Untuk menerangi
 tidurku yang lelap di malam ini....
Senandung lirih dari bibir lelaki berusia sekitar 8 tahun itu terus mengalun, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari malam -- malam yang sunyi dan dingin, hingga kemudian nyanyiannya terus melaju menuju langit tertinggi.
Hmm...selalu seperti ini.  Bunda bergumam.  Beliau kini berada di samping sang putra yang telah lelap tertidur di sandaran kursi usangnya.  Dia mengusap dengan penuh kasih rambut  yang menutup wajah putranya karena tiupan angin nakal.  Setengah tertatih dia menggendong lelaki itu ke dalam rumah.  Sampai di pembaringan yang terbuat dari tumpukan kardus, Bunda membaringkan kosim dengan sangat hati -- hati seperti memperlakukan sebuah guci antik Cina yang tak ternilai harganya.  Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu, ketika sepulang dari nyadap karet, Kosim menghampirinya.
"Bunda capek?" Â tangan -- tangan kurusnya segera memijat pundak bunda dengan cinta.
"Tidak. Â Kosim sudah makan? Â Lauknya sudah bunda sediakan di atas meja."
" Sudah Bun. Â Bahkan kosim makan 2 piring, ikan asin gorengnya lezat sekali." Â Dia mengacungkan kedua jempolnya ke arah Bunda dengan gaya yang lucu, membuat wanita itu tersenyum, meskipun terlihat seperti lengkungan yang setengah patah. Â Hanya itu yang bisa dihadiahkan untuk putranya. Â Mungkin itu penyebab pertumbuhan Kosim tidak maksimal, tubuh Kosim terlalu kecil dan kurus. Â Bunda memeluk kosim kemudian mendudukkannya di atas pangkuan kaki rikih yang kuat itu.
"Bun, kosim ingin melihat bulan".
"Kenapa?"
"Kosim tadi malam bermimpi. Â Ada lelaki berjubah putih yang mengatakan, bahwa kalau mampu melihat bulan, kosim pasti bahagia."
"Itu kan hanya bunga tidur Nak."