Jika Anda sudah membaca artikelnya, Anda pasti sudah mengetahui kalau menulis tidak perlu mengikuti keinginan dan standar pembaca, karena yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyukai tulisan sendiri. Saya tidak perlu lagi menguraikan apa alasannya, karena sudah saya jelaskan disana.
Setelah membaca artikel tersebut, yang akan terngiang dalam pikiran Anda mungkin, "Kemarin kata si penulis amatiran itu bilang: menulis itu tidak perlu mengikuti keinginan pembaca, gak usah peduli kalau tulisan kita dibilang jelek atau ada yang ejek, karena yang terpenting kita menyukai tulisan sendiri, enggak usah mikirin orang lain."
Lalu Anda pun mulai menulis. Lewat prinsip tersebut semangat menulis Anda mulai menggebu-gebu. Ini adalah kabar baik, saya bahagia apabila sebuah tulisan yang saya buat ternyata bisa menggerakkan yang lain untuk ikut berkontribusi memajukan literasi bangsa ini.
Tapi dalam artikel kemarin, ada sesuatu yang saya rasa kurang. Ada sesuatu yang tidak sempat saya uraikan.Â
Yang dimaksud dengan kita harus menyukai tulisan kita sendiri itu bukan berarti kita jadi mengabaikan kualitas tulisan. Yang dimaksud suka dengan tulisan sendiri itu berarti, tulisan yang kita buat telah melewati proses quality control yang ketat. Kuncinya adalah seberapa puas terhadap artikel yang Anda tulis sendiri.
Ketika Raditya Dika mengatakan bahwa menulis itu adalah pekerjaan yang paling egois dan kita tidak usah memperdulikan orang lain, bukan berarti kita egois juga soal kualitas.Â
Sebagai seorang penulis, Raditya Dika menulis sebagai mana kapasitas dan bidangnya. Dia hanya menuliskan apa yang memang dia suka, pikirkan dan resahkan. Tapi pada proses menuangkan apa yang ada di kepalanya, dia juga memperhatikan bagaimana teknik menulisnya, bagaimana cara mengemasnya agar lebih menarik.
Dia mengaku tidak pernah menerka-nerka apa yang disukai pembaca, apa yang diinginkan pembaca. Tapi dia menuliskan apa yang menjadi keresahannya, apa yang dia alami, apa yang memang dia rasakan. Ini yang disebut egois. Tapi bagaimana cara dia menuangkan keresahannya menjadi sebuah karya fenomenal itu yang perlu kita tiru dan pelajari.
Selama lima belas tahun berkarir sebagai penulis, dia berkata bahwa dia menulis karena ada keresahan yang memang ingin dirayakan.Â
Tentang pengalamannya putus cinta, menjomblo sekian tahun, ditolak wanita dll, dia bisa mengemas semua keresahannya menjadi sebuah cerita menarik yang dibalut dengan komedi.
Dia bisa tampil sebagai penulis yang eksentrik, yang bisa mewakili "setiap keresahan" para remaja. Bahwa kegalauan kadangkala bisa dijadikan sebagai sumber untuk berkarya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!