Halo, Kerabat ! Saya Repa Kustipia dari Center for Study Indonesian Food Anthropology.
Itu adalah sapaan pembuka ketika saya menyapa secara daring, luring bahkan memperkenalkan diri tentang siapa saya kepada publik.
Apa dan Siapa itu Peneliti Independen ?
Hal pertama yang sering ditanyakan pada saya di berbagai forum atau momen random (acak) yang saya rasakan adalah identitas saya dipertanyakan dan merembet pada interogasi kantornya dimana, siapa ketua penelitinya, darimana modal menelitinya, siapa saja grup penelitinya, bahkan menanyakan gaji saya sebulannya berapa ? dan berakhir menyepelekan pekerjaan saya yang sudah saya dalami dengan nikmat karena berproses untuk selalu berkembang baik untuk diri sendiri dan kebermanfaatan akumulatif dari hasil penelitian yang saya lakukan.
Di Indonesia peneliti independen seperti saya tidak patut untuk menikmati kebebasan berpikir dan berkarya karena meneliti itu harus identik dengan afiliasi (kalau tidak dengan pemerintah, harus ada institusi yang menaungi katakanlah itu kampus dengan lembaga penelitiannya, atau pihak swasta yang sering menggandeng perusahaan untuk divisi penelitian/pengembangan biasa dikenal dengan research and development), lantas bagaimana dengan peneliti independen ? "dapet duit darimana ?".
Hal ini pun pernah saya respon dengan santai namun berusaha tetap tenang walaupun ingin sekali mengekspresikan kemarahan saya karena lelahnya meneliti dan selalu ada diskriminasi yang tak terduga :
Saya meneliti di bidang gastronomi (pangan, makanan dan budaya) dan antropologi pangan konsentrasi utamanya etnopangan dan secara holistik ada bahasan ekologi dari multiekosistem pangan dan dinamikanya yang berpengaruh pada sistem pangan.
Lantas saya mencari lowongan pekerjaan di bidang saya tidak tersedia apakah saya harus mengubur impian saya dan tetap diam saja? saya sudah pernah bekerja sebagai ahli gizi dan itu tidak memuaskan saya, tulisan saya bisa dibaca disini : Tentang perpindahan karir saya dari ahli gizi hingga menjadi seorang gastronomist dan peneliti antropologi pangan.
Saya adalah anak muda yang diberikan kekuatan mental pejuang tanpa nama orang tua, bantuan orang dalam, atau hal-hal yang memudahkan saya mencapai apa yang saya inginkan, saya memulainya dari kemampuan dan keterbatasan apa yang saya miliki kemudian saya mengoptimalkannya hingga hari ini saya bisa menikmati jerih payah yang sudah saya susun sejak lama bahkan dari usia saya masih muda, waktu itu masih mahasiswa tahun 2011 dan mulai menyukai kegiatan penelitian di tahun 2014 karena menjadi asisten peneliti dan itu adalah pekerjaan pertama saya sebagai calon peneliti yang statusnya belum jelas karena masih dianggap peneliti nebeng, bahkan jika menulis publikasi nama saya tidak selalu dicantumkan karena bukan tim inti namun dibalik itu semua saya juga berkontribusi dalam pengumpulan dan analisis data serta penyusunan daftar pustaka. Namun itulah kesedihan administratif saya ketika memutuskan ingin jadi peneliti.
Saya memang suka mengamati, menulis, membaca, hingga mengobservasi dan menelitinya sampai informasi terdalam yang ingin saya ungkapkan dalam metodologi penelitian yang saya gunakandan itu memelurkan waktu yang lama , kemudian membuat catatan kecil sebagai dokumetasi narasi (fieldnotes) yang entahlah untuk apa nantinya namun inilah cikal bakal saya bisa menyusun narasi ilmiah dan terus mencari referensi bahkan sering bepergian ke beberapa tempat seperti museum, perpustakaan di setiap daerah hingga toko buku di luar kota hanya untuk mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang saya rasa saya belum mendapatkan jawabannya hingga berdiskusi dengan banyak orang, terakhir saya suka berdebat tentang hal-hal yang saya temukan namun saya memiliki banyak referensi untuk mematahkan berbagai teori namun tidak ada ruang untuk dunia akademis yang kaku di kampus saya yang cukup feodal. Hal ini pun menjadi pengalaman pribadi saya ketika memenangkan lomba debat berbahasa Inggris di tingkat SMA karena disitu ada proses menganalisis kasus dan menggali informasi kebijakan pemerintah pusat hingga daerah yang berkorelasi dengan kasus yang ingin saya pecahkan dan menjadi kekuatan pro dan kontra dalam narasi saya, jadi hal-hal seperti ini menjadi bekal saya memantapkan kegiatan saya yang berakhir identitas saya sebagai peneliti, pun keterangan di KTP, SIM, bahkan identitas kependudukan adalah : Peneliti.
Saya meneliti secara independen dimulai dari working group (penelitian payungan), kemudian menjadi suatu perkumpulan dan kelompok penelitian. Uang penelitian sebenarnya bisa didapatkan dari berbagai pendanaan penelitian dan disitu ada bagian honorarium (itu adalah upah peneliti sebenarnya), tentu hal ini tidak sekali langsung dapat, ada banyak kegagalan yang saya alami sampai frustasi karena tidak kunjung dapat entah gagasan saya tidak menarik, penelitian saya biasa saja, atau kemampuan saya belum layak disebut peneliti dilihat dari pendonor penelitian. Sekarang saya punya ruang sendiri untuk meneliti secara bebas tanpa harus terbelenggu aturan-aturan rigid, kaku, bahkan tema riset paksanaan, ternyata jadi peneliti independen bisa semenyenangkan itu asal ulet dan persisten. Tahun ini 2024 saya sudah 10 tahun meneliti di bidang saya, tak terasa namun saya merayakannya secara personal dan grup kecil.
Saya mencoba menjadi peneliti independen walau itu sulit, saya masih bisa resilien dengan banyaknya teori yang saya pelajari hingga bisa bertahan dan akhirnya menjadi kuat versi saya dengan sendirinya karena sudah banyak terlewati dari hantaman Undang-Undang Cipta Kerja, Urusan Akta Pendirian Kelembagaan, Kepemilikan, hingga domisili tempat peneliti itu bekerja yang mengurusi ketenagakerjaan peneliti independen, hingga akhirnya saya bertemu dengan para peneliti independen dan memang peneliti dari negara-negara maju yang menyadarkan bahwa peneliti independen ya seperti jurnalis independen, atur sendiri semuanya sama juga seperti wirausahawan mengatur pemodalan sendiri dengan target market sesuai jangkauannya.
Dari situlah saya membenahi kembali tempat saya meneliti hingga sekarang sudah tahap pulih kembali dengan melihat relevansi dan tidak perlu terkungkung oleh kegiatan pemerintah atau pusat penelitian lain yang memang tidak relevan dengan kondisi saya, terkadang tidak sesuai dengan alur penelitian saya.
Yang utama bagi saya sekarang adalah saya bisa meneliti dengan landasan kesukaan, kebutuhan, rasa penasaran, dan permasalahan yang dekat dengan saya hingga meneliti itu menjadi hal asyik dan akhirnya nominal tentang finansial sudah bukan prioritas kegiatan penelitian, karena dampak meneliti itu bukan hanya uang semata namun kebermanfaatannya, seperti penelitian saya yang berjudul : Gastro Forestry Project, artikel kompasiana bisa dibaca disini dengan judul "Implementasi Antropologi Pangan Terapan Pada Gastro Forestry Sebagai Upaya Kelestarian Komoditas"berhasil mempertahankan lahan dari konflik agraria, konversi lahan, dan mengembalikan kepemilikan lahan dari jalur diplomasi dan sertifikat kepemilikan lahan yang tentunya tidak mudah dan perlu waktu lama agar bisa kembali lestari. Hal ini tidak bisa dihitung oleh uang semata.
Didalamnya ada modal sosial seperti : kepercayaan, tradisi budaya, falsafah sains pengetahuan lokal, dan solidaritas, memangnya berapa duit jika dinominalkan ? sepanjang saya menelitinya, tidak selalu permasalahan di lapangan diselesaikan dengan uang, untuk proyek penelitian ini mengandalkan keberanian bersuara, aksi sosial, dan pengetahuan mendalam tentang hukum adat, konflik agraria, manajemen tata ruang, pengetahuan biodiversitas, kepemilikan aset warga dan negara, sengketa lahan, pengetahuan pertanian dasar, kreativitas sosial masyarakat, pemetaan sosial, gastronomi orang sunda dari berbagai dimensi seperti pedesaan, sub-kota dan perkotaan, gizi masyarakat, ekologi pangan dan ekologi politik serta banyak hal-hal pelengkap yang hanya bisa terlihat ketika turun lapang (fieldwork).
Jadi, saya simpulkan peneliti independen adalah seseorang yang bekerja dengan topik-topik tertentu sesuai pengalaman menelitianya dengan naungan perkumpulan penelitian atau mandiri (alias sendiri) baik berlandaskan latar belakang pendidikan, pengalaman pekerjaan atau topik yang diinginkan donatur/pemberi dana penelitian. Sedangkan kegiatan meneliti itu sendiri mendefinisikan kegiatan yang melibatkan proses : membaca, memahami literasi, menganalisis fenomena dan wacana bahkan hal-hal kompleks, memiliki prosedur untuk melihat hasil penelitiannya dengan berbagai pendekatan yang digunakan, dan hasil penelitian beragam bisa hanya sebatas : validasi, konfirmasi, informasi, temuan baru, respon, gambaran, dugaan, proyeksi, hingga terjemahan teoretis dengan kompleksitasnya.
Sumber : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology (Visualisasi bagaimana antropologi pangan bisa terimplementasi dari proyek penelitian saya (gastro forestry, gastro dari kata gastronomi forestry dari kata agroforestri/wanatani).
Sebenarnya, peneliti independen sudah banyak keberadaannya hanya tidak tervalidasi disebut "peneliti" karena ya untuk apa, beban peneliti di Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara bahkan benua Asia itu masih haus validasi bahwa peneliti itu identik dengan kemampuan lulus strata administrasi S3, S2 paling minimal, walau banyak peneliti terdahulu cukup dengan S1 namun pengalaman meneliti 10 tahun tidak bisa disusul oleh lulusan S2 kemarin sore.
Hal seperti ini rupanya masih banyak terjadi, dan inilah yang menimbulkan keterbatasan keberadaan peneliti, selain modal bisa tangkas pada berbagai penelitian, harus bermodal pula untuk berkuliah yang tidak murah, itu pun ketika lulus harus punya pengalaman penelitian entahlah di Indonesia bahkan di Asia Tenggara ini masih dibuktikan dengan publikasi ilmiah yang keluarannya hanya : Jurnal Ilmiah semata. Padahal produk penelitian itu beragam, bahkan sebuah lagu pun bisa menjadi produk penelitian, berarti terlalu sempit definisi penelitian yang ada disini.
Satu Dekade Catatan Peneliti
Desember 2024 adalah 10 tahunnya saya meneliti di bidang yang saya minati dengan mayor gastronomi dan antropologi pangan, mari menjelajah isi pikiran dan temuannya, ini adalah poster yang memudahkan publik atau sesama peneliti bahkan media untuk melihat ketertarikan penelitian saya bahkan menghubungi saya dari tautan tersebut, selengkapnya saya menuliskan tautan : bit.ly/repantropologietnopangan yang tersambung dengan informasi yang tersimpan pada website Jurnalis Sains.

Contoh Liputan dari Media yang menghubungi saya :
Sumber : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology (KAJIAN ANALISIS DOKUMEN PP 28/2024 KETENTUAN PEMBATASAN GARAM, GULA, & LEMAK), jurnalis yang menghubungi dari The Jakarta Post.
Sumber : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology (MENANGGAPI SUSU IKAN PADA WACANA PROGRAM GIZI PEMERINTAH), jurnalis yang menghubungi dari The Jakarta Post.
Sumber : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology (Tanggapan Antropologi Pangan dan Gastronomi Pada Makanan Beku), jurnalis yang menghubungi pikiran-rakyat.com, dengan tautan berita : Apakah Aman Mengonsumsi Makanan Beku Tiap Hari ? Begini Kata Ahli.
Korespondensi Peneliti Independen dengan FAO
Peneliti Independen melihat berbagai kesempatan dari perspektif lokal, nasional hingga global, keaktifan untuk menampilkan analisis pada suatu fenomena yang sedang terjadi menjadi daya tarik tersendiri karena beberapa hal :
- Kemerdekaan menganalisis dari beberapa bukti lapangan, sehingga lebih jujur, terbuka, transparan dan cenderung bisa mewakili masyarakat pada setiap keadaan.
- Tidak terikat dengan institusi negara, hal ini tentu akan menjadi perbandingan upah, gaji, jaminan, dan fasilitas. Namun peneliti independen harus bisa ajeg pada fondasi yang sudah dibentuk sejak lama dari berbagai perspektif dan bisa terus relevan dengan zaman.
- Lebih bertanggung jawab dari kesiapan kekuatan data empiris, hal ini tentu tidak boleh serta merta asal-asalan karena naungannya diri sendiri yang memberikan efek untuk kerabat-kerabat peneliti di suatu perkumpulan, apalagi jika diberikan amanat menjadi koordinator lapangan (korlap atau sebutan sesama peneliti independen itu RD/Research Director) posisi tertinggi dari perkumpulan penelitian independen.
Maka dari itu, peneliti independen dibutuhkan untuk keseimbangan analisis, misalnya saya dihubungi oleh FAO untuk menjelaskan studi kasus tentang sistem pangan di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia sudah punya pelaporan sendiri, namun datanya kurang memuaskan di mata global, maka lembaga dunia seperti FAO pun akan melihat analisis lain yang berkesinambungan sebagai referensi lain dan ternyata analisis saya berbanding terbalik dengan laporan dari Pemerintah tentang sistem pangan di Indonesia (dari pemerintah datanya bagus dan sesuai harapan ya seperti biasa target-target pemerintah dilaporkan tercapai, namun saya melihat dan merasakan sendiri harga pangan saja sudah pada mahal, PPN pun sudah 11% jika makan diluar, ibu-ibu bahkan bapak-bapak yang hobi masak di sub-kota sulit mendapatkan aksesnya bukan karena pangan langka namun daya belinya menurut bahkan tidak mampu, produsen sektor makanan pun dilema antara harus mematok harga jual berapa agar bisa laris sedangkan mereka perlu mengupah tenaga kerja yang layak jika sudah ada struktur usaha, pun anak-anak sekolah jika diberi uang saku yang kecil maka tidak ada kualitas asupan.
Hal ini juga saya perjelas bahwa gaji pekerja di Indonesia hampir habis dibelanjakan bahan pangan ditengah mahalnya biaya akomodasi-transportasi dengan kelas-kelas pelayanan, biaya pendidikan, biaya perawatan lansia jika ada sandwitch generation, sedangkan urusan makan dan pangan itu kebutuhan rutin dimana idealnya untuk kebutuhan Gizi/Asupan orang asia makan itu tidak cukup 1-3x sehari sekarang, tapi ada perkembangan cita rasa seperti makan sudah bisa 6x dengan 2x selingan/camilan/makanan pendamping. Indonesia itu kuantitas tempat kuliner bisa di setiap sudut tempat dan viralisme, jadi pemerintah harus benar-benar paham bagaimana cita rasa dan selera masyarakat Indonesia itu sendiri dan distribusi transaksinya.

Minat Penelitian Saya
Sepanjang 10 tahun ini atau satu dekadenya saya meneliti, awalnya tidak terkategori dengan peminatan penelitian, namun saya hanya fokus pada satu kategori besar (MAYOR) : Pangan dan Budaya saja dimana topik gastrononomi sulit sekali untuk menemukan kolaborator penelitiannya pada saat itu, perjalanan penelitian ini yang memantapkan saya mempunyai kategori minat penelitian seperti ini :
- Antropologi Pangan dan Etnopangan : Antropologi pangan adalah cabang dari antropologi sosial budaya sebenarnya, jurusan kuliah ini pun muncul dan redup karena harus pragmatis juga mau bekerja dimana dan sebagai apa ? maka dari itu antropologi pangan hanya bisa dinikmati pada penelitian minor saja, padahal antropologi pangan di negara maju katakanlah itu Amerika Serikat dan Inggris bahasan antropologi pangan itu bisa mengungkapkan topik-topik tidak biasa seperti : hubungan pangan dan gender, menu-menu lesbian di suatu resto, kedai kopi LGBT+ , Black Chef (Chef turunan kulit hitam yang sudah tidak etis dipanggil negro karena bersifat kasar dan opensif/menyinggung, namun lebih hormat pengganti kata negro menjadi : Black, People of Colour, bahkan African-American). Antropologi Pangan di Indonesia pun masih abstrak dan tidak terarah, topiknya sering dipaksakan sesuai proyek pemerintah, padahal harus lebih nyentrik misalnya saya meneliti suplemen dan jenis kudapan para Pekerja Seks Komersial dimana pada tahun 2016 hal ini masih diperdebatkan, namun hal ini menarik saya telusuri bahwa tidak semua wanita ingin terjatuh pada pelacuran/prostitusi, namun mereka bingung mendapatkan pemasukan dan tersandera atas berbagai perjanjian, Pemerintah dimana ? Sedangkan Etnopangan sendiri adalah dedikasi saya untuk terus meneliti pangan asli saya sebagai orang sunda dan praktik pertaniannya. Seperti yang saya jelaskan, meneliti tidaklah selalu dikaitkan dengan kebutuhan finansial tapi ada hal-hal personal yang terbentuk menjadi relasi kebutuhannya, kebutuhan dan urgensi saya adalah lahan saya bertani tidak tergusur PSN/Proyek Strategis Nasional Leuwi Keris di Kabupaten Tasikmalaya yang baru saja diresmikan namun faktanya belum selesai.

"Lihatlah sejenak apa yang sedang saya perjuangkan (lahan pertanian dengan model agroforestri/wanatani) dengan terus meneliti"
Sumber : Youtube Gastro Tourism Academy (Kunjungan ke PSN Leuwi Keris pasca diresmikan Presiden).
- Anthropocene - Capitalosene : hal ini menjelaskan hubungan manusia dengan makanan dalam konteks perubahan kompleks per zaman. Saya pernah menuliskan artikel di kompasiana dengan judul : Epistemologi Filsafat Pangan di Era Antroposen-Kapitalosen. Hal yang paling menyeramkan dari Kapitalosene/Capitalosen adalah bagaimana megakapitalisme sistem pangan memporak-porandakan keberlangsungan umat manusia entah dari bencana ekologis, ketimpangan pangan yang menyebabkan manusia bahkan makhluk hidup kelaparan karena lahan pertanian berganti menjadi lokasi pertambangan, perumahan cicilan, dan konversi lahan besar-besaran untuk kebutuhan bahan bakar dengan dalih energi terbarukan (biomassa), padahal komoditas pangan masih belum mencukupi.
- Botanical Cuisine : lokasi saya di pedesaan (Kabupaten) dan saya mentransformasikan menu-menu dari masyarakat sunda yang semua bersumber dari berbagai ekosistem pangan, maka dari itu saya simpulkan, dari satu etnis saja sudah beragam, apalagi jika semua etnis di Indonesia yang berkreasi pun dicontohkan konsumsi etnis dalam acara-acara pemerintah, bukan yang mewah-mewah hidangan kelas atas, jika mau demikian, contohlah hidangan-hidangan kerajaan Indonesia atau menu-menu yang direkomendasikan tokoh bangsa, seperti Bung Karno misalnya yang bisa dieksplorasi pada buku Mustikarasa, namun memang membaca buku ini perlu penyesuaian terlebih jika Gen Z ingin membaca dan mempraktikan resepnya, kritik saya pada buku ini saya tuliskan pada artikel kompasiana berjudul : Perlunya Pembaruan Visualisasi Pada Buku Mustikarasa (Resep Masakan Indonesia Warisan Soekarno).
- Eco-Gastronomi : seperti yang saya tuliskan pada artikel kompasiana tentang Kontribusi Eco-Gastronomi dalam Mencegah Penyakit Metabolik, bahwa Eco-Gastronomi menekankan makanan yang baik, bersih, dan adil sehingga berdampak pada perubahan positif dalam lingkungan, kualitas pangan keadilan sosial yang dilakukan masyarakat yang berbudaya.
- Gastronomi mencakup minor Gastro diplomacy, Gastro Politik (artikel kompasiana yang saya tulis : Keberhasilan Gastro Politik India dan Peru), dan Gastro Tourism. Opini di majalan daring Gizi Asia Tenggara tentang gastro tourism sebagai diplomasi pangan bisa dibaca disini.
- Etnobotani Pangan : Hampir sama dengan Botanical Cuisine, namun etnobotani pangan lebih menekankan komoditas pangannya jadi inilah fondasi untuk bisa menghidangkan kuliner yang bersumber dari botani, saya masih fokus pada kawasan seputar Jawa Barat karena kondisi saya belum memungkinkan migrasi ke tempat lain untuk meneliti komoditas pangan lain.
Sumber Video : Center for Study Indonesian Food Anthropology untuk visualisasi dari artikel yang saya tulis dikompasiana dengan Judul : Bioantropologi Etnobotani Pangan Sebagai Konvergensi Interdisipliner Gastronomi.
- Eco-Feminist : Ketertarikan saya pada feminisme (gerakan untuk kesetaraan gender dan hak perempuan) muncul ketika komunitas petani perempuan melawan konflik agraria sengketa lahan, saya melihat kekerasan banyak terjadi pada perempuan hingga akhirnya penelitian ini saya presentasikan dengan judul : Eco-Feminist (Mother, Father, Farmer, Nature and Power) yang difasilitasi oleh United Kingdom Research and Inovation (UKRI) - University of Leeds. Eco-Feminist (Ekofeminisme) singkatnya membahas suatu keadaan terhadap perempuan yang disebabkan adanya eksploitasi lingkungan yang melibatkan reaksi hubungan budaya, ekologi dan kekuatan keyakinan (baik spiritual, budaya leluhur, dan idealisme masyarakat hukum adat dalam memandang keberlanjutan kehidupan dulu, kini dan nanti).
- Etnografi Pangan : Jadi, ketika meneliti di bidang antropologi pangan dan gastronomi ada metode penelitian kualitatif (data dominasi secara empiris, hasil turun lapang, dengan lebih banyak menampilkan narasi deskriptif dalam interpretasi hasil penelitian setelah melihat triangulasi kategorisasi atau teknik keakuratan validitas penelitian). Maka etnografi pangan singkatnya studi mendalam yang menghubungkan : budaya, sosial, ekonomi, politik bahkan ekologi antara mansia dan pangan dan makanan dalam sistem pangan dan faktor pemengaruhnya misalkan idealisme pangan, gengsi sosial pangan (makanan/pangan premium/, menu kelas atas dll), bahkan kelaparan pangan. Biasanya semua studi saya yang menggunakan etnografi pangan saya tuliskan pada bentuk monografi. Berikut monografi saya yang sedang masa pengeditas (editorial) untuk dipresentasikan dan diseminasi di tahun 2025 nanti.


- Film dan Pangan : Ketertarikan film dan pangan adalah cara lain bagi saya untuk menyampaikan kritik, dan sudah banyak film-film yang menyajikan hasil penelitian, tentu penelitian berbentuk film sangat menarik dan memudahkan menyampaikan pesan sosial apa yang ingin disampaikan. Contoh artikel saya di kompasiana yang mengulas tentang ketimpangan sosial pada menu dan penikmatnya adalah para politisi/stakeholder/pemangku kebijakan, judulnya Dinner For Few: Animasi Pendek Ketimpangan Sosial Penuh Satire Lewat Hidangan.
- Materialisme Budaya Pangan, Makanan Tradisional, Pangan Lokal, Sistem Pangan, dan Tembakau adalah seri ketertarikan penelitian saya sebagai respon pada gastronomi masa kini yang tentunya terus dinamis dan memberikan berbagai dampak terlebih pada masyarakat.
Menelitilah Untuk Kebermanfaatan

Bagi saya meneliti adalah meluangkan waktu untuk berpikir dan bertindak sehingga menghasilkan hal-hal kebermanfaatan yang justru bisa dikembangkan oleh orang lain melalui : pengetahuan, emosional, spiritual, dan modal sosial yang mulai terlupakan bahwa manusia adalah makhluk sosial maka saling tolong-menolong itu adalah reaksi akal yang menyambut naluri kemanusiaan.

Temu Kompasiana "Kerabat Antropolog Pangan"

Dalam rangka menciptakan ruang berbagi pengetahuan hasil penelitian saya membuat komunitas dari fasilitas kompasiana ini bernama : Kerabat Antropolog Pangan yang bisa dikunjungi / bergabung pada tautan : https://temu.kompasiana.com/kerabatantropologpangan, biasa mengisi berbagai artikel setiap hari Rabu dengan nama : Rabu Bertemu. Sudah hampir 5 pertemuan berlangsung dan saya senang sekali antusiasmenya terus meningkat karena saya berharap perkumpulan ini memang inklusif yang bisa merangkul semua orang tanpa ada batasan latar belakang, persoalan pangan adalah persoalan semua umat manusia dan makhluk hidup sampai akhir hayat, maka dari itu memikirkan dan beraksi untuk keberlanjutan pangan adalah tanggung jawab manusia yang bisa memaksimalkan akal pikiran dan budi pekerti agar tercipta keadilan pangan.

Jadi peneliti independen di Indonesia sudah saya nikmati suka dukanya, dan saya harus semakin bijaksana dari banyaknya pengalaman lapangan, terlebih banyak ketimpangan yang tidak terselesaikan dan bertambah.
Demikian, perjalanan penelitian ini saya tuliskan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI