Dopamine detox menjadi tren populer di kalangan Gen Z sebagai metode untuk
mengatasi kecanduan, meningkatkan fokus, dan mengembalikan kendali atas kebiasaan
sehari-hari. Namun, tren ini juga menimbulkan sejumlah masalah dan kontroversi, baik dalam
implementasi maupun dampaknya. Dopamin sering disalah artikan sebagai "zat buruk" yang
menyebabkan kecanduan, sehingga banyak orang mencoba mengendalikan atau bahkan
menghentikan efeknya melalui metode seperti dopamine detox. Pemahaman ini keliru karena
dopamin adalah neurotransmitter yang esensial dalam otak, berperan besar dalam proses
motivasi, pembelajaran, pengambilan keputusan, dan antisipasi terhadap penghargaan.
Dopamin bukanlah penyebab masalah itu sendiri; justru, ia mendukung manusia untuk
mengejar tujuan, menikmati proses, dan merasa puas ketika berhasil m. encapai sesuatu.
Sebuah kesalahpahaman umum adalah bahwa aktivitas yang tidak sehat, seperti bermain
game, menonton media sosial, dan makan makanan cepat saji, hanya melepaskan dopamin.
Faktanya, aktivitas yang bermanfaat, seperti berolahraga, belajar, bermeditasi, atau
menyelesaikan tugas sehari-hari, juga menghasilkan dopamin. Ini menunjukkan bahwa
dopamin bukanlah komponen yang harus "dihilangkan", tetapi merupakan bagian penting
dari cara otak kita memotivasi kita untuk bertindak. Namun, aktivitas yang terlalu banyak
memberikan stimulasi dapat menyebabkan lingkaran recompense, di mana otak terus mencari
kepuasan instan. Situasi seperti ini dapat membuat aktivitas yang lebih sederhana tidak
menarik, mengganggu keseimbangan.
Dopamine detox, yang sering dipromosikan sebagai metode untuk "mengatur ulang"
otak, juga disalahpahami. Karena tubuh terus-menerus memproduksi dopamin sebagai bagian
dari fungsi biologis dasar, tidak mungkin menghentikan produksi dopamin sepenuhnya.
Membangun kembali sensitivitas terhadap hal-hal yang lebih penting dan produktif serta
mengurangi stimulasi untuk kebiasaan yang tidak sehat seharusnya menjadi fokus utama.
Pendekatan yang terlalu ekstrem, seperti menghindari semua hiburan atau dorongan, tidak
hanya sulit dilakukan tetapi juga dapat menyebabkan stres, isolasi sosial, dan tekanan
emosional yang berlebihan.Selain itu, konten di media sosial sering menyederhanakan tren
ini.
Konten ini tidak menjelaskan secara menyeluruh fungsi dopamin dalam otak.
Kisah-kisah seperti "menghentikan dopamin untuk menjadi produktif" mengabaikan fakta
bahwa dopamin juga diperlukan untuk mendorong kita untuk melakukan hal-hal penting,
seperti belajar atau bekerja. Ketika seseorang tidak berhasil "menghentikan" aktivitas yang
menyenangkan,mereka dapat merasa bersalah atau frustrasi. Namun, sebenarnya aktivitas
tersebut tidak merugikan jika dilakukan dalam batas yang sehat.
Seseorang harus memahami dopamin sebagai bagian penting dari sistem otak yang
membantu menjaga keseimbangan hidup. Mengontrol aktivitas yang memicu overstimulasi,
seperti membatasi waktu penggunaan media sosial atau memprioritaskan kegiatan yang
bermanfaat, adalah pilihan yang lebih bijak daripada berfokus pada eliminasi. Latihan
mindfulness, pola hidup sehat, dan dukungan profesional dapat membantu menciptakankebiasaan yang mendukung keseimbangan dopamin tanpa mengganggu kesehatan mental.
Pemahaman yang lebih mendalam ini memungkinkan kita untuk memanfaatkan fungsi
dopamin untuk meningkatkan produktivitas, kesehatan, dan kualitas hidup tanpa terjebak
dalam kesalahpahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H