Sebut saja artikel ini sebagai lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul, "Apakah Menulis Harus Mengikuti Keinginan dan Standar Pembaca?".
Mohon dibaca terlebih dahulu artikel tersebut sebelum melanjutkan membaca artikel ini hingga selesai, agar bisa mendapatkan pemahaman yang lebih utuh.
Artikel lanjutan ini dibuat berdasarkan pertimbangan penjelasan yang masih kurang di artikel sebelumnya. Mungkin hal ini juga pernah Anda alami.Â
Awalnya ide yang Anda uraikan dalam satu artikel sudah dirasa komplit dan komprehensif, namun ketika artikel itu sudah di-publish, kadangkala kita bisa menemukan celah-celah dan ruang kosong yang belum terisi. Selalu saja ada kekurangan pada setiap tulisan yang telah dibuat.
Sebenarnya mustahil kita bisa menguraikan ide secara panjang lebar dan detail dalam satu artikel yang berkisar 1000-2000 kata, tapi sebagai orang yang perfeksionis, entah kenapa saya merasa tidak puas apabila ide yang saya uraikan ternyata masih kurang detail. Meskipun mungkin kekurangan itu hanya berkisar 10 atau 20 persen.
Mengapa menguraikan gagasan, opini atau konsep itu musti detail dan menyeluruh? Karena kalau kita menulis sepotong-sepotong, risiko salah dipahami, salah diartikan, atau salah tafsir bisa besar sekali.Â
Awalnya tujuan kita menulis mungkin ingin mengarahkan pembaca untuk melakukan A. Tapi karena salah dipahami, pembaca malah melakukan B. Hal itu bisa saja terjadi akibat penjelasan yang kurang kumplit.
Jangan sampai kita meremehkan sebuah tulisan. Sebuah pemikiran yang kita anggap spele, bisa saja menjadi sesuatu yang sangat berharga dan dicari-cari oleh orang lain. Kita harus percaya bahwa, tulisan yang kita buat sedikit banyaknya mempunyai impact bagi pembaca.
Tidak terhitung seberapa sering kita terhanyut dan terpesona oleh sebuah tulisan seseorang yang kita anggap hebat. Kadangkala kita merasa tidak sadar kalau pikiran kita sedang diarahkan untuk mengakui, atau menyutujui sesuatu yang diuraikan si penulis dalam tulisannya.
Berdasarkan alasan itulah, kenapa saya perlu kembali "menambal" lubang kosong pada artikel kemarin agar para pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih solid dan jelas.
Mari kita mulai apa saja kekurangan yang ada dalam artikel yang kemarin itu.
Jika Anda sudah membaca artikelnya, Anda pasti sudah mengetahui kalau menulis tidak perlu mengikuti keinginan dan standar pembaca, karena yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyukai tulisan sendiri. Saya tidak perlu lagi menguraikan apa alasannya, karena sudah saya jelaskan disana.
Setelah membaca artikel tersebut, yang akan terngiang dalam pikiran Anda mungkin, "Kemarin kata si penulis amatiran itu bilang: menulis itu tidak perlu mengikuti keinginan pembaca, gak usah peduli kalau tulisan kita dibilang jelek atau ada yang ejek, karena yang terpenting kita menyukai tulisan sendiri, enggak usah mikirin orang lain."
Lalu Anda pun mulai menulis. Lewat prinsip tersebut semangat menulis Anda mulai menggebu-gebu. Ini adalah kabar baik, saya bahagia apabila sebuah tulisan yang saya buat ternyata bisa menggerakkan yang lain untuk ikut berkontribusi memajukan literasi bangsa ini.
Tapi dalam artikel kemarin, ada sesuatu yang saya rasa kurang. Ada sesuatu yang tidak sempat saya uraikan.Â
Yang dimaksud dengan kita harus menyukai tulisan kita sendiri itu bukan berarti kita jadi mengabaikan kualitas tulisan. Yang dimaksud suka dengan tulisan sendiri itu berarti, tulisan yang kita buat telah melewati proses quality control yang ketat. Kuncinya adalah seberapa puas terhadap artikel yang Anda tulis sendiri.
Ketika Raditya Dika mengatakan bahwa menulis itu adalah pekerjaan yang paling egois dan kita tidak usah memperdulikan orang lain, bukan berarti kita egois juga soal kualitas.Â
Sebagai seorang penulis, Raditya Dika menulis sebagai mana kapasitas dan bidangnya. Dia hanya menuliskan apa yang memang dia suka, pikirkan dan resahkan. Tapi pada proses menuangkan apa yang ada di kepalanya, dia juga memperhatikan bagaimana teknik menulisnya, bagaimana cara mengemasnya agar lebih menarik.
Dia mengaku tidak pernah menerka-nerka apa yang disukai pembaca, apa yang diinginkan pembaca. Tapi dia menuliskan apa yang menjadi keresahannya, apa yang dia alami, apa yang memang dia rasakan. Ini yang disebut egois. Tapi bagaimana cara dia menuangkan keresahannya menjadi sebuah karya fenomenal itu yang perlu kita tiru dan pelajari.
Selama lima belas tahun berkarir sebagai penulis, dia berkata bahwa dia menulis karena ada keresahan yang memang ingin dirayakan.Â
Tentang pengalamannya putus cinta, menjomblo sekian tahun, ditolak wanita dll, dia bisa mengemas semua keresahannya menjadi sebuah cerita menarik yang dibalut dengan komedi.
Dia bisa tampil sebagai penulis yang eksentrik, yang bisa mewakili "setiap keresahan" para remaja. Bahwa kegalauan kadangkala bisa dijadikan sebagai sumber untuk berkarya.
Menyukai tulisan sendiri artinya kita bertanggung jawab terhadap kualitas tulisan tersebut. Kita ingin memberikan yang terbaik untuk diri sendiri sebelum orang lain. Kita ingin benar-benar puas dan terbuai dengan tulisan sendiri.
Kita harus menjadi quality control dan pengkritik tulisan sendiri. Apa sih yang Anda rasakan ketika Anda membaca tulisan Anda sendiri? Nyaman, puas, bahagia, tercerahkan, terinspirasi atau bahkan tidak merasakan apa-apa sama sekali?
Karena apa yang menurut kita berkualitas belum tentu menurut orang lain berkualitas. Kita punya "taste" masing-masing perihal mencipta sebuah tulisan. Maka prinsip ini pun tidak berlaku untuk semua orang.
Tulisan ini mungkin hanya bisa menyasar mereka yang juga mempunyai taste dan cara berpikir yang sama dengan saya. Sebagian mungkin akan menilai prinsip ini penting dijadikan sebagai pedoman menulis, sebagian yang lain pasti akan mengabaikannya dan menganggap ini terlalu berlebihan dan tidak penting sama sekali.
Point inti yang ingin disampaikan di artikel ini adalah, sebagai penulis kita boleh saja egois soal topik apa yang hendak kita tulis. Kita bebas menuliskan apapun yang kita inginkan selama kita bertanggung jawab terhadap isi tulisan tersebut.Â
Tapi kita tidak bisa egois soal kualitas. Karena ada pembaca yang akan menikmati tulisan kita. Meski apa yang ditulis itu mungkin hanya sekedar curhatan ringan, kisah sedih pasca putus, atau hanya keresahan soal masa depan, kita harus bisa mengemas gagasan tersebut semenarik mungkin.
Kita baru boleh cuek, masa bodoh dengan pembaca seakan tidak peduli tulisan kita akan banyak dilirik atau tidak, kalau tulisan yang dibuat memang "sudah bagus" dan kita sendiri puas membacanya. Bukan lagi sekadar suka, tapi kita benar-benar telah kagum dengan tulisan kita sendiri.Â
Kalau sudah begitu, tinggal tunggu saja bagaimana tulisan itu ternyata bisa mewakili selera dan cara berpikir pembaca diluar sana.Â
Bisa seratus, lima puluh, atau hanya dua puluh orang yang akan menyukai tulisan itu. Tidak masalah. Yang terpenting tugas kita sudah selesai. Kita sudah berhasil merayakan keresahan kita. Dan kita sudah puas dengan tulisan yang kita buat.
Semoga artikel ini bisa melengkapi artikel yang kemarin.
Terimakasih sudah membaca ...
Sahabat Anda
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H