Fenomena itu menurut Psikolog Carl Gustav Jung disebut sebagai Sinkronisitas. Menurutnya Sinkronisitas adalah sebuah pengalaman dari dua peristiwa atau lebih yang tidak berhubungan secara kausal, akan tetapi memiliki makna yang dapat merealisasikan peristiwa tersebut.
Sederhananya Sinkronisitas adalah prinsip sebab akibat alam semesta. Hukum yang menggerakkan ummat manusia menuju pertumbuhan kesadaran yang lebih besar. Sinkronisitas adalah kebetulan yang bermakna, atau seringkali menjadi kebetulan yang menyenangkan.
Saya pikir setiap orang akan sampai pada tahap dan pengalaman yang mencerahkan ini. Yaitu ketika seseorang sudah mengalami pertumbuhan kesadaran dan perubahan spiritualitas. Dimana orang yang bertumbuh secara spiritual dan kesadarannya meningkat, hampir 180 derajat akan mempunyai cara pandang dan pemahaman baru dalam memandang kehidupan ini.Â
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang harus berlawanan arus dari mayoritas masyarakat, dari tradisi dan kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan orang di dunia ini.
Ketika kita berbicara soal semesta dan bagaimana cara ia bekerja, kita pasti akan selalu bersinggungan dengan Manusia dan pencipta semesta itu sendiri. Tuhan, Manusia dan Semesta akan selalu berkaitan satu sama lain dalam perbincangan spiritualitas.
Ketika kita ingin mengenal Tuhan, kita tidak perlu meneliti langit dan bumi, karena Tuhan ternyata meletakkan rahasia itu bukan di tempat jauh yang tidak bisa digapai oleh manusia, melainkan rahasia itu tersimpan pada diri manusia itu sendiri.
Mungkin anda masih ingat ungkapan yang sangat masyhur dikalangan para Sufi, "Barangsiapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya."Â
Sekarang begini, coba perhatikan diri anda. Tubuh ini terdiri dari materi fisik dan non fisik. Materi fisik tentu bisa kita inderai, bisa kita lihat, sentuh, raba. Tapi materi non fisik yaitu sesuatu yang tak terlihat di dalam tubuh ini, sebut saja (ruh atau jiwa), tentu tidak bisa kita inderai, tapi itu ada dan membuat kita hidup. Benar kan?
Ketika saya berkata, "ini aku", ada dimanakah sesosok "aku" tersebut? Apakah di dada? Di kepala? Atau ditangan?. Sosok "aku" itu tidak berlokasi, karena meliputi seluruh perwujudan fisik ini. Kita tidak bisa menunjuk ke satuan lokasi untuk menemukan sang "aku" itu. Karena sang aku itu ada dimana-mana.Â
Jadi pertanyaan, "dimanakah Tuhan?", Itu merupakan pertanyaan yang keliru, karena Tuhan tidak berlokasi. Karena Dzat-nya meliputi seluruh alam semesta ini. Seperti halnya "sang aku" tadi. (Perumpamaan ya, bukan sama persis).
Karena pertanyaan "dimana", itu mengacu pada ruang dan waktu. Dan segala sesuatu yang terkotak dalam ruang dan waktu itu tidak abadi, alias bisa mati. Karena Tuhan Maha kekal, maka konsekwensinya tidak mungkin Dzat yang Maha abadi terkotak dalam ruang dan waktu.