Udara malam begitu menusuk tulang, laksana jarum-jarum kecil yang mengalirkan ribuan mili serum salju ke dalam tubuh. Â Langit gelap dengan angin yang bertiup sekencang larinya kuda sembrani. Â Rasanya tak seorang pun makhluk yang berhasrat untuk memunculkan dirinya, bahkan seekor katak sekalipun. Â Hanya suara jangkrik yang terdengar seperti irama pelengkap kesenyapan. Â Namun, masih ada seseorang yang kelihatannya sangat menikmati malam ini. Â Bocah lelaki dengan wajah tirus dan mata bulat bening terus menatap ke langit dengan pandang penuh harap. Â Berkulit sawo matang, hidung mancung dan alis hitam bersusun rapi di a tas bulu mata yang terlalu lentik untuk ukuran seorang bocah laki-laki. Â Saat tersenyum tampaklah gigi yang tumbuh tidak beraturan. Â Dia duduk di atas sebuah kursi kayu usang sambil memilin-milin ujung kaos oblongnya yang lusuh.
"Sudahlah Sim, bulan tak akan muncul malam ini. Â Lihat, sepertinya malam ini akan hujan." Seorang perempuan berusia sekitar 28 tahun muncul dari dalam rumah dan berjongkok di sisi Kosim. Â Ia dan anaknya seperti pinang di belah dua. Â Hanya saja kehidupan yang ganas telah menggores banyak kerutan di wajah teduhnya. Â Mata perempuan itu memancarkan kelembutan sekaligus ketegaran dan rahasia kesedihan yang tak ingin terlihat oleh orang lain. Namun, di depan putranya ia selalu menampakkan senyum seterang matahari dan suara selembut desir ombak Pantai Bembang yang tak jauh dari rumahnya. Â Sesungguhnya ia merasa sepi. Â Bagaimana tidak, rumah mereka agak jauh dari rumah penduduk lainnya, tidak ada listrik, apalagi kotak yang mampu bicara. Â Hanya terkadang saat bulan muncul dengan keindahannya yang sempurna, banyak pemuda-pemudi yang rekreasi di sana. Â Bahkan, karena bibir pantai yang luas dan bersih, dengan hamparan pasir keemasan tertimpa cahaya sang rembulan, kawasan itu sering dijadikan arena balapan motor oleh remaja-remaja pria tanggung. Â Wajar saja jika ia hanya bengong ketika ibu-ibu sepertinya membicarakan tentang remisi bagi koruptor, selebriti yang jadi tersangka pada kasus kematian istrinya, perkelahian pelajar, atau penyelesaian korupsi yang tidak pernah selesai. Â Ia hanya memiliki sebuah kitab Al-qur'an terjemahan dan beberapa buku tentang kisah Nabi dan Rasul yang menjadi mahar saat pernikahannya sebagai pelipur saat jiwa kelelahan. Â Hanya senandung firman Allah itulah yang dijadikan penghibur bagi sang putra, karena tiada mampu dirinya untuk membelikan PS, Ipod, atau sekedar mobil-mobilan yang dijual oleh Mas Tejo, penjual mainan keliling yang sering berbaik hati memberikan permen lolipop untuk Kosim. Â Untunglah ketika mengeyam pendidikan dasar, Ibu Diyah pernah mengajari beberapa kerajinan tangan dari barang-barang bekas dan cangkang moluska yang memang tersedia melimpah di bibir pantai Bembang. Â Terkadang timbul keinginan pindah ke Parit III yang lebih ramai agar Kosim tidak terlalu kesepian saat ditinggal bekerja, tetapi rumah mungil itu adalah kenangan terindah dan surga cinta almarhum suaminya. Namun, keraguan kerap singgah tentang kelangsungan hidup Hewan lunak dan cangkang-cangkang indah itu, jika kapal isap sudah menetap di laut Bembang yang biru nan tenang. Â Kapal-kapal itu pasti menggilas semua biota laut dan menghitamkan warna airnya. Â Bahkan sekarang bibir pantai lebih banyak di huni oleh kayu-kayu sakan dan drum-drum besar berwarna biru. Â Ahh... dunia telah menguasai manusia, semuanya...
"Tidak bunda, kosim akan menunggu. Â Bunda tidur saja"
"Tapi kamu sudah menunggunya selama satu minggu ini Nak. Â Belum saatnya bulan untuk muncul."
"Bulan akan muncul malam ini." Â Bocah itu terus bersikukuh sambil tak lepas menatap langit.
"Itulah yang kau katakan setiap malam". Â Wanita yang dipanggil bunda tidak tampak kesal dengan sikap Kosim. Â Wanita dengan senyum matahari. Â " Kalau kau sakit, Bunda tidak bisa kerja karena harus menjagamu".
"Kosim tidak sakit Bun. Â Sudahlah, Bunda masuk duluan, Kosim masih mau menunggu bulan sebentar lagi".
Dengan wajah prihatin bercampur sedih wanita itu masuk ke dalam rumah atau lebih tepatnya disebut kubus berukuran 3 m x 3m. Â Sekali lagi dia menoleh ke arah bocah kurus itu, kemudian bergegas menghilang di pintu.
Ambilkan bulan bu...ambilkan bulan bu
Yang slalu bersinar di langit...di langit bulan benderang
Cahyanya sampai ke bintang....Ambilkan bulan bu
Untuk menerangi
 tidurku yang lelap di malam ini....
Senandung lirih dari bibir lelaki berusia sekitar 8 tahun itu terus mengalun, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari malam -- malam yang sunyi dan dingin, hingga kemudian nyanyiannya terus melaju menuju langit tertinggi.
Hmm...selalu seperti ini.  Bunda bergumam.  Beliau kini berada di samping sang putra yang telah lelap tertidur di sandaran kursi usangnya.  Dia mengusap dengan penuh kasih rambut  yang menutup wajah putranya karena tiupan angin nakal.  Setengah tertatih dia menggendong lelaki itu ke dalam rumah.  Sampai di pembaringan yang terbuat dari tumpukan kardus, Bunda membaringkan kosim dengan sangat hati -- hati seperti memperlakukan sebuah guci antik Cina yang tak ternilai harganya.  Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu, ketika sepulang dari nyadap karet, Kosim menghampirinya.
"Bunda capek?" Â tangan -- tangan kurusnya segera memijat pundak bunda dengan cinta.
"Tidak. Â Kosim sudah makan? Â Lauknya sudah bunda sediakan di atas meja."
" Sudah Bun. Â Bahkan kosim makan 2 piring, ikan asin gorengnya lezat sekali." Â Dia mengacungkan kedua jempolnya ke arah Bunda dengan gaya yang lucu, membuat wanita itu tersenyum, meskipun terlihat seperti lengkungan yang setengah patah. Â Hanya itu yang bisa dihadiahkan untuk putranya. Â Mungkin itu penyebab pertumbuhan Kosim tidak maksimal, tubuh Kosim terlalu kecil dan kurus. Â Bunda memeluk kosim kemudian mendudukkannya di atas pangkuan kaki rikih yang kuat itu.
"Bun, kosim ingin melihat bulan".
"Kenapa?"
"Kosim tadi malam bermimpi. Â Ada lelaki berjubah putih yang mengatakan, bahwa kalau mampu melihat bulan, kosim pasti bahagia."
"Itu kan hanya bunga tidur Nak."
"Apakah tidur punya bunga, bun? Â Tapi tidak ada bunga dalam mimpi Kosim." Â Ia menengadahkan wajah mungilnya ke arah bunda. Â Bunda hanya tersenyum lucu.
"Ihh ... anak bunda yang manis ...bunga tidur itu maksudnya hanya sekedar mimpi biasa yang tidak punya arti. Â Hanya sebagai penghias agar tidur Kosim lebih indah."
"Tidak, itu bukan sekedar bunga tidur, tapi mimpi itu seperti nyata. Â Kosim yakin apa yang dikatakan oleh lelaki berjubah putih itu pasti benar."
"Apakah Kosim belum bahagia bersama bunda? Â Apakah bulan lebih baik dari bunda ?"
"Bukan begitu, Bun. Â Kosim sangat senang bisa terus bersama bunda. Â Kosim hanya ingin melihat Bulan, boleh kan?"
"Apa yang bisa Bunda bantu Nak? Â Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"Mulai malam besok, Kosim ingin menunggu bulan"
"Baiklah, Bunda mengizinkan, tapi tidak boleh terlalu malam."
"Whuaa...terima kasih. Â Bunda memang terbaik sedunia." Â Tentu saja, pikir wanita itu, karena hanya dia yang dikenal baik oleh anaknya.
Sejak malam itu hingga saat ini, Kosim benar -- benar melaksanakan niatnya untuk terus menunggu bulan. Â Namun, entah kenapa sudah seminggu ini bulan tak pernah muncul. Â Terkadang langit mendung, awan hitam menutup cahaya bulan, atau bulan memang tak ingin menampakkan dirinya di depan kosim. Â Wanita itu jadi heran sendiri. Â Kekhawatiran dan sayangnya terhadap putra semata wayang, satu -- satunya peninggalan sang suami yang telah meninggal 8 tahun lalu karena tertimbun tanah di lokasi TI konvensionalnya, membuat Bunda mengizinkan Kosim berjemur di bawah langit malam untuk menunggu sang Bulan. Â Bunda tidak pernah menikah lagi, karena baginya itulah bukti kesetiaan seorang perempuan dan cinta seorang Ibu. Â Namun, Tiba -- tiba saja air mata sudah membasahi pipi wanita itu, menatap wajah putranya membuat dia ingat akan sang suami. Â Jika suaminya masih ada, Kosim sekarang pasti bisa bersekolah seperti anak -- anak lain.
"Bunda belum tidur? Â Mengapa Bunda menangis?" Â suara Kosim menghempaskan semua lamunannya.
"Ooh...tidak nak, Bunda hanya ingat ayahmu".
"Bunda, Ayah itu seperti siapa?"
"Ayah sangat tampan seperti Kosim, dan baik. Â Semua orang menyukai ayah. Â Sudah larut, Kosim tidur lagi ya, Bunda akan ceritakan kisah Nabi Syu'aib untukmu". Â Seuntai senyum terlihat di bibir Kosim. Â Ia sangat menyukai cerita Nabi Syu'aib. Â Tangan lembut Bunda mengusap rambut kosim dengan sejuta kasih. Â Alunan suara merdu bunda telah mengantarkan Kosim ke dunia tanpa batas...tiada kelelahan dan dengkuran halusnya terdengar indah di telinga wanita itu. Â Suaminya pasti melihat mereka dengan senyum. Â Meskipun sang suami tidak sempat tahu rupa buah hati mereka, karena sang maut terlebih dahulu menjemputnya. Â Kosim pulas dan wajah polosnya tersenyum dengan tenang. Â Bunda merebahkan dirinya di samping Kosim dan berusaha memejamkan mata meski terasa sulit untuk lelap. Â Malam berikutnya....
Wanita itu terkejut ketika melihat Kosim mengenakan baju lebarannya tahun lalu dan aroma tubuhnya harum sekali. Â Malam ini masih sama seperti malam -- malam penantian Kosim. Â Â
"Kosim mau kemana?"
"Hanya mau menunggu Bulan, Bun?"
"Tapi pakaiannya bagus sekali, dan kamu sangat tampan Nak."
"Iyalah Bunda, Kosim kan mau ketemu Bulan."
Bunda hanya tersenyum melihat tingkah polos anaknya. Â "Baiklah nak, mau Bunda Temani?"
"nggak usah Bun, nanti saja kalau Kosim udah ketemu Bulan, Bunda pasti Kosim panggil."  Langkah -- langkah kecil Kosim terdengar merdu di telinga Bunda.  Ia pun menyenandungkan tembang kesukaannya.  Sampai ....kemudian terdengar dentuman keras dari depan rumahnya seiring dengan nyanyian sang putra yang  terhenti.  Namun, sempat terdengar oleh wanita itu Kosim memanggil dirinya.
"Bun, Bulannya sangat cantik! Â Cahayanya kuning keemasan."
Gelas berisi jahe hangat untuk sang putra terjatuh dan pecah berkeping. Â Mana mungkin....Anaknya kan tuna netra, sejak lahir Kosim tidak bisa melihat warna dunia, bagaimana mungkin ia mampu melihatnya?
Bergegas Ia keluar menuju kursi usang Kosim. Â Tubuh wanita itu kaku mengejang, salju dari mount everest turun deras dihatinya, dingin menusuk ke seluruh tulang -- tulangnya, Â sama seperti 8 tahun yang lalu ketika wanita itu memeluk jenazah suaminya yang terbujur kaku....Mata Bunda nanar memandang anaknya yang tergeletak besimbah darah, benar dan ia yakin, kini Kosim tersenyum bahagia, ia benar -- benar bahagia setelah bertemu Bulan, tapi apakah suami dan anaknya tidak pernah memikirkan kebahagiaanya? Â Bunda masuk dengan langkah kaku menuju rumah dengan memanggul tubuh Kosim yang dingin dengan sebuah janji bahwa ia pun akan menunggu Bulan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H