Saat menyatakan diri, terkena gangguan mental ia akan merasa berhak untuk rebahan di kasur berlama-lama, marah-marah, menangis, tertawa sesukanya. Â
Seperti jargon yang banyak kita dengar, "orang gila mah bebas". Â Lalu jika orangtua menegur, mereka akan update status di medsosnya.
"Orangtuaku tidak peduli dengan mental health, rasanya pengen mati aja," disertai foto pergelangan tangan dengan cutter tergeletak di sampingnya.
Demikian gambaran kondisi banyak remaja saat ini, mereka tumbuh dengan kebutuhan perhatian berlebih. Â
Beberapa orang dewasa melihat generasi muda saat ini banyak yang cengeng, bukan fighter sebagaimana remaja di tahun 80-90an.Â
Mungkin, alih-alih menganggap para remaja ini generasi cengeng, ada baiknya sebagai orang dewasa, sebagai orangtua, kita berfikir lebih jauh. Apa yang menyebabkan anak kita seperti itu. Dengan mengerti penyebabnya, akan jauh lebih mudah untuk mengatasi masalah.
Sejak maraknya media sosial, mendapatkan perhatian dari followers menjadi satu hal yang membuat ketagihan. Memenuhi kebutuhan itu, sekarang aneka filter untuk mempercantik foto maupun video yang kita posting semakin banyak pilihannya. Â
Foto dan video editing pun bisa dengan mudah dilakukan tanpa harus repot-repot belajar caranya. Semua untuk memenuhi kebutuhan perhatian dan pujian. Curhat, mempertontonkan masalah pribadi juga sama besarnya dalam menarik perhatian pengguna medsos. Efeknya pun sama, membuat ketagihan. Â
Ketagihan ini, kemudian keluar dari dunia online, dalam kehidupan nyata perilaku seperti ini pun terjadi. Salah satunya dengan self diagnosed mental health issue. Asik dengan perhatian berlebih, berkembang menjadi alasan untuk melakukan tindakan apapun:
"Aduh, aku lagi manik nih... maap ya... kalo aku rese banget hari-hari ini"
"Aku lagi depresi, maklumin ya kalo aku marah-marah terus"