Nama : Renny Syahrani
NIM : 33222010012
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Dosen Pengampu : Â Prof. Dr, Apollo. M.Si.Ak
Edwin Sutherland (1883-1950) adalah seorang sosiolog Amerika yang dianggap sebagai salah satu kriminolog paling berpengaruh di abad ke-20. Lahir di Gibbon, Nebraska, ia memperoleh gelar Ph.D. dari University of Chicago pada tahun 1913 dengan gelar ganda di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Sutherland memegang posisi di berbagai universitas, termasuk Universitas Illinois dan Universitas Chicago, sebelum bergabung dengan Universitas Indiana pada tahun 1935, di mana ia mendirikan Sekolah Kriminologi Bloomington dan bertahan sampai kematiannya. Dia menerbitkan beberapa karya penting, termasuk "Kriminologi" dan "Pencuri Profesional", dan terpilih sebagai presiden American Sociological Society pada tahun 1939 dan Sociological Research Association pada tahun 1940.
Sutherland dikenal karena pendekatannya yang bijaksana dan jelas, dan dia dihormati karena pengamatan dan kesimpulannya yang cermat. Dia tidak argumentatif tetapi dikenal karena keyakinannya yang kuat. Selain kontribusi akademisnya, ia memegang berbagai posisi kepemimpinan di organisasi akademis dan profesional, yang semakin menunjukkan pengaruh dan pengaruhnya di bidang kriminologi dan sosiologi. Ia terkenal karena mendefinisikan teori umum tentang kejahatan dan kenakalan, yang dikenal sebagai teori asosiasi diferensial. Teori Sutherland menjelaskan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa individu yang bergaul dengan perilaku kriminal lebih besar kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku kriminal. Teori Sutherland sangat relevan dengan kejahatan kerah putih, yang ia definisikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh individu dari kelas sosial tinggi dalam pekerjaan mereka.Â
Di Indonesia, korupsi merupakan permasalahan luas yang berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, runtuhnya kekuasaan negara, dan merosotnya moralitas pejabat. Korupsi tidak boleh dipandang sebagai suatu perbuatan pelanggaran hukum biasa, melainkan harus dipandang sebagai suatu kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai Teori Sutherland dan hubungan mengenai fenomena kejahatan korupsi di Indonesia.
Apa Itu Korupsi?
Korupsi dapat didefinisikan sebagai tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan serta uang negara untuk kepentingan pribadi dengan cara menerima atau memberikan suap, sogokan, atau imbalan lainnya. Korupsi dapat terjadi di berbagai sektor, termasuk pemerintahan, bisnis, dan masyarakat umum. Korupsi mempunyai dampak yang merugikan masyarakat dan individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa, dan birokrasi. Korupsi juga dapat menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Disisi lain, berikut terdapat beberapa pengertian korupsi menurut para ahli :
- Nurdjana (1990)
Korupsi merupakan istilah yang berasal dari kata Yunani "corruptio" yang berarti perbuatan tidak baik, buruk, dapat disuap, curang, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, bertentangan dengan norma-norma material agama, mental dan hukum.
-Â Haryatmoko
Korupsi adalah upaya penyalahgunaan informasi, keputusan, pengaruh, uang, atau kekayaan untuk kepentingan diri sendiri dengan menggunakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi kedudukannya.
- UU Nomor 31 Tahun 1999
Ada beberapa hal yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU Nomor 31 Tahun 1999, yaitu :
- Perbuatan memperoleh kekayaan untuk diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan negara
- Melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau korporasi
- Penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan dan kesempatan, serta sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
- Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada dirinya
- Melakukan pembantuan, percobaan atau pemufakatan jahat untuk tindak pidana korupsi.
Mengapa Korupsi Bisa Terjadi di Indonesia?
Teori diferensial menurut Edwin Sutherland merupakan teori kriminologi yang menyatakan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan sosial, bukan bersifat bawaan. Sutherland menekankan bahwa individu belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan atau nilai-nilai yang mendukung tindakan kriminal. Teori ini juga menekankan pentingnya proses komunikasi dalam pembelajaran perilaku kriminal. Dalam konteks korupsi, teori ini menjelaskan bahwa perilaku korupsi dapat terjadi melalui interaksi dan asosiasi dengan lingkungan yang memungkinkan terjadinya tindakan korupsi, seperti adanya kesempatan yang terbuka dan norma-norma yang mendukung perilaku korupsi.
Dalam konteks kriminologi, teori asosiasi diferensial Edwin Sutherland menekankan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan sosial, bukan bersifat bawaan. Sutherland menegaskan bahwa individu belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan atau nilai-nilai yang mendukung tindakan kriminal. Teori ini juga menekankan pentingnya proses komunikasi dalam pembelajaran perilaku kriminal.
Dalam kaitannya dengan korupsi, teori asosiasi diferensial menjelaskan bahwa perilaku korupsi dapat terjadi melalui interaksi dan asosiasi dengan lingkungan yang memungkinkan terjadinya tindakan korupsi, seperti adanya kesempatan yang terbuka dan norma-norma yang mendukung perilaku korupsi. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa perilaku korupsi bukanlah sesuatu yang diturunkan, melainkan dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan sosial.
Hal ini sejalan dengan faktor-faktor penyebab korupsi yang dikemukakan oleh Jack Bologne dalam teorinya yang dikenal dengan Gone Theory, yaitu :
1.Greeds (Keserakahan)
Keserakahan dapat mempengaruhi keputusan individu dalam korupsi karena keserakahan merupakan sifat yang dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Menurut salah satu teori korupsi, Jack Bologne Gone Theory, keserakahan merupakan salah satu faktor penyebab korupsi bersama dengan kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan dapat membuat individu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan ingin memperoleh lebih banyak keuntungan, sehingga mereka cenderung melakukan tindakan korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Selain itu, keserakahan juga dapat mempengaruhi individu untuk mengambil risiko yang lebih besar dalam melakukan tindakan korupsi demi memperoleh keuntungan yang lebih besar pula.
2.Opportunities (Kesempatan)
Kesempatan korupsi dapat mempengaruhi keputusan individu di Indonesia karena adanya peluang atau kesempatan yang ada dalam suatu sistem, seperti kelemahan sistem, pengawasan kurang, dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan oleh individu yang memiliki niat buruk atau keserakahan untuk melakukan korupsi. Selain itu, faktor-faktor lain seperti kebutuhan hidup yang mendesak, penghasilan kurang mencukupi, dan moral lemah juga dapat mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan korupsi.
3.Needs (Kebutuhan)
Dalam teori individualisme, keputusan individu untuk melakukan korupsi dapat dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan. Individualisme adalah pandangan moral, filsafat politik, ideologi, dan pandangan sosial yang menekankan nilai intrinsik individu. Teori ini menekankan partisipasi personal dalam ranah politik dan moral, serta pemikiran dan pendapat independen sebagai sifat yang diperlukan dari seorang individualis. Dalam konteks ini, keputusan seseorang untuk melakukan korupsi mungkin dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi, seperti kebutuhan akan kekuasaan, kekayaan, atau pengakuan. Selain itu, teori individualisme juga mencakup kemampuan individu untuk merancang dan mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu, dalam konteks teori individualisme, keputusan untuk korupsi mungkin dipengaruhi oleh dorongan untuk memenuhi kebutuhan pribadi tanpa memperhatikan dampaknya pada orang lain atau masyarakat secara keseluruhan.
4.Exposures (Pengungkapan)
Dalam konteks korupsi, pengungapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan, sistem hukum, dan tindakan penegakan hukum yang mempengaruhi pengungapan atau konsekuensi dari tindakan korupsi dapat berperan dalam memengaruhi perilaku korupsi di Indonesia.Â
Hubungan Teori Edwin H. Sutherland dengan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia
Edwin Sutherland adalah seorang sosiolog yang mengembangkan teori tentang white collar crime pada tahun 1939. Menurut Sutherland, white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi, seperti pejabat pemerintah, pengusaha, dan profesional. Sutherland menekankan bahwa white collar crime tidak kalah seriusnya dengan kejahatan jalanan, bahkan lebih merugikan masyarakat secara ekonomi. Sutherland juga menolak pandangan bahwa kejahatan ini dilakukan oleh individu yang memiliki karakter buruk atau moral yang rendah. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kejahatan ini terjadi karena adanya kesempatan dan dorongan finansial yang besar.
Sutherland juga menekankan bahwa white collar crime seringkali tidak dianggap sebagai kejahatan oleh masyarakat dan sistem peradilan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pelaku kejahatan ini seringkali memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar, sehingga mereka dapat mempengaruhi proses hukum. Oleh karena itu, Sutherland menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku white collar crime.
Korupsi merupakan salah satu bentuk white collar crime, yang merujuk pada kejahatan yang umumnya dilakukan oleh individu atau kelompok yang tergolong dalam kalangan profesional, intelektual, atau pejabat dengan pengaruh kekuasaan. Kejahatan ini seringkali terkait dengan penyalahgunaan kepercayaan, manipulasi, atau pelanggaran hukum dalam lingkup bisnis, pemerintahan, atau profesi tertentu. Korupsi dapat mencakup tindakan seperti penyuapan, penggelapan pajak, dan penipuan. Kasus korupsi seringkali sulit dilacak karena pelakunya seringkali memiliki akses terhadap sumber daya dan informasi yang memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut tanpa sepengetahuan publik. Penegakan hukum terhadap pelaku white collar crime, termasuk korupsi, memerlukan perhatian khusus dan kerja sama lintas lembaga untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan dalam menangani kejahatan semacam ini.
Dalam konteks hukum Indonesia, korupsi telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Thn. 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Selain itu, terdapat juga undang-undang lain yang mengatur tindak pidana korupsi, seperti UU No. 29 Thn. 2004 untuk profesi dokter, UU No. 48 Tahun 2009 untuk profesi Hakim, dan UU lainnya yang terkait dengan profesi tertentu. Penegakan hukum terhadap korupsi dan white collar crime lainnya memerlukan kerja sama antara lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan lembaga peradilan, serta dukungan dari masyarakat untuk melaporkan dan mencegah tindakan korupsi.
Dalam konteks global, korupsi juga telah menjadi perhatian masyarakat internasional, dan upaya pencegahan serta penegakan hukum terhadap korupsi menjadi agenda penting dalam berbagai forum internasional. Kasus-kasus korupsi, termasuk yang melibatkan pejabat publik, perusahaan, atau institusi keuangan, seringkali memiliki dampak yang kompleks dan merugikan bagi masyarakat dan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap korupsi sebagai white collar crime memerlukan kerja sama lintas negara dan upaya bersama untuk mencegah, mendeteksi, dan menindak tindakan korupsi.
Dalam konteks sosial, korupsi juga dapat dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial, karena melibatkan pelanggaran terhadap norma dan nilai-nilai etika dalam berbagai profesi dan institusi. Upaya pencegahan korupsi juga memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, media, dan masyarakat sipil, untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya dan dampak negatif dari korupsi serta memperkuat integritas dan transparansi dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, korupsi sebagai white collar crime merupakan tantangan serius dalam upaya menciptakan tatanan hukum dan sosial yang adil, transparan, dan berintegritas. Penegakan hukum, pencegahan, dan kesadaran masyarakat merupakan kunci dalam upaya mengatasi korupsi dan white collar crime lainnya.
Kejahatan korupsi di Indonesia menjadi perhatian utama karena dampaknya yang merugikan masyarakat dan perekonomian. Dalam kaitannya dengan "Principles of Criminology," teori-teori kriminologi seperti teori strain, teori kontrol sosial, dan teori labeling dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong munculnya kejahatan korupsi.
Â
1.Teori Strain
Teori strain dalam buku "Principles of Criminology" karya Edwin Sutherland menyatakan bahwa tindakan kriminal dapat terjadi akibat ketegangan (strain) antara tujuan yang diinginkan seseorang dan cara-cara yang sah untuk mencapainya. Dalam konteks korupsi di Indonesia, teori ini dapat diaplikasikan dengan mempertimbangkan tekanan ekonomi, sosial, dan budaya yang mungkin mendorong seseorang untuk terlibat dalam perilaku korup. Misalnya, ketika seseorang menghadapi tekanan ekonomi yang besar dan merasa bahwa jalur-jalur legal tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, mereka mungkin cenderung terlibat dalam korupsi untuk mencapai tujuan mereka. Namun, penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor lain juga turut berperan dalam kasus korupsi, dan hal ini hanya merupakan salah satu dari berbagai teori yang dapat menjelaskan fenomena kompleks tersebut.
2.Teori Kontrol Sosial
Buku "Principles of Criminology" karya Edwin Sutherland membahas teori kontrol sosial yang menjelaskan bagaimana masyarakat dan lembaga-lembaga sosial mempengaruhi perilaku kriminal seseorang. Teori ini menyatakan bahwa individu yang memiliki ikatan sosial yang kuat dengan masyarakat dan lembaga-lembaga sosial cenderung untuk mematuhi norma-norma sosial dan menghindari perilaku kriminal. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki ikatan sosial yang kuat cenderung untuk melanggar norma-norma sosial dan melakukan perilaku kriminal.
Dalam konteks korupsi di Indonesia, teori kontrol sosial dapat diaplikasikan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korupsi adalah lemahnya sistem kontrol sosial di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan juga dapat mempengaruhi terjadinya korupsi.
Dalam hal ini, penerapan teori kontrol sosial dapat membantu untuk mengurangi tingkat korupsi di Indonesia dengan memperkuat sistem kontrol sosial melalui peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan meningkatkan tingkat pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
3.Terori Labeling
Teori labeling dapat mempengaruhi perilaku seseorang yang diberi label koruptor melalui efek jera dan stigmatisasi. Pemberian label koruptor dapat menciptakan tekanan mental dan membuat individu sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau diterima kembali di masyarakat, yang pada gilirannya dapat memicu perilaku yang sesuai dengan label yang diberikan. Labeling secara negatif dapat membuat individu terus menerus berperilaku sesuai dengan label yang diberikan, menciptakan stigma dan membatasi interaksi sosial. Dengan demikian, teori labeling dapat berkontribusi pada mempertahankan atau bahkan memperburuk perilaku koruptif seseorang yang telah diberi label koruptor.
Selain itu, konteks budaya dan politik Indonesia juga berperan dalam membentuk pola kejahatan korupsi. Budaya dan politik Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejahatan korupsi di negara ini. Pertama-tama, budaya yang cenderung menghargai kekayaan dan status sosial dapat memicu perilaku korupsi. Banyak orang Indonesia yang menganggap bahwa kekayaan dan jabatan adalah tanda keberhasilan dalam hidup, sehingga mereka cenderung menggunakan cara-cara yang tidak etis untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu, politik Indonesia yang masih rentan terhadap praktik nepotisme dan kolusi juga memperburuk situasi ini.
Kedua, sistem politik Indonesia yang masih belum stabil dan transparan juga menjadi faktor yang mempengaruhi kejahatan korupsi. Banyak pejabat pemerintah yang memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok mereka, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan hukum yang ada. Selain itu, lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum juga memudahkan para pelaku korupsi untuk melakukan tindakan mereka tanpa takut dihukum.
Ketiga, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum optimal. Meskipun sudah ada beberapa lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun masih banyak kendala yang dihadapi, seperti campur tangan politik dan kekurangan sumber daya. Selain itu, masih banyak pejabat pemerintah yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, karena mereka merasa terancam oleh tindakan tersebut.
Hambatan dalam Melakukan Pemberantasan Korupsi
Menurut Edwin H. Sutherland, terdapat beberapa hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Hambatan tersebut antara lain adalah :
1. Hambatan Struktural
Menurut Edwin H. Sutherland, hambatan struktural dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia terkait dengan kelemahan audit dari pemerintah Indonesia dan kurangnya transparansi dalam proses pembuatan dan pengawasan korupsi. Beberapa aspek hambatan struktural meliputi:
1. Kurangnya transparansi: Masyarakat dan individu mungkinkinkan bermasalah atas keterangsungan dan kurangnya transparansi dalam proses pembuatan dan pengawasan korupsi.
2. Masih adanya "sikap sungkan" dan toleran di antara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi.
3. Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan yang tidak mampu menjamin penegakan hukum yang adil dan efektif.
4. Keterlibatan lebih banyak anggota DPR mengemuka dari sejumlah fakta yang muncul di Anggaran DPR.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia harus melibatkan langkah-langkah seperti mendesain dan menata ulang pelayanan publik, memperkuat transparansi, pengawasan, dan sanksi, serta meningkatkan pemberdayaan perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
2.Hambatan Kultural
Menurut Edwin H. Sutherland, hambatan kultural dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah norma dan nilai yang mendukung perilaku korupsi. Hal ini mencakup toleransi terhadap tindakan korupsi, pandangan bahwa korupsi adalah hal yang wajar, dan kurangnya kesadaran akan dampak negatif dari tindakan korupsi terhadap masyarakat dan negara. Hambatan kultural dapat mempengaruhi pemberantasan korupsi di Indonesia dengan membuat sulitnya mengubah perilaku dan norma terkait korupsi, sehingga mempersulit upaya pemberantasan korupsi secara efektif. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia harus melibatkan pendekatan pendidikan, pembentukan norma yang kuat, serta penegakan hukum yang tegas untuk mengubah perilaku dan norma terkait korupsi.
3.Hambatan Instrumental
Hambatan instrumental dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, menurut Edwin H. Sutherland, adalah kurangnya sumber daya dan teknologi yang dibutuhkan untuk pemberantasan korupsi. Hambatan ini mencakup keterbatasan dalam hal anggaran, peralatan, dan infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan penyelidikan, pengawasan, dan penegakan hukum terkait kasus-kasus korupsi. Hambatan instrumental dapat mempengaruhi pemberantasan korupsi di Indonesia dengan menghambat kemampuan aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus-kasus korupsi, sehingga mempersulit upaya pemberantasan korupsi secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan alokasi sumber daya dan investasi dalam teknologi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
4.Hambatan Manajerial
Manajemen yang buruk dapat berkontribusi terhadap korupsi di Indonesia melalui beberapa cara:
Tata kelola yang lemah : Korupsi seringkali disebabkan oleh buruknya kualitas tata kelola pemerintah dan swasta, lemahnya institusi hukum, dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Tata kelola yang lemah ini dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi
Rendahnya kualitas politisi : Kualitas politisi di Indonesia sangat rendah, sehingga mengakibatkan praktik korupsi yang berkepanjangan di kalangan pejabat terpilih
Ketimpangan pendapatan yang tinggi : Kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin sangat tinggi di Indonesia, dan korupsi memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap masyarakat miskin. Ketimpangan pendapatan ini dapat memicu korupsi dan menghambat pembangunan ekonomi
Manajemen peradilan yang buruk : Peradilan yang korup dapat membatasi efisiensi operasi bisnis dan melemahkan perlindungan hak milik, sehingga menyebabkan lebih banyak korupsi
Pengawasan yang tidak memadai : Korupsi merajalela di sektor sumber daya alam karena lemahnya pengawasan, yang dapat menyebabkan pengelolaan yang buruk dan meningkatnya korupsi
Manajemen dan koordinasi yang buruk : Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa manajemen yang buruk, termasuk kurangnya koordinasi dan pengawasan yang tidak efektif, dapat menghambat perkembangan penelitian dan pengembangan di Indonesia
Untuk memberantas korupsi, penting untuk mengatasi akar permasalahannya, seperti memperbaiki tata kelola pemerintahan, meningkatkan kualitas politisi, mengurangi kesenjangan pendapatan, dan memperkuat pengawasan di sektor peradilan dan sumber daya alam. Selain itu, mendorong transparansi, akuntabilitas, dan praktik manajemen yang efektif dapat membantu mengurangi terjadinya korupsi di Indonesia
Untuk mengatasi masalah kejahatan korupsi di Indonesia, diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1.Meningkatkan pendidikan dan kesadaran tentang kejahatan korupsi, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari kejahatan korupsi.
2.Mengurangi imbalan dan penyebab korupsi, seperti ketidakpastian politik, kurangnya gaji, dan latar belakang kebudayaan atau kultur.
3.Memperkuat sistem integritas nasional, termasuk kemauan politik pemerintah dan badan anti-korupsi, untuk mencegah dan memberantas korupsi.
4.Meningkatkan manajemen dan kontrol yang efektif dan efisien dalam organisasi, seperti pemerintah, perusahaan, dan institusi, untuk mencegah peluang korupsi.
5.Menggunakan teknologi dan inovasi untuk mencegah dan mengatasi kejahatan korupsi, seperti penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TekInfoKom) dalam pengawasan korupsi.
6.Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah, polisi, dan masyarakat dalam mencegah dan mengatasi kejahatan korupsi.
7. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya integritas dan transparansi dalam berbisnis dan berpolitik.
8. Meningkatkan kualitas dan independensi sistem hukum dan penegakan hukum.
9. Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan dana publik dan proyek-proyek besar.Â
10. Meningkatkan insentif untuk perilaku yang jujur dan transparan dalam berbisnis dan berpolitik.
Dalam mengatasi masalah kejahatan korupsi, peran individu dan masyarakat sangat penting. Setiap orang harus berkomitmen untuk tidak melakukan korupsi dan memperjuangkan integritas dan transparansi dalam berbisnis dan berpolitik. Selain itu, masyarakat juga harus aktif dalam mengawasi penggunaan dana publik dan proyek-proyek besar, serta melaporkan tindakan korupsi yang terjadi.
Dalam hal ini, peran media juga sangat penting dalam memberikan informasi yang akurat dan transparan tentang tindakan korupsi yang terjadi, serta memberikan tekanan publik terhadap pemerintah dan perusahaan untuk bertindak secara jujur dan transparan.
Dalam kesimpulannya, fenomena kejahatan korupsi di Indonesia merupakan masalah serius yang membutuhkan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari semua pihak. Diskursus Edwin Sutherland tentang kejahatan korporasi dan kejahatan ekonomi dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang sifat dan penyebab kejahatan korupsi, serta memberikan panduan dalam mengatasi masalah tersebut.
Daftar Pustaka
Muhamad, Rusli. 1994. Korupsi Sebagai Suatu Bentuk White Collar Crime. https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/234/pdf
Hermawan. 2022. Online. Korupsi Ditinjau dari Perspektif Teori Asosiasi Diferensial. https://yoursay.suara.com/kolom/2022/06/19/160536/korupsi-ditinjau-dari-perspektif-teori-asosiasi-diferensial
Rorie, Melissa L. The Handbook of WhiteCollar Crime. https://www.jstor.org/stable/2095761
Siahaan, Nikolas Hamonangan. 2019. Keberadaan Kerah Putih dibalik Kasus Pencucian Uang. https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html
Maxki. 2023. Online. Apa Itu Kejahatan Kerah Putih? Penyebab dan Jenisnya?. https://umsu.ac.id/berita/apa-itu-kejahatan-kerah-putih-penyebab-dan-jenisnya/
Sinaga, Diannitami Nauli. White Collar Crime BUMN di Indonesia merupakan Penyimpangan Sosial. https://magisteroflaw.univpancasila.ac.id/2022/11/15/white-collar-crime-bumn-di-indonesia-merupakan-penyimpangan-sosial/
Jupri. 2013. Label Koruptor Ciptakan Efek Jera. https://www.negarahukum.com/label-koruptor-ciptakan-efek-jera.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H