Secara fungsi, umumnya komoditas jengkol memang hanya dimanfaatkan bijinya saja untuk kudapan, namun ketika melihat potensi lain dari hasil penelitian kulit jengkol bisa menjadi bahan pewarna tekstil.
Secara sejarah juga orang-orang sunda dahulu mewarnai kain-kain dengan tumbuhan untuk warna dari jengkol hanya beberapa kelompok saja yang melakukannya untuk kepentingan personal, belum memikirkan untuk industri rumahan yang memaksimalkan potensi kulit jengkol sebagai pewarna pakaian ramah lingkungan. Informasi tentang potensi kulit jengkol sebagai pewarna kain jumputan.
Batang jengkol tidak sekuat batang tumbuhan kayu, untuk orang sunda sendiri baru sampai tahap dijadikan kayu bakar dan ukiran sederhana karena batangnya tidak sekuat kayu, jadi disinilah tantangan para inovator agar bisa memanfaatkan batang jengkol sebagai alternatif dari seni kriya.
Pohonnya sendiri jika dinilai fungsi ekologisnya yang paling kontributif adalah sebagai biomassa tanah yang berkontribusi dalam penyimpanan karbon di tanah.Â
Karbon ini terperangkap dalam bahan organik tanah yang stabil dan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer, artinya cocok ditanam ketika dunia sudah mulai diterjang gelombang panas.
Misalkan tujuan pembangunan global untuk mencapai energi bersih di tahun 2030 masih ada waktu jika jengkol ditanam di akhir tahun 2024 ini karena pertumbuhan jengkol cukup lama yaitu 6-10 tahun. Jadi 2030 sudah punya cadangan karbon dari jengkol.Â
Akankah pemerintah dan masyarakat sipil memikirkan potensi jengkol untuk mencapai udara bersih di masa depan? Atau hanya akan menikmati sajian resep-resep jengkol, pohonnya kalau sudah tidak ada siapa yang akan menanamnya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H