parentingbyrey.com
Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H