Seiring dengan perkembangan zaman yang ada di dalam masyarakat seringkali hal tersebut pun memberikan pengaruh yang nyata dan cepat kepada tingkah laku yang ada di dalam masyarakat tersebut pula.Â
Akhirnya, tidak hanya memberikan dampak positif tetapi perkembangan dan perubahan perilaku tersebut sering juga akhirnya memberikan pengaruh negatif. Semakin masyarakat tecerdaskan dengan ilmu pengetahuan maka besar pula kemungkinan ia menggunakan pengetahuan tersebut justru untuk mengelabui sistem dan peraturan yang ada.Â
Oleh sebab itu, hukum dituntut menjadi suatu produk yang responsif dan mengikuti perkembangan di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Apabila hukum tidak responsif dalam menyikapi perubahan pola kehidupan masyarakat maka hukum akan menjadi suatu produk tertulis yang mudah untuk dihindari oleh masyarakat menggunakan ilmu pengetahuan guna mencari celah dari hukum itu sendiri.
Implikasi yang timbul dari adanya masyarakat yang akhirnya bisa mencari celah dari hukum ialah semakin beragamnya jenis kejahatan yang hidup di dalam masyarakat.Â
Sejatinya kejahatan tersebut memanglah sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan tetapi seringkali para oknum-oknum tertentu justru menggunakan ilmu pengetahuannya untuk melakukan penyimpangan hukum demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tindakan yang dilakukan oleh oknum tersebut juga tidak hanya menyebabkan kerugian bagi individu lain tetapi juga bisa merugikan dan mengancam keamanan negara itu sendiri.
Salah satu jenis kejahatan yang dalam perkembangannya terus meningkat tingkat Organized crime atau yang biasa disebut dengan kejahatan yang terstruktur merupakan jenis kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau komplotan yang mana antara satu tindakan individu dengan yang lainnya memiliki kesinambungan dengan tujuan tertentu yang melawan hukum.Â
Definisi yang dijelaskan oleh Light, Keller, dan Calhoun tersebut dibedakan lagi menjadi dua jenis yaitu organized crime dalam skala nasional (dalam negeri) dan organized crime transnasional (antar negara). Dalam sejarah pengungkapannya, organized crime menjadi kejahatan yang sulit dan rumit dalam proses pemeriksaan kasusnya, sebab dalam satu kasus bisa saja terdapat kesinambungan dengan kejahatan-kejahatan lainnya.Â
Kejahatan yang bisa saja memiliki hubungan dengan organized crime sendiri pun beragam jenisnya mulia dari white collar crime, corporate crime, transnational crime, serta international crime.Â
Dari beberapa jenis kejahatan yang bisa menjadi kejahatan dari organized crime saja sudah dapat menggambarkan bahwa organized crime memang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya sehingga mampu mengorganisir setiap skenario yang dilakukan baik sebelum maupun sesudah kejahatan dilakukan.
Salah satu contoh kasus dari transnational organized crime ialah kasus suap dari eks-Direktur Utama PT Garuda Indonesia dengan perusahaan produsen pesawat asal Inggris, Rolls Royce.Â
Kasus ini akhirnya menyeret terdakwa Emirsyah Satar dan Soetikno Soedardjo dengan dakwaan yang berbeda dari Jaksa Penuntut Umum ("JPU"). Kasus ini cukup menjadi perhatian publik sebab menyeret Dirut PT Garuda Indonesia, Dirut PT Mugi Rekso Abadi, dan Perusahaan Rolls-Royce PLC terkait korupsi pengadaan dan mesin pesawat.Â
Tidak hanya terkait kasus korupsi tetapi keduanya juga didakwa atas tindak pidana pencucian uang ("TPPU"). Kasus ini dapat dikategorikan sebagai transnational organized crime sebab dalam pelaksanaan tindak pidananya melibatkan banyak oknum baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selain itu antara satu kasus dengan kasus lainnya saling berkaitan satu sama lain dengan tujuan utamanya untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.
Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan analisis terkait organized crime mulai dari sejarahnya, perkembangannya, sudut pandang dari keilmuan kriminologi, serta pembahasan kasus dari Putusan No. 121/Pid.Sus-TPK/2019/PN Jkt. Pst dan Putusan No. 122/Pid.Sus-TPK/2019/PN Jkt. Pst. Penulis akan memberikan gambaran bagaimana akhirnya kedua kasus yang saling berkaitan satu dengan lainnya tersebut merupakan gambaran dari organized crime yang tidak hanya melibatkan subjek hukum dalam negeri tetapi juga luar negeri. Dari beberapa poin yang akan disampaikan oleh penulis, tujuan utamanya ialah untuk mengidentifikasi bahwa organized crime juga bisa ditinjau dari keilmuan kriminologi dan bagaimana para pelaku tersebut bisa melakukan tindakannya.
Sejarah dan Perkembangan Organized Crime Â
Sebelum kita membahas mengenai sejarah organized crime perlu dibedah terlebih dahulu kedua jenis dari organized crime yang bisa terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri atau antar negara yang melibatkan dua atau lebih negara.Â
Mengapa pada akhirnya jenis kejahatan ini bisa berkembang tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi juga bisa terjadi antar negara sebab para oknum pelaku ini seringkali membuka celah kejahatan transnasional dengan harapan bahwa kejahatan tersebut akan sulit terungkap karena secara teritorial tidak hanya melibatkan satu wilayah hukum.Â
Selain itu, adanya dualisme hukum yang terjadi jika kejahatan tersebut dilakukan secara transnasional juga menjadi alasan mengapa organized crime sampai saat ini terus berkembang di berbagai negara.
Apabila dilihat dari sejarah perkembangan organized crime di dalam negeri sendiri tentu saja sudah terjadi sejak hukum positif telah ada di negara kita. Sejatinya apabila diartikan dari pendefinisiannya secara filosofis maka akan banyak jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai organized crime seperti contohnya pembunuhan berencana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, korupsi, perjudian gelap, penadahan barang curian, rentenir, dan masih banyak lagi. kejahatan-kejahatan tersebut dikategorikan sebagai organized crime karena dilakukan oleh lebih dari satu orang dengan permainan peran yang berbeda-beda guna mencapai suatu tujuan dengan cara melawan hukum. Sejatinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") pun telah mengenal istilah organized crime dengan adanya  pasal mengenai penyertaan yang mana penyertaan itu sendiri juga merupakan bagian dari subjek organized crime. Â
Akan tetapi, penyertaan sendiri pun belum sempurna untuk dijadikan sebagai dasar validasi organized crime sebab penyertaan harus dilakukan oleh beberapa orang yang bergabung untuk mewujudkan delik yang dilakukan pada saat itu dan selesai pada saat itu juga, sedangkan pada organized crime seringkali orang lain yang terlibat di dalamnya tidak masuk dalam kualifikasi penyertaan sebab tidak berkontribusi untuk menyempurnakan delik kejahatan itu tetapi ia masuk dalam struktur jaringan kompleks yang ada di dalamnya.
Seiring berjalannya waktu, kejahatan itu pun tidak hanya terjadi dalam skala nasional tetapi juga transnasional. Sejatinya organized crime sendiri telah ada sejak abad ke-21 yang mana pada saat itu mengancam banyak sektor penting di berbagai negara seperti politik, ekonomi, serta keamanan nasional.Â
Orang yang pertama kali memperkenalkan transnational crime ialah Philip C. Jessup, menurutnya transnational crime ialah kejahatan yang melampaui batas-batas dari suatu negara baik dilihat dari metode yang dilakukan, dampak dari kejahatannya, serta sarana yang digunakan. Kejahatan ini semakin berkembang pesat dengan adanya internet, awal mulanya terdapat beberapa kejahatan transnasional yang terjadi di Amerika serikat dimana kejahatan tersebut datang dari sindikat criminal organizations dari Asia, Balkan, Timur Tengah, dan Rusia.Â
Tindakan tersebut berhasil membuat menghancurkan demokrasi dan disiplin pasar Amerika Serikat yang berakibat pada menurunnya angka investasi modal karena tingginya kejahatan yang mengancam keamanan nasional, pembangunan ekonomi, dan stabilitas politik.
Sejatinya dari peristiwa tersebut, dapat ditarik beberapa poin mengenai peluang organized crime masuk ke dalam sektor ekonomi mulai dari praktik bisnis yang tidak sehat seperti insider-trading, price-gouging, economic intimidation, graft, polluting, dan lain-lain. Kedua melalui underground economy yang bisa terjadi melalui trafficking of illegal merchandise atau black market activities yang mana akan berakibat pada ruginya negara atas aktivitas ekonomi yang tidak terdaftar. Ketiga, yaitu legitimate business dan money laundering hal ini tentunya menjadi lingkaran hitam yang mana suatu usaha dikembangkan dari sumber pendanaan uang yang ilegal.
Dari beberapa kemungkinan tersebut, akhirnya Amerika Serikat pun menaruh perhatian lebih dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan kemungkinan organized crime yang bertujuan keuntungan dan terorisme yang bertujuan pada ideologi.Â
Pada dasarnya, organized crime dengan terorisme pun memiliki perbedaan motivasi akan tetapi terdapat satu penghubung yang sama yaitu uang. Keterkaitan tersebut dimulai ketika kelompok teroris membutuhkan pendanaan yang didapatkan dengan cara bermitra dengan organized crime sehingga keduanya berjalan secara bersamaan.Â
Selain itu, Amerika Serikat juga mewaspadai jenis organized crime lainnya yang dilakukan dengan menggunakan jasa dari kelompok organized crime tersebut seperti debt collector, pembunuh bayaran, tukang pukul, dan pekerjaan-pekerjaan ilegal lainnya.
Tidak hanya melihat organized crime sebagai ancaman akan keamanan, ada juga hubungan antara organized crime dengan politik beberapa negara. Seperti contohnya yang terjadi di Meksiko pada tahun 2003 dimana para organized criminal ini masuk ke dalam dunia politik dengan hubungan dua arah yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.Â
Para politisi menggunakan para organized crime untuk memenuhi apa yang para politisi ini ingingkan, sedangkan para oragnized crime menggunakan politisi sebagai criminal protection mereka.Â
Hal tersebut tentunya disebabkan oleh lemahnya sistem politik di suatu negara. Apabila hubungan antara politik dan organized crime ini dibiarkan maka kondisi politik tidak lagi menjadi politik yang bersih sebab terdapat politik balas budi kedepannya antara si politisi dengan si oknum organized crime tersebut.
Dari beberapa kasus transnational organized crime di luar yang terjadi di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan terorganisir telah meluas dan memberikan dampak multisektor terhadap negara yang terlibat.Â
Oleh sebab itu untuk meminimalisir kesempatan-kesempatan baru lahirnya organized crime dikembangkanlah instrumen hukum internasional mengenai kejahatan lintas batas terorganisir atau yang disebut dengan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime ("Palermo Convention").Â
Konvensi ini lahir untuk memberikan peraturan mengenai penetapan standar terhadap hukum nasional masing-masing negara pesertanya yang mana dalam permasalahannya terkait aturan hukum setiap negara masih memiliki perbedaan-perbedaan sehingga akhirnya menyulitkan pengusutan atau penuntutan terhadap organized crime. Dalam perumusan konvensi ini melibatkan 120 negara anggota PBB dalam Millenium General Assembly di Palermo, Italia. Akhirnya konvensi ini diadopsi pada Bulan November 2000 dan berlaku setelah diratifikasi oleh 40 negara.
Lahirnya konvensi tersebut menjadi suatu petunjuk bagi negara-negara anggota mengenai kebijakan apa yang harus mereka lakukan dengan adanya standardisasi mengenai permasalahan organized crime.Â
Secara umum, konvensi ini mengatur mengenai kewajiban-kewajiban negara anggotanya untuk membuat kategori mengenai semua kejahatan yang dilakukan oleh kelompok organized crime yang termasuk di dalamnya ialah tindak pidana korupsi, kejahatan perusahaan, kerjasama kejahatan lainnya sebagai sebuah delik pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.Â
Selain itu, negara juga harus bisa melakukan tracking terhadap pencucian uang yang terjadi dari adanya kejahatan tersebut sebab dapat dipastikan bahwa organized crime memiliki kemungkinan besar disertai dengan kejahatan pencucian uang.Â
Selain berfokus pada para pelaku, konvensi ini juga memerintahkan kepada setiap negara untuk melakukan perlindungan dan penjaminan terhadap hak-hak dari para saksi yang memberikan kesaksian guna melawan kelompok tersebut.
Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk Transnational Organized Crime
Permasalahan korupsi sendiri telah menjadi permasalahan tidak hanya secara nasional tetapi juga internasional. Salah satu hal yang menyebabkan tingginya tingkat korupsi ialah lemahnya aturan hukum hingga penegakan hukum terkait korupsi itu sendiri. Perkembangan tingkat kompleksitas kasus korupsi ini sendiri pun semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Kini korupsi dapat dilakukan lintas negara dengan berbagai macam cara yang sebelumnya belum diatur di dalam hukum. Karena kejahatan korupsi semakin bisa dilakukan dengan metode yang canggih dan tidak terbatas, maka saat ini batas negara pun sudah tidak menjadi persoalan sebab saat ini telah terdapat dua konvensi internasional yang mengatur mengenai kejahatan korupsi sebagai kejahatan transnasional yaitu United Nations Convention Against Corruption dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime.
Pada article 8 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime menyebutkan bahwa setiap negara harus mengadopsi tindakan legislatif untuk menetapkan sebagai tindak pidana, yaitu:
Janji, menawarkan kepada pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri atau dirinya sendiri atau orang atau badan lain, agar pejabar tersebut bertindak atau menahan diri dari bertindak dalam tugas resminya;
Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, dari keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain, agar pejabat  bertindak atau menahan diri dari bertindak dalam pelaksanaannya atau tugas resminya.
Article tersebut menegaskan bahwa segala tindakan yang bertujuan untuk menawarkan sesuatu entah berbuat ataupun tidak berbuat kepada pejabat publik maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, pasal tersebut juga dapat dijeratkan pada pejabat publik asing atau pegawai negeri sipil internasional dan negara pihak wajib mempertimbangkan dan menetapkan sebagai bentuk tindak pidana korupsi lainnya. Pejabat publik disini pun dapat diartikan sebagai penyedia layanan publik seperti yang dijelaskan dalam hukum domestik masing-masing negara. Adanya konvensi ini mempertegas bahwa korupsi ialah sebuah kejahatan yang harus diperangi bersama mengingat kompleksitas dari korupsi itu sendiri dan kerugian yang timbul dari korupsi yang sangat melebar tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi masyarakat.
Analisis Kasus Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo dengan Perusahaan Rolls-Royce
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dan mantan Direktur PT Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soebardjo, telah ditetapkan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600. Emirsyah Satar terbukti telah menerima suap dari Rolls Royce PLC untuk pengadaan pesawat Airbus SAS PT Garuda Indonesia. Uang suap tersebut didapatkannya dari Soetikno Soedarjo sebesar Rp 46 Miliar rupiah. Selain dugaan kasus suap, Emirsyah juga terbukti melakukan TPPU atas uang hasil suapnya tersebut. TPPU yang terjadi sendiri bukan merupakan kasus yang berdiri sendiri melainkan kasus yang berkaitan langsung dengan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Emirsyah mentransfer uang suap ke sejumlah rekening atas nama orang lain, ia juga melarikan uangnya ke luar negeri dengan cara membeli aset di luar negeri.
Soetikno Soedarjo telah terbukti menyamarkan uang senilai USD 1.458.364,28 dengan menitipkannya ke rekening Woodlake International atas nama Soetikno, membayar satu unit apartemen di Australia dan Singapura, dan membayar utang di Bank UOB Indonesia Dalam dakwaannya, majelis hakim memvonis Soetikno Soedarjo penjara selama enam tahun dan denda Rp 1 Miliar subsider tiga bulan kurungan penjara pada Jumat 8 Mei 2020. Kasus korupsi yang terjadi ini telah merugikan negara sebesar Rp 8,8 T yang mana dalam pengadaan pesawat tersebut diduga melawan hukum dan menguntungkan pihak lessor. Dalam kasus ini Emirsyah dan tim dianggap tidak melakukan evaluasi dan juga tidak transparan dalam menetapkan pemenang pengadaan pesawat sesuai dengan peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik Dengan E- Tendering. Dari pihak perusahaan Rolls-Royce juga dianggap tidak mengindahkan prinsip-prinsip pengadaan yang seharusnya dilalui. Kasus ini memiliki skenario yang mana dana untuk proyek tersebut awalnya disediakan oleh pihak ketiga yang kemudian dari PT Garuda Indonesia akan membayarnya kepada pihak lessor.
Dalam kasus ini tidak hanya pihak Indonesia saja yang menyelidiki kasusnya, tetapi Pemerintah inggris pun ikut turun tangan yang dilakukan melalui Serious Fraud Office (SFO) atau Kantor Tindakan Penipuan Serius Inggris. Bombardier telah melakukan penyelidikan internal terhadap perusahaan perusahaan tersebut termasuk mengenai akuisisi dan sewa pesawat. Penyelidikan ini dilakukan setelah Emirsyah Satar dan Hadinoto didakwa atas kasus pencucian uang dari proses pengadaan pesawat di Garuda.
Dari kasus ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu tindak pidana seseorang bisa menggunakan segala cara supaya kejahatan tersebut tidak dapat terdeteksi, seperti yang dilakukan oleh Soetikno dan Emirsyah dengan melakukan pencucian uang yang mereka dapatkan dari hasil suap itu. Selain itu, dari kasus ini dapat dilihat bahwa kasus suap pun dapat dilakukan oleh perusahaan luar negeri demi kemenangan tendernya. Pihak Pemerintah Inggris pun juga tidak tinggal diam dalam menyikapi kasus ini, mereka pun juga melakukan penyelidikan atas dugaan kasus suap yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di negaranya. Maka dapat disimpulkan bahwa baik dari Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris pun juga menanggapi hal tersebut dengan sigap dan tegas karena kerugian yang timbul tidak hanya satu sektor tetapi juga multi sektor.
 Organized Crime Dari Sudut Pandang Kriminologi
Organized crime sebagai bentuk kejahatan yang kompleks tentu membuat aparat penegak hukum akan sangat sulit untuk melacak siapa yang menjadi pelaku serta aktor di dalamnya. Seringkali pelaku-pelaku organized crime akhirnya terungkap karena kesaksian dari satu tersangka yang sudah ditahan. Orang-orang yang menjadi oknum di dalam organized crime ini tidak bisa dianggap sebagai penjahat jalanan biasa, mereka justru ialah orang-orang yang memiliki akses mudah sehingga kejahatan yang dilakukannya pun sulit terungkap hal ini diperkuat laporan dari the National Advisory Committee yang menjelaskan bahwa pelaku kejahatan terorganisir ialah mereka yang termasuk pebisnis korup, anggota dari pekerjaannya, pejabat publik, kelompok pekerjaan tertentu, serta para pemeras handal.
Hal tersebut membuat lahirnya empat tipe dasar dari organized crime yaitu yang pertama ialah traditional crime syndicate yang merupakan organisasi tradisional yang melakukan tindakan tindakan rahasia, memiliki hierarki yang pasti, serta seringkali menangani barang-barang terlarang. Selanjutnya, terdapat nontraditional syndicate yang mana pada kelompok ini mereka masih di bawah traditional sebab secara massa dan dimensi mereka cenderung lebih kecil. Selanjutnya terdapat semi-organized crime pada kelompok ini mereka memiliki tujuan kejahatan yang berjangka pendek dengan anggota yang lebih kecil pula. Yang keempat terdapat local, politically controlled organized crime pada organisasi ini mereka merupakan actual partner atas sebuah struktur politik dan kekuasaan. Kegiatan mereka pun juga berkemungkinan untuk menyentuh ranah politik. Yang terakhir ialah national, politically controlled organized crime yang mana mereka beroperasi dalam tingkat nasional dan bisa memberikan intervensi pada politik nasional pula.
Dari beberapa jenis organized crime tersebut dapat disimpulkan bahwa organized crime memiliki organisasi yang teratur dan bisa bersifat patrimonial atau patron-client network. Hal tersebut mengindikasikan bahwa organized crime ini telah menjadi suatu fenomena atas kejahatan struktural yang lahir di dalam masyarakat dan salah satu faktor penyebabnya ialah adanya keinginan untuk mencari celah, keuntungan dengan cara yang melawan hukum. Oleh sebab itu, dalam mengusut kasus yang diindikasikan dilakukan secara terorganisir diperlukan pengusutan yang mendalam dan komprehensif.
Seiring dengan perkembangan zaman yang ada di dalam masyarakat seringkali hal tersebut pun memberikan pengaruh yang nyata dan cepat kepada tingkah laku yang ada di dalam masyarakat tersebut pula. Apabila hukum tidak responsif dalam menyikapi perubahan pola kehidupan masyarakat maka hukum akan menjadi suatu produk tertulis yang mudah untuk dihindari oleh masyarakat menggunakan ilmu pengetahuan guna mencari celah dari hukum itu sendiri. Organized Crime menjadi salah satu jenis kejahatan yang tumbuh mengingat dengan perkembangan yang ada di dalam masyarakat tersebut. organized crime menjadi kejahatan yang sulit dan rumit dalam proses pemeriksaan kasusnya, sebab dalam satu kasus bisa saja terdapat kesinambungan dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Kejahatan ini bisa berkembang tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi juga bisa terjadi antar negara sebab para oknum pelaku ini seringkali membuka celah kejahatan transnasional dengan harapan bahwa kejahatan tersebut akan sulit terungkap karena secara teritorial tidak hanya melibatkan satu wilayah hukum.
kejahatan terorganisir telah meluas dan memberikan dampak multisektor terhadap negara yang terlibat. Oleh sebab itu untuk meminimalisir kesempatan-kesempatan baru lahirnya organized crime dikembangkanlah instrumen hukum internasional mengenai kejahatan lintas batas terorganisir atau yang disebut dengan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Lahirnya konvensi tersebut menjadi suatu petunjuk bagi negara-negara anggota mengenai kebijakan apa yang harus mereka lakukan dengan adanya standardisasi mengenai permasalahan organized crime. Salah satu contoh kasusnya ialah suap yang terjadi di PT Garuda Indonesia dengan Rolles Royce. Dari kasus ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu tindak pidana seseorang bisa menggunakan segala cara supaya kejahatan tersebut tidak dapat terdeteksi, seperti yang dilakukan oleh Soetikno dan Emirsyah dengan melakukan pencucian uang yang mereka dapatkan dari hasil suap itu.
Permasalahan yang lahir dari organized crime ini akhirnya melahirkan klasifikasi baru mengenai jenis-jenis organized crime dalam ilmu kriminologi. organized crime memiliki organisasi yang teratur dan bisa bersifat patrimonial atau patron-client network. Hal tersebut mengindikasikan bahwa organized crime ini telah menjadi suatu fenomena atas kejahatan struktural yang lahir di dalam masyarakat dan salah satu faktor penyebabnya ialah adanya keinginan untuk mencari celah, keuntungan dengan cara yang melawan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H