Mohon tunggu...
Reva Ramdhani
Reva Ramdhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca, berenang, menonton film, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?

10 Desember 2024   22:30 Diperbarui: 10 Desember 2024   22:28 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?  

Janji manis janji makan siang gratis seringkali menjadi sorotan di tengah perut lapar dalam hiruk-pikuk kampanye politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dengan gagahnya menawarkan program ini sebagai solusi gizi untuk anak bangsa. Sekilas, program ini terdengar seperti jawaban atas permasalahan stunting dan kurang gizi yang menghantui generasi muda. Tapi benarkah semanis itu?  

Di balik slogan yang menggugah, ada pertanyaan yang tak terelakkan. Pertama, apakah program ini benar-benar bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia? Kedua, tepatkah jika Dana BOS yang sejatinya untuk buku, alat tulis, dan gaji guru diarahkan menjadi pembiayaan makan siang?  

Mari kita bicara jujur: haruskah kita mengorbankan masa depan pendidikan demi memenuhi perut hari ini? Artikel ini mencoba berkontemplasi dalammenjawab pertanyaan apakah janji makan siang gratis ini adalah langkah strategis atau sekadar beban tambahan bagi keuangan negara yang sudah kelelahan.  

Gizi di atas piring, harapan di atas kertas menjadikan wacana program makan siang gratis ini datang dengan tujuan mulia. Pemenuhan gizi dianggap sebagai jalan pintas menuju generasi emas yang cerdas dan sehat. Angka stunting yang tinggi dan tingkat kecerdasan anak yang masih menjadi PR besar negara, diharapkan bisa diselesaikan hanya dengan selembar bungkus makanan.  

Tapi, mari kita renungkan sejenak. Ketika tujuan itu ditulis di atas kertas, apakah mereka juga memikirkan anggarannya? Ataukah ini hanya sebatas mimpi yang dilemparkan begitu saja kepada rakyat?  

Anggaran Fantastis, Realitas Tragis

Rp 450 triliun per tahun. Itu bukan sekadar angka; itu hampir dua kali lipat anggaran pendidikan nasional. Dengan jumlah penerima yang mencapai 82,9 juta orang, biaya per porsi makan siang mencapai Rp 15 ribu. Sekilas terlihat sederhana, tapi bagaimana ini berdampak pada APBN yang sudah rapuh?  

Lalu, dari mana uang ini akan datang? Pemerintah mengusulkan pemotongan subsidi BBM, sebuah langkah yang ironis di tengah kebutuhan rakyat atas energi murah. Alternatif lainnya adalah memanfaatkan Dana BOS, yang selama ini menjadi tumpuan pendidikan dasar di negeri ini.  

Mengalihkan Dana BOS untuk makan siang gratis seperti merampas payung dari seorang anak di tengah hujan deras. Apa jadinya jika sekolah kehilangan buku, alat tulis, atau bahkan guru hanya untuk menggantikan makan siang? Program ini mungkin terdengar heroik, tetapi langkah-langkah yang diambil justru mengundang ironi. Makan siang gratis, mungkin akan terasa mahal ketika rakyat akhirnya sadar: ada harga yang lebih besar yang harus dibayar dari piring ini.

Dana BOS: Dari Buku ke Nasi Kotak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun