Saya mencoba menjadi peneliti independen walau itu sulit, saya masih bisa resilien dengan banyaknya teori yang saya pelajari hingga bisa bertahan dan akhirnya menjadi kuat versi saya dengan sendirinya karena sudah banyak terlewati dari hantaman Undang-Undang Cipta Kerja, Urusan Akta Pendirian Kelembagaan, Kepemilikan, hingga domisili tempat peneliti itu bekerja yang mengurusi ketenagakerjaan peneliti independen, hingga akhirnya saya bertemu dengan para peneliti independen dan memang peneliti dari negara-negara maju yang menyadarkan bahwa peneliti independen ya seperti jurnalis independen, atur sendiri semuanya sama juga seperti wirausahawan mengatur pemodalan sendiri dengan target market sesuai jangkauannya.Â
Dari situlah saya membenahi kembali tempat saya meneliti hingga sekarang sudah tahap pulih kembali dengan melihat relevansi dan tidak perlu terkungkung oleh kegiatan pemerintah atau pusat penelitian lain yang memang tidak relevan dengan kondisi saya, terkadang tidak sesuai dengan alur penelitian saya.Â
Yang utama bagi saya sekarang adalah saya bisa meneliti dengan landasan kesukaan, kebutuhan, rasa penasaran, dan permasalahan yang dekat dengan saya hingga meneliti itu menjadi hal asyik dan akhirnya nominal tentang finansial sudah bukan prioritas kegiatan penelitian, karena dampak meneliti itu bukan hanya uang semata namun kebermanfaatannya, seperti penelitian saya yang berjudul : Gastro Forestry Project, artikel kompasiana bisa dibaca disini dengan judul "Implementasi Antropologi Pangan Terapan Pada Gastro Forestry Sebagai Upaya Kelestarian Komoditas"berhasil mempertahankan lahan dari konflik agraria, konversi lahan, dan mengembalikan kepemilikan lahan dari jalur diplomasi dan sertifikat kepemilikan lahan yang tentunya tidak mudah dan perlu waktu lama agar bisa kembali lestari. Hal ini tidak bisa dihitung oleh uang semata.Â
Didalamnya ada modal sosial seperti : kepercayaan, tradisi budaya, falsafah sains pengetahuan lokal, dan solidaritas, memangnya berapa duit jika dinominalkan ? sepanjang saya menelitinya, tidak selalu permasalahan di lapangan diselesaikan dengan uang, untuk proyek penelitian ini mengandalkan keberanian bersuara, aksi sosial, dan pengetahuan mendalam tentang hukum adat, konflik agraria, manajemen tata ruang, pengetahuan biodiversitas, kepemilikan aset warga dan negara, sengketa lahan, pengetahuan pertanian dasar, kreativitas sosial masyarakat, pemetaan sosial, gastronomi orang sunda dari berbagai dimensi seperti pedesaan, sub-kota dan perkotaan, gizi masyarakat, ekologi pangan dan ekologi politik serta banyak hal-hal pelengkap yang hanya bisa terlihat ketika turun lapang (fieldwork).Â
Jadi, saya simpulkan peneliti independen adalah seseorang yang bekerja dengan topik-topik tertentu sesuai pengalaman menelitianya dengan naungan perkumpulan penelitian atau mandiri (alias sendiri) baik berlandaskan latar belakang pendidikan, pengalaman pekerjaan atau topik yang diinginkan donatur/pemberi dana penelitian. Sedangkan kegiatan meneliti itu sendiri mendefinisikan kegiatan yang melibatkan proses : membaca, memahami literasi, menganalisis fenomena dan wacana bahkan hal-hal kompleks, memiliki prosedur untuk melihat hasil penelitiannya dengan berbagai pendekatan yang digunakan, dan hasil penelitian beragam bisa hanya sebatas : validasi, konfirmasi, informasi, temuan baru, respon, gambaran, dugaan, proyeksi, hingga terjemahan teoretis dengan kompleksitasnya.Â
Sumber : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology (Visualisasi bagaimana antropologi pangan bisa terimplementasi dari proyek penelitian saya (gastro forestry, gastro dari kata gastronomi forestry dari kata agroforestri/wanatani).Â
Sebenarnya, peneliti independen sudah banyak keberadaannya hanya tidak tervalidasi disebut "peneliti" karena ya untuk apa, beban peneliti di Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara bahkan benua Asia itu masih haus validasi bahwa peneliti itu identik dengan kemampuan lulus strata administrasi S3, S2 paling minimal, walau banyak peneliti terdahulu cukup dengan S1 namun pengalaman meneliti 10 tahun tidak bisa disusul oleh lulusan S2 kemarin sore.Â
Hal seperti ini rupanya masih banyak terjadi, dan inilah yang menimbulkan keterbatasan keberadaan peneliti, selain modal bisa tangkas pada berbagai penelitian, harus bermodal pula untuk berkuliah yang tidak murah, itu pun ketika lulus harus punya pengalaman penelitian entahlah di Indonesia bahkan di Asia Tenggara ini masih dibuktikan dengan publikasi ilmiah yang keluarannya hanya : Jurnal Ilmiah semata. Padahal produk penelitian itu beragam, bahkan sebuah lagu pun bisa menjadi produk penelitian, berarti terlalu sempit definisi penelitian yang ada disini.Â
Satu Dekade Catatan PenelitiÂ
Desember 2024 adalah 10 tahunnya saya meneliti di bidang yang saya minati dengan mayor gastronomi dan antropologi pangan, mari menjelajah isi pikiran dan temuannya, ini adalah poster yang memudahkan publik atau sesama peneliti bahkan media untuk melihat ketertarikan penelitian saya bahkan menghubungi saya dari tautan tersebut, selengkapnya saya menuliskan tautan : bit.ly/repantropologietnopangan yang tersambung dengan informasi yang tersimpan pada website Jurnalis Sains.Â
Contoh Liputan dari Media yang menghubungi saya :Â
Sumber : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology (KAJIAN ANALISIS DOKUMEN PP 28/2024 KETENTUAN PEMBATASAN GARAM, GULA, & LEMAK), jurnalis yang menghubungi dari The Jakarta Post.Â