Jemari-jemariku malah bergerak seperti sebentuk sisir menyisir rambut hitam legamnya itu. Tak kudapati selembar pun rambutnya tertinggal diantara jemariku. Atau kilatan warna putih diantara gumpalan rambut hitamnya.
"Buatku, rambutmu tetap sama indah ketika pertama kali kita bertemu. Meski tak sepanjang dahulu, rambutmu tetap memesonaku. Ia tak kan lapuk dipuji biar panjangnya telah berkurang jauh."
"Kau ingat ketika pertama kita bertemu di pintu asrama itu?" perempuan itu mendadak membawa anganku pada suatu ketika.
"Ya," jawabku singkat.
"Aku baru saja mengeringkan rambutku dan kau datang hendak menemui keponakan yang adalah temanku. Kumarahi kau karena aku kaget tak siap menerima tamu. Tapi, matamu justru memandang aneh padaku. Pada rambutku."
"Aku bukan memandang aneh, sayang. Aku memandang kagum," bantahku halus. "Diantara kesibukanmu sebagai calon perawat, kamu bisa begitu telaten merawat salah bagian keindahanmu."
Perempuan itu tersenyum.
Ia sebentar memandangku. Tangannya melingkar ke pinggangku. Kurasakan ada aliran kehangatan yang ia tawarkan di sana. Tentu saja, aku terima dengan senang ria. Bukankah itu perlambang kedalaman hati atas apa pun yang sudah terjadi?
Aku memandang perempuanku terkasih ini.
Detik yang terkumpulkan menjadi waktu kemudian menjadi hari, berlalu bersama niatku untuk menyuntingkan hidupku bersama hidupnya. Selamanya.
Semula banyak keraguan menimpa hati. Hingga akhirnya kebulatan atas niat suci menjadi perekat tak terganti.