Mohon tunggu...
Reva Ramdhani
Reva Ramdhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca, berenang, menonton film, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?

10 Desember 2024   22:30 Diperbarui: 10 Desember 2024   22:28 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?  

Janji manis janji makan siang gratis seringkali menjadi sorotan di tengah perut lapar dalam hiruk-pikuk kampanye politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dengan gagahnya menawarkan program ini sebagai solusi gizi untuk anak bangsa. Sekilas, program ini terdengar seperti jawaban atas permasalahan stunting dan kurang gizi yang menghantui generasi muda. Tapi benarkah semanis itu?  

Di balik slogan yang menggugah, ada pertanyaan yang tak terelakkan. Pertama, apakah program ini benar-benar bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia? Kedua, tepatkah jika Dana BOS yang sejatinya untuk buku, alat tulis, dan gaji guru diarahkan menjadi pembiayaan makan siang?  

Mari kita bicara jujur: haruskah kita mengorbankan masa depan pendidikan demi memenuhi perut hari ini? Artikel ini mencoba berkontemplasi dalammenjawab pertanyaan apakah janji makan siang gratis ini adalah langkah strategis atau sekadar beban tambahan bagi keuangan negara yang sudah kelelahan.  

Gizi di atas piring, harapan di atas kertas menjadikan wacana program makan siang gratis ini datang dengan tujuan mulia. Pemenuhan gizi dianggap sebagai jalan pintas menuju generasi emas yang cerdas dan sehat. Angka stunting yang tinggi dan tingkat kecerdasan anak yang masih menjadi PR besar negara, diharapkan bisa diselesaikan hanya dengan selembar bungkus makanan.  

Tapi, mari kita renungkan sejenak. Ketika tujuan itu ditulis di atas kertas, apakah mereka juga memikirkan anggarannya? Ataukah ini hanya sebatas mimpi yang dilemparkan begitu saja kepada rakyat?  

Anggaran Fantastis, Realitas Tragis

Rp 450 triliun per tahun. Itu bukan sekadar angka; itu hampir dua kali lipat anggaran pendidikan nasional. Dengan jumlah penerima yang mencapai 82,9 juta orang, biaya per porsi makan siang mencapai Rp 15 ribu. Sekilas terlihat sederhana, tapi bagaimana ini berdampak pada APBN yang sudah rapuh?  

Lalu, dari mana uang ini akan datang? Pemerintah mengusulkan pemotongan subsidi BBM, sebuah langkah yang ironis di tengah kebutuhan rakyat atas energi murah. Alternatif lainnya adalah memanfaatkan Dana BOS, yang selama ini menjadi tumpuan pendidikan dasar di negeri ini.  

Mengalihkan Dana BOS untuk makan siang gratis seperti merampas payung dari seorang anak di tengah hujan deras. Apa jadinya jika sekolah kehilangan buku, alat tulis, atau bahkan guru hanya untuk menggantikan makan siang? Program ini mungkin terdengar heroik, tetapi langkah-langkah yang diambil justru mengundang ironi. Makan siang gratis, mungkin akan terasa mahal ketika rakyat akhirnya sadar: ada harga yang lebih besar yang harus dibayar dari piring ini.

Dana BOS: Dari Buku ke Nasi Kotak

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejatinya adalah napas bagi pendidikan dasar di Indonesia. Sebuah anggaran yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, seperti membeli buku, alat tulis, membayar gaji guru honorer, hingga mendukung pendidikan inklusif. Namun kini, dana yang harusnya menjadi tonggak pendidikan justru digeser ke arah yang sama sekali berbeda membiayai program makan siang gratis. Bayangkan ini: seorang guru berjuang mengajar dengan keterbatasan alat bantu, sementara di luar kelas, tumpukan nasi kotak berbaris rapi menunggu jam makan siang. Ironi ini menggambarkan prioritas yang salah tempat.  

Dana BOS untuk tahun 2024 diproyeksikan hanya Rp 57 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan makan siang gratis yang mencapai Rp 450 triliun. Jika Dana BOS dipaksa masuk ke dalam piring makan siang, apa yang akan tersisa untuk pendidikan?  

Alih-alih meningkatkan kualitas SDM, pemanfaatan Dana BOS untuk program ini justru mengorbankan kebutuhan esensial pendidikan. Pendidikan inklusif yang selama ini diusahakan bisa terancam bubar karena buku, gaji guru honorer, dan fasilitas sekolah harus rela disingkirkan demi seporsi nasi kotak.  

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sudah angkat suara. Mereka menolak keras wacana ini, menyebutnya sebagai ancaman nyata bagi keberlanjutan pendidikan berkualitas. Dana BOS adalah lifeline bagi sekolah-sekolah di pelosok negeri. Memotongnya untuk makan siang gratis bukan hanya tindakan keliru, tetapi juga langkah yang mengabaikan visi pendidikan jangka panjang.  

Para pendukung program ini memandangnya sebagai investasi besar untuk generasi mendatang. Memberikan makan siang gratis dianggap bisa meningkatkan kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas anak bangsa. Dalam jangka panjang, hal ini diproyeksikan mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Namun, apakah investasi ini benar-benar akan memberikan hasil seperti yang dijanjikan? Bagaimana jika program ini hanya menjadi "Black Hole" anggaran tanpa kejelasan dampaknya?  

Dalam praktiknya, biaya Rp 450 triliun per tahun adalah beban yang hampir mustahil untuk ditanggung tanpa mengorbankan sektor lain. Subsidi energi, pembangunan infrastruktur, dan bahkan layanan kesehatan dapat terpengaruh karena dana besar ini harus dialokasikan untuk makan siang gratis.  

Tidak hanya itu, ketergantungan pada program seperti ini bisa menciptakan budaya paternalistik di masyarakat, di mana pemerintah dianggap sebagai penyedia segala kebutuhan tanpa upaya mandiri dari masyarakat itu sendiri.  

Daripada mengorbankan Dana BOS atau subsidi energi, pemerintah bisa mempertimbangkan pendekatan lain. Program makan siang bisa dimulai secara bertahap di wilayah prioritas, seperti daerah dengan tingkat stunting tinggi. Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta atau donor internasional juga bisa menjadi solusi pendanaan yang lebih masuk akal.  

Pilihan lain adalah memanfaatkan bantuan pangan langsung kepada keluarga yang membutuhkan, sehingga mereka tetap memiliki otonomi untuk mengelola kebutuhan gizi keluarga tanpa ketergantungan pada sekolah.  

Dalam ekonomi, setiap keputusan selalu membawa dampak. Program makan siang gratis mungkin terdengar seperti solusi cepat, tetapi dampak jangka panjangnya perlu dipertimbangkan dengan serius. Apakah kita ingin memberi makan hari ini, tetapi mengorbankan masa depan? Atau kita akan memilih jalan yang lebih bijak, meskipun tampaknya lebih lambat? Seperti yang pernah dikatakan Benjamin, "sejarah adalah kuburan keputusan-keputusan keliru yang tidak pernah kita lihat di masa depan, tetapi kita rasakan di masa lalu".

Kritik dan Opini Publik 

Langkah pemerintah untuk mengalihkan Dana BOS ke program makan siang gratis menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebut ini sebagai "penelantaran pendidikan," sebuah frasa yang mencerminkan kekecewaan mendalam. Apa artinya mengisi perut jika otak dibiarkan lapar?  

Sistem pendidikan Indonesia yang sudah rentan kini berpotensi semakin terpuruk. Buku pelajaran mungkin akan digantikan dengan kertas pembungkus nasi kotak, dan gaji guru honorer yang sering tertunda kini harus bersaing dengan anggaran lauk-pauk. Program ini menciptakan realitas di mana solusi jangka pendek mengorbankan fondasi masa depan.  

Sebagian publik mengusulkan pendekatan lain yang lebih realistis. Misalnya, subsidi pangan langsung yang diarahkan ke keluarga rentan, sehingga tanggung jawab pemberian gizi tetap berada di tingkat rumah tangga. Atau mengintegrasikan program makan siang dengan pembangunan pertanian lokal, sehingga manfaat ekonomi bisa menyebar lebih luas, tidak hanya kepada anak-anak sekolah, tetapi juga para petani.  

Mereka yang skeptis juga menyoroti masalah implementasi. Indonesia punya sejarah panjang dalam pengelolaan anggaran yang buruk. Apakah kita benar-benar siap mengelola program sebesar ini tanpa mengorbankan transparansi dan akuntabilitas? Ada yang menyebut, "Program ini seperti mencoba memberi makan seorang anak dengan tangan kanan sambil menamparnya dengan tangan kiri." Janji makan siang gratis terlihat mulia, tetapi mengorbankan dana pendidikan adalah langkah yang mencerminkan pendekatan taktis tanpa visi.  

Kesimpulan dan Rekomendasi

Program makan siang gratis yang dijanjikan pemerintah memang memiliki niat baik, tetapi implementasinya penuh dengan tantangan besar. Dengan anggaran yang mencapai Rp 450 triliun per tahun, program ini bukan hanya membebani APBN, tetapi juga mengorbankan sektor-sektor strategis lain seperti pendidikan dan infrastruktur.  

Penggunaan Dana BOS sebagai sumber pendanaan adalah langkah yang tidak bijak. Dana tersebut diciptakan untuk mendukung pendidikan, bukan untuk menutupi ambisi politik. Jika pendidikan dikorbankan demi makan siang gratis, kita sedang menggali lubang yang jauh lebih dalam untuk generasi masa depan. Lebih lebih penulis rekomendasikan dengan poin poin berikut;  

1. Evaluasi Prioritas Anggaran

   Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang prioritas anggaran. Apakah mungkin mengurangi alokasi untuk proyek-proyek yang kurang mendesak dan mengalihkannya ke program ini tanpa mengorbankan pendidikan?  

2. Program Bertahap dan Terfokus

   Mulailah dari daerah prioritas dengan angka stunting tinggi. Pendekatan bertahap ini tidak hanya lebih realistis tetapi juga memungkinkan evaluasi dampak sebelum diterapkan secara nasional.  

3. Kolaborasi dengan Sektor Swasta

   Libatkan sektor swasta atau donor internasional untuk mendanai program ini. Pendekatan ini tidak hanya meringankan beban APBN tetapi juga meningkatkan akuntabilitas pelaksanaannya.  

4. Subsidi Langsung ke Rumah Tangga  

   Daripada memberatkan sekolah, berikan subsidi langsung kepada keluarga rentan untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak mereka. Ini mempertahankan otonomi keluarga tanpa menambah beban institusi pendidikan.   

Piring nasi memang penting, tetapi bukan dengan mengorbankan masa depan anak-anak di meja kelas. Kebijakan ini perlu dipikirkan dengan matang, bukan sekadar diumbar demi pencitraan. Seperti yang pernah dikatakan Walter Benjamin, "setiap langkah maju harus diawali dengan menyadari kekeliruan masa lalu". Jika tidak, kita hanya akan mengulangi siklus kesalahan yang sama, kali ini dengan perut penuh tetapi pikiran kosong.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun