Mohon tunggu...
Reva Ramdhani
Reva Ramdhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca, berenang, menonton film, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?

10 Desember 2024   22:30 Diperbarui: 10 Desember 2024   22:28 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejatinya adalah napas bagi pendidikan dasar di Indonesia. Sebuah anggaran yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, seperti membeli buku, alat tulis, membayar gaji guru honorer, hingga mendukung pendidikan inklusif. Namun kini, dana yang harusnya menjadi tonggak pendidikan justru digeser ke arah yang sama sekali berbeda membiayai program makan siang gratis. Bayangkan ini: seorang guru berjuang mengajar dengan keterbatasan alat bantu, sementara di luar kelas, tumpukan nasi kotak berbaris rapi menunggu jam makan siang. Ironi ini menggambarkan prioritas yang salah tempat.  

Dana BOS untuk tahun 2024 diproyeksikan hanya Rp 57 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan makan siang gratis yang mencapai Rp 450 triliun. Jika Dana BOS dipaksa masuk ke dalam piring makan siang, apa yang akan tersisa untuk pendidikan?  

Alih-alih meningkatkan kualitas SDM, pemanfaatan Dana BOS untuk program ini justru mengorbankan kebutuhan esensial pendidikan. Pendidikan inklusif yang selama ini diusahakan bisa terancam bubar karena buku, gaji guru honorer, dan fasilitas sekolah harus rela disingkirkan demi seporsi nasi kotak.  

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sudah angkat suara. Mereka menolak keras wacana ini, menyebutnya sebagai ancaman nyata bagi keberlanjutan pendidikan berkualitas. Dana BOS adalah lifeline bagi sekolah-sekolah di pelosok negeri. Memotongnya untuk makan siang gratis bukan hanya tindakan keliru, tetapi juga langkah yang mengabaikan visi pendidikan jangka panjang.  

Para pendukung program ini memandangnya sebagai investasi besar untuk generasi mendatang. Memberikan makan siang gratis dianggap bisa meningkatkan kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas anak bangsa. Dalam jangka panjang, hal ini diproyeksikan mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Namun, apakah investasi ini benar-benar akan memberikan hasil seperti yang dijanjikan? Bagaimana jika program ini hanya menjadi "Black Hole" anggaran tanpa kejelasan dampaknya?  

Dalam praktiknya, biaya Rp 450 triliun per tahun adalah beban yang hampir mustahil untuk ditanggung tanpa mengorbankan sektor lain. Subsidi energi, pembangunan infrastruktur, dan bahkan layanan kesehatan dapat terpengaruh karena dana besar ini harus dialokasikan untuk makan siang gratis.  

Tidak hanya itu, ketergantungan pada program seperti ini bisa menciptakan budaya paternalistik di masyarakat, di mana pemerintah dianggap sebagai penyedia segala kebutuhan tanpa upaya mandiri dari masyarakat itu sendiri.  

Daripada mengorbankan Dana BOS atau subsidi energi, pemerintah bisa mempertimbangkan pendekatan lain. Program makan siang bisa dimulai secara bertahap di wilayah prioritas, seperti daerah dengan tingkat stunting tinggi. Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta atau donor internasional juga bisa menjadi solusi pendanaan yang lebih masuk akal.  

Pilihan lain adalah memanfaatkan bantuan pangan langsung kepada keluarga yang membutuhkan, sehingga mereka tetap memiliki otonomi untuk mengelola kebutuhan gizi keluarga tanpa ketergantungan pada sekolah.  

Dalam ekonomi, setiap keputusan selalu membawa dampak. Program makan siang gratis mungkin terdengar seperti solusi cepat, tetapi dampak jangka panjangnya perlu dipertimbangkan dengan serius. Apakah kita ingin memberi makan hari ini, tetapi mengorbankan masa depan? Atau kita akan memilih jalan yang lebih bijak, meskipun tampaknya lebih lambat? Seperti yang pernah dikatakan Benjamin, "sejarah adalah kuburan keputusan-keputusan keliru yang tidak pernah kita lihat di masa depan, tetapi kita rasakan di masa lalu".

Kritik dan Opini Publik 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun