"Apakah tidur punya bunga, bun? Â Tapi tidak ada bunga dalam mimpi Kosim." Â Ia menengadahkan wajah mungilnya ke arah bunda. Â Bunda hanya tersenyum lucu.
"Ihh ... anak bunda yang manis ...bunga tidur itu maksudnya hanya sekedar mimpi biasa yang tidak punya arti. Â Hanya sebagai penghias agar tidur Kosim lebih indah."
"Tidak, itu bukan sekedar bunga tidur, tapi mimpi itu seperti nyata. Â Kosim yakin apa yang dikatakan oleh lelaki berjubah putih itu pasti benar."
"Apakah Kosim belum bahagia bersama bunda? Â Apakah bulan lebih baik dari bunda ?"
"Bukan begitu, Bun. Â Kosim sangat senang bisa terus bersama bunda. Â Kosim hanya ingin melihat Bulan, boleh kan?"
"Apa yang bisa Bunda bantu Nak? Â Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"Mulai malam besok, Kosim ingin menunggu bulan"
"Baiklah, Bunda mengizinkan, tapi tidak boleh terlalu malam."
"Whuaa...terima kasih. Â Bunda memang terbaik sedunia." Â Tentu saja, pikir wanita itu, karena hanya dia yang dikenal baik oleh anaknya.
Sejak malam itu hingga saat ini, Kosim benar -- benar melaksanakan niatnya untuk terus menunggu bulan. Â Namun, entah kenapa sudah seminggu ini bulan tak pernah muncul. Â Terkadang langit mendung, awan hitam menutup cahaya bulan, atau bulan memang tak ingin menampakkan dirinya di depan kosim. Â Wanita itu jadi heran sendiri. Â Kekhawatiran dan sayangnya terhadap putra semata wayang, satu -- satunya peninggalan sang suami yang telah meninggal 8 tahun lalu karena tertimbun tanah di lokasi TI konvensionalnya, membuat Bunda mengizinkan Kosim berjemur di bawah langit malam untuk menunggu sang Bulan. Â Bunda tidak pernah menikah lagi, karena baginya itulah bukti kesetiaan seorang perempuan dan cinta seorang Ibu. Â Namun, Tiba -- tiba saja air mata sudah membasahi pipi wanita itu, menatap wajah putranya membuat dia ingat akan sang suami. Â Jika suaminya masih ada, Kosim sekarang pasti bisa bersekolah seperti anak -- anak lain.
"Bunda belum tidur? Â Mengapa Bunda menangis?" Â suara Kosim menghempaskan semua lamunannya.