Mohon tunggu...
Revaputra Sugito
Revaputra Sugito Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

We Love Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa 2 Komisioner KPK Berangkat ke Korea Menemui Jokowi?

20 Mei 2016   05:45 Diperbarui: 20 Mei 2016   13:13 3097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

**Mengapa Para Ahoker Sulit Sekali Move On**

Setahun setelah Jokowi dilantik jadi Presiden RI ke 7, banyak orang bilang para pendukung Prabowo tidak bisa Move On. Waktu itu banyak yang mengartikan tidak bisa Move On itu artinya Tidak Bisa Menerima Kekalahan. Itu benar, tetapi mungkin yang lebih tepat adalah Tidak Bisa Menerima Kenyataan.

Mengapa saya sampai menyebut Para Ahoker tidak bisa Move On? Karena mereka tidak bisa melihat kenyataan yang ada. Tidak bisa menerima kenyataan yang ada bahwa Ahok tidak sehebat yang disangkanya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ahok itu tidak bersih. Ahok menerapkan Manegemen Birokrasi yang sangat amburadul. Dan Ahok melakukan Korupsi. Mereka tidak akan percaya sama sekali kalau ada pihak-pihak yang mengatakan seperti itu.

Bahkan kalau tiba-tiba KPK menetapkan Ahok sebagai Tersangka Kasus Sumber Waras atau Skandal Reklamasi, maka para Ahoker akan bertindak seperti PKS dulu. Akan menuduh ada Zionis, akan menuduh ada Konspirasi mengganjal Ahok di Pilgub DKI 2017 dan lain-lainnya. Saya pastikan itu akan terjadi.

**Percayalah Kawan, Ahok Punya Banyak Sekali Kekurangan Dan Mungkin Korupsi**

Kalau anda adalah seorang Ahoker dan begitu membaca Sub Judul ini langsung merasa marah, sebaiknya anda menghentikan membacanya. Sudah tidak bermanfaat lagi untuk anda.

Sebenarnya saya berniat baik dan sedang berusaha ingin membuka wawasan anda tentang Ahok. Saya yakin dari ratusan ribu Ahoker yang ada, hanya 2-3 % nya yang benar-benar mengenal siapa sebenarnya Ahok. Dengan begitu kondisinya, apakah anda bisa berharap dapat informasi tentang kelemahan Ahok dari sesama pendukung Ahok? Tentu tidak bisa bukan? Harus dari orang yang bukan kalangan anda.

Anda boleh saja mencurigai saya sedang berusaha memprovokasi anda. Silahkan saja berpikir begitu saat ini. Tetapi bila anda memang benar-benar ingin mengetahui realitanya, silahkan ikuti artikel ini. Gunakan logika anda benar-benar untuk mencermatinya dan gunakan nurani anda untuk mengukur kebenarannya.

**Percayakan Anda Bahwa Sebenarnya Ahok adalah Gubernur Yang Tidak Mampu Membangun Jakarta dengan Cara Bijaknya Mengelola APBD DKI?**

Ini Fakta yang berbicara. Bahwa pada APBD DKI 2014 sampai dengan akhir tahun Anggaran yang mampu diserap oleh Pemprov DKI hanya 36% (Data KP3EI). Mungkin sulit bagi anda percaya bahwa Penyerapan Anggaran DKI seperti itu adalah Penyerapan Anggaran yang paling rendah se Indonesia. Penyerapan Anggaran seperti itu adalah Yang Terburuk dari sejarah Pemprov DKI. Ini adalah Fakta. Silahkan lacak ke Google atau kemana saja, memang segitu angkanya.

Fakta seperti ini kalau disampaikan kepada Teman Ahok atau Pelindung Ahok maka mereka akan membalas dengan Jurus Ngeles Ahok. “Jangan lihat rendahnya serapan anggaran, tapi lihatlah berapa Dana yang sudah diselamatkan Ahok”. Begitulah jawabannya.

Jawaban seperti itu adalah Jawaban asal-asalan. Jawaban yang tidak substantive dan merupakan Pembelaan yang sangat kekanak-kanakan dan mudah dipatahkan argumennya.

Gubernur DKI diberi wewenang Undang-undang untuk membangun Jakarta dengan dana Rp.60 Trilyun. Dana itu untuk membangun Jakarta baik membangun Sarana Prasarana dan Infrastruktur, Pembelanjaan Barang-barang kebutuhan Pemerintah, Mensejaterakan Warga Jakarta termasuk Pendidikan masyarakat, dan lain-lainnya.

Tetapi dari dana yang tersedia ternyata hanya digunakan Gubernur sebanyak Rp.21 Trilyun. Logika kita akan secara langsung mengatakan Gubernur tersebut memang tidak mampu mengelola sumber daya yang ada. Gubernur tidak mampu membangun Jakarta seperti apa yang sudah direncanakan sebelumnya. 3 masalahnya adalah : Perencanaan yang Tidak Komprehensif, Ada Kendala Dalam Managemen Pemprov DKI atau Kepemimpinan Gubernur (Ketokohannya) tidak mampu membina bawahannya.

Kalau bicara tentang Penyelamatan Anggaran dari korupsi tentu harus dilihat detail pembelanjaannya. Memangnya Teman Ahok punya data berapa dana yang sudah diselamatkan Ahok? Saya pastikan tidak akan ada sama sekali. Fakta lain LHP BPK menyatakan ada Ketidak-wajaran dalam keuangan Pemprov DKI tahun 2014.

Lalu untuk Tahun 2015, sampai akhir semester I (Juli 2015) Serapan Anggaran DKI hanya 18% (Paling rendah se Indonesia). Lebih rendah dari 2 Propinsi Baru yaitu Kalimantan Utara dan Papua. Ahok sempat menyalahkan Mendagri pada awal Oktober 2015 dimana menurut Ahok Mendagri lambat mensahkan RAPBD Perubahan. Padahal kita semua tahu bahwa saat itu Ahok berkelahi terus-terusan dengan DPRD DKI sehingga Mendagri mendapat 2 versi RAPBD.

Minggu Kedua November Penyerapan Anggaran DKI baru 34%. Dari FITRA mengkritik keras Ahok dan mengatakan pemprov DKI memalukan prestasinya karena kalah dengan 2 Propinsi Terbaru. Begitu juga dari Koalisi Masyarakat Pemantau Legislatif (KOPEL) melaporkan selama 4 tahun terakhir Pemprov DKI yang selalu paling telat menyerap anggaran maupun menyusun RAPBD tahun berikutnya. Padahal SDM DKI adalah yang terbaik dari propinsi lainnya.

Direktur KOPEL, Syamsudin juga heran karena Pemprov DKI telat sekali mengirim RAPBD ke DPRD DKI. Itu artinya DPRD DKI hanya punya 1 hari untuk membahas RAPBD senilai Rp. 64 Trilyun dengan mata Pembelanjaan 700 SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Menurutnya dengan waktu yang mepet tersebut rawan pengontrolan dan berpeluang menimbulkan Korupsi nantinya.

Jadi dari rekam jejak Penyerapan Anggaran DKI tahun 2014 dan tahun 2015 bisa dikatakan Ahok tidak mampu membangun Jakarta dengan baik. Ahok sengaja atau tidak sengaja menyia-nyiakan anggaran yang sudah ada sehingga masalah Jakarta lambat diselesaikan.

**Ahok Sangat Tidak Transparan. Dana CSR, Dana Koofesien Bangunan Tingkat dan Dana Kontribusi Tambahan Terbukti Tidak Jelas Sama Sekali**

Pada tulisan terdahulu saya sudah bahas defenisi-defenisi dari dana-dana ini. Dana CSR adalah sumbangan dari Pihak Swasta maupun BUMN untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta. Pada saat Jokowi masih jadi Gubernur, dana ini yang dipakai untuk Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar.

Dana Koofesien Bangunan Tingkat adalah Dana Kompensasi dari Korporat (Pengembang) yang membangun bangunan bertingkat di Jakarta. Semakin tinggi (semakin banyak tingkatnya) bangunan yang dibangun maka semakin banyak yang harus dikompensasikan ke masyarakat Jakarta. Bangunan itu mengurangi area Ruang Terbuka Publik.

Selanjutnya Dana Kontribusi Tambahan. Dana ini khusus untuk Proyek Reklamasi 17 Pulau Teluk Jakarta. Ahok sudah menentukan sendiri berdasarkan Perjanjian Preman sebesar 15%. (Kita bicarakan dibawah) .

Yang harus dicatat kita semua adalah : Semua Dana-dana itu, baik CSR, Koofesien Bangunan Tingkat maupun Dana Kontribusi Tambahan (reklamasi), tidak ada yang jelas berapa sebenarnya yang sudah masuk dan sudah keluar dari Kas Pemprov DKI. Tidak ada laporan dari Ahok ke public untuk itu.

Sebelum-sebelumnya Teman Ahok dan Para Pelindung Ahok mengklaim Ahok paling Transparan dalam Birokrasi. Ya betul, tetapi itu hanya sebatas APBD DKI dengan aplikasi E-Budgetingnya. Tetapi untuk keuangan diluar itu yaitu Dana-dana tersebut diatas tidak ada yang jelas dan tidak ada yang transparan.

Setelah melacak dan googling kesana kemari, dari Ketiga Dana itu , yang saya bisa dapatkan informasi nilainya ternyata hanya 1. Sekali lagi hanya 1 yaitu Dana Koofesien dari 1 Pengembang (Perusahaan Jepang) yang membangun Ground Breaking Semanggi senilai Rp.300 Milyar. Sementara Dana-dana Koofesien dari sekian banyak pengembang lainnya sangat sulit dilacak nilainya. Pemprov DKI dan Ahok tidak pernah mau membuat laporannya yang bisa diakses oleh public.

Begitu juga Dana CSR yang sudah berlangsung sejak tahun 2013 dan Dana Kontribusi Tambahan yang sedang dihebohkan public ini. Saya ingin focus pada Dana CSR dan Dana Kontribusi Tambahan saja karena kedua ini yang sudah menjadi buah bibir dan Kontroversial.

**Dana CSR Yang Sudah Lama Kontroversial**

Dana CSR ini mungkin dapat dikategorikan sebagai Diskresi yang merupakan Keleluasaan yang diberikan UU kepada Kepala Daerah untuk melakukan Kebijakan yang tidak diatur oleh UU dengan tujuan mengoptimalkan Pembangunan maupun mensejahterakan rakyatnya. Dengan sifat yang begitu maka Dana CSR (Coorporate Social Responsibility) ini tidak perlu dipertanggung-jawabkan ke Legislatif (DPR). Tapi itu juga bukan berarti Gubernur diperbolehkan menyembunyikannya dari public.

Ditengarai Ahok sudah lama “bermasalah” alias berkongkalikong dengan dana CSR ini. Pada tahun 2013-2014 Ahok memiliki LSM dengan nama Ahok Center. Ternyata LSM bentukan Ahok ini tercatat sudah bekerja sama dengan 18 Perusahaan dan mengelola Dana CSR yang diberikan oleh Perusahaan-perusahaan itu. Nama Perusahaannya : PT. Asuransi Jasindo, PD Pembangunan Sarana Jaya, PT Jakarta Propertindo, PD Pasar Jaya, Bank DKI, PT Jakarta Toursindo, PT Jawa Barat Indah, PT. Barito Pasific, PT Landmark, PT Jeunesse Global, PT Duta Pertiwi, PT Zaman Bangun, PT. Changbong, PT DUFO, PT HAIER dan Grup Golf.

Sampai LSM itu dibubarkan , tidak jelas penggunaan dananya untuk apa saja. Apakh untuk KJS/KJP atau lainnya. Yang menjadi masalah kemudian banyak Pihak maupun DPRD DKI menduga Dana CSR dan dana Koofesien Bangunan Tingkat jumlahnya mencapai Trilyunan Rupiah. Ahok sendiri pernah sesumbar kalau APBD DKI 2015 tidak disahkan DPRD DKI, dirinya masih mampu membangun Jakarta dengan Dana CSR dan lainnya. Ucapan Ahok itu menyiratkan dana-dana itu cukup besar.

Perkembangan untuk CSR malah lebih heboh. Sejak akhir tahun 2015, Ahok malah menggunakan Dana CSR ini untuk membangun RPTRA-RPTRA di setiap RW di Jakarta. Hal ini memicu protes keras dari DPRD DKI. Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) seharusnya dibiayai APBD DKI menurut DPRD. Kenapa Ahok harus memakai Dana Swasta yang tidak bisa diketahui siapapun nilainya?

Ahok beralasan kalau pakai dana Pemprov DKI akan lama prosesnya. Butuh birokrasi dan butuh 1 tahun baru dana itu dapat dikeluarkan. Padahal kita semua tahu bahwa Penyerapan Anggaran DKI itu sangat minim. Sangat gelap alasan Ahok menggunakan CSR untuk membangun RPTRA. Hal itu kemudian menimbulkan kecurigaan beberapa Pihak bahwa Ahok sengaja mengejar penyelesaian pembangunan-pembangunan RPTRA demi kepentingannya Nyagub DKI 2017.

Paling tidak untuk CSR ini, karena memang Ahok sangat gelap dan sangat perkasa menggunakannya maka DPRD DKI memang sudah lama berniat (menyatakan berulang-ulang) akan membuat Perda Khusus untuk itu.

**Dana Kontribusi Tambahan Reklamasi**

Seperti yang sudah saya bahas pada artikel-artikel sebelumnya, Dana Kontribusi Tambahan Proyek Reklamasi sebesar 15% dari nilai lahan memang belum ada Payung Hukumnya sama sekali. Ahok benar-benar ngawur sekali dalam hal ini. Dalam artikel seminggu yang lalu sudah saya bahas soal Dana ini dimana saya katakana Dan seperti ini tidak bisa dikategorikan Diskresi. Ini Tarikan (Iuran) dan bukan Sumbangan seperti CSR sehingga harus ada Perda atau minimal Pergub yang mengaturnya.

Para Ahoker silahkan bertanya pada para Ahli Hukum dan Perundang-undangan yang netral, bahwa Tanpa Payung Hukum baik Perda maupun Pergub maka Dana yang dikutip Ahok kepada Pengembang itu Dana Ilegal alias Dana Tidak Sah secara Hukum.

Hari Jumat lalu ketika Publik sudah heboh dengan pemberitaan Tempo dimana disebut dana yang diminta Ahok pada Agung Podomoro seniai Rp. 392 Milyar dan sudah dibayarkan Rp.219 Milyar (berdasarkan BAP Ariesman Widjaja), Ahok membantahnya keras-keras dan mengatakan dirinya difitnah Tempo. Ahok berencana menggugat Tempo.

Disisi lain meskipun membantah Ahok malah membuat maneuver yaitu memperlihatkan ke Publik tentang Perjanjian Preman yang dibuatnya bersama Agung Podomoro pada 11 Maret 2014. Ahok juga sempat mengeluarkan kalau tidak ada dana Kontribusi 15% dia akan “Mati”. Entahlah maksud mati seperti apa. Mungkin artinya dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk cita-citanya.

Dari bangunan logika itu bisa dipastikan Ahok secara tersirat memang sudah mengakui menerima Dana Kontribusi dari Agung Podomoro meskipun belum jelas berapa nilainya. Agung Podomoro adalah Pengembang yang pertama kali diberi Izin Pelaksanaan Reklamasi (23 Desember 2014). Sementara 3 Pengembang lainnya diberi izin Ahok pada September dan Oktober 2015. Ahok juga terbukti tidak jadi menggugat sehingga kemungkinan besar isu Rp.219 Milyar itu benar.

Dua hari lalu juga secara tersirat Sunny Tanuwidjaja sehabis diperiksa KPK mengatakan setahu dirinya baru Agung Podomoro yang menyerahkan Dana Kontribusi Tambahan kepada Pemprov DKI. Sunny mengaku tak tahu jumlahnya berapa. Dengan demikian analisa Ahok sudah pernah menerima Dana Kontribusi Tambahan dari Agung Podomoro memang sangat kuat.

** KPK, Prof Yusril dan Margaritho Kamis **

Pembaca Kompasiana yang setia dan yang setiap hari mengakses Kompasiana tentu sudah pernah membaca beberapa artikel saya tentang Kasus Sumber Waras dan Skandal Reklamasi, dimana isinya saya sudah menjelaskan panjang lebar kronologisnya, dan semua UU yang telah dilanggar Ahok pada kedua Kasus tersebut.

Beberapa waktu lalu ketika Ahok diperiksa 12 Jam di KPK untuk Sumber Waras, saya sangat heran karena Ahok tidak ditetapkan menjadi TSK. Menurut saya bukti-bukti sudah sangat kuat. Tapi KPK setelah itu malah mengatakan membutuhkan pendapat para ahli dulu. Jangan-jangan KPK Jilid 4 ini memang sudah Masuk Angin.

Begitu juga dengan Skandal Reklamasi, ada artikel saya yang menyatakan 90% kemungkinannya Ahok akan jadi Tersangka dalam kasus ini.

Perkembangan dua hari terakhir untuk Kasus Sumber Waras, KPK menyatakan bahwa dalam Minggu Ini akan ada pernyataan Final dari KPK untuk Kasus Sumber Waras. Saya tidak bisa menebaknya sebagai apa.

Seminggu yang lalu juga ada pernyataan dari KPK bahwa KPK sedang mendalami masalah Barter Dana Kontribusi Tambahan. KPK sedang mencari payung hukumnya, kata Ketua KPK Agus Raharjo. Dalam hati saya mau dicari kemana Payung Hukumnya, karena sudah jelas-jelas tidak ada.

Kebingungan-kebingunan saya dengan KPK Jilid 4 ini akhirnya ditambah parah dengan berangkatnya Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Basaria Panjaitan ke Korea. Ada acara pertemuan dengan Lembaga Anti Korupsi disana katanya. Tetapi semua orang juga tahu bahwa Jokowi sedang dalam lawatan ke Korea juga. Pastilah mereka bertemu di sana.

Dugaan saya ,ini memang direncanakan. Dan kemungkinan besar akan ada keputusan penting yang dikeluarkan KPK. Saya ingat KPK bilang Sumber Waras sudah Final. KPK juga bilang seminggu lalu sedang mendalami Payung Hukum Dana Kontribusi tambahan Reklamasi.

Kemungkinan besar KPK meminta izin Jokowi untuk mengumumkan apa hasil Penyidikan KPK terhadap kedua kasus itu. APAKAH AHOK AKAN JADI TSK DARI KASUS-KASUS ITU?

Dari analisa-analisa yang sudah saya tulisan dalam artikel-artikel sebelumnya. Dua-dua Kasus itu saya yakin kalau KPK tidak masuk angina maka Ahok akan ditetapkan jadi Tersangka. Tetapi saya bukan Ahli Hukum. Dengan demikian saya ingat-ingat pendapat Pakar Hukum soal itu.

Saya ingat Prof. Mahfud MD pernah menyatakan Ahok melakukan pelanggaran berat dalam mengeluarkan Izin Pelaksanaan Reklamasi. Ahok melanggar Perpres No.122 tahun 2012 dan UU No.1 tahun 2014. Mahfud tidak bersedia memberi pernyataan tentang unsur korupsinya.

Lalu saya ingat Prof. Yusril yang selama ini saya anggap hanya mencalonkan diri maju Pilgub DKI seperti main-main (mempermainkan Ahok). Yusril tidak pernah bersedia membuat pernyataan (pendapat hokum) soal Sumber Waras dan Skandal Reklamasi. Dia sempat mengatakan :

Dalam persaingannya menuju Pilgub DKI 2017, dia (Yusril) tidak ingin mengambil manfaat dari terkuaknya Kasus Sumber Waras dan Skandal Reklamasi. Bahkan dia mendoakan agar Ahok selamat dari kasus-kasus itu agar bisa bertarung dengan dirinya.

Saya membaca berita itu bulan lalu menganggap Pernyataan Yusril itu sepertinya Bersayap. Sebagai Pakar Hukum dia pasti punya penilaian kuat tentang kemungkinan besar Ahok jadi TSK atau tidak. Sepengamatan saya secara tersirat Yusril cukup yakin Ahok akan jadi TSK.

Berbeda dengan Prof Mahfud dan Prof Yusril yang tidak mau membuat pendapat hokum atas kasus-kasus Ahok, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis malah secara blak-blakan mengatakan merasa Heran bila KPK tidak menetapkan Ahok sebagai TSK dalam kasus Sumber Waras.

Dikutip dari Merdeka semalam (19 Mei Jam 19.03), Margarito mengatakan : “Gila kalau di kasus Sumber Waras itu enggak ada korupsi. Terlalu gampang kalau mau melihat tindak Korupsinya”. Menurut Margarito, dari NJOP dan alamat sertifikat yang berbeda sudah ada petunjuknya. Dia sangat yakin Sumber Waras akan terbongkar, kecuali ada Jalur Khusus seperti Perlindungan dari Jokowi.

Mari kita tunggu sama-sama Pengumuman KPK hari ini atau besok.

Kepada para Ahoker, ayolah kita Move On. Lihatlah realitasnya bahwa Ahok tidak seindah yang anda bayangkan. Ahok memang mampu membersihkan Got-got Jakarta tetapi Ahok sangat buruk dalam Managemen Birokrasi.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun