"Kalau bergincu?"
Ulasan tanganku berhenti. Sebentar kulihat bibirnya nan memerah delima. Berbentuk seperti lengkungan yang ditengahnya melegok sedikit. Begitu indah.
Lebih lembut kusentuh bibirnya. Ia memejamkan mata. Merasakan sensasi yang mungkin tersetrumkan lewat sentuhan lembutku tadi.
"Bibirmu sudah cukup berkesumba. Tak perlu ditambahkan bahan-bahan lain selain bahan asli dari alam. Bagiku, bibirmu telah sempurna."
Desah nafas terdengar dari lubang hidungnya.
Laksana nyanyian embun pagi yang memberi goresan lain di kaca kamar. Menyegarkan sekaligus menggugah sanubari terdalam.
Aku memandang perempuanku terkasih ini.
Rambutnya yang tergerai indah, melambaikan rinai-rinai aroma perawatan dari tangan. Dia memang sangat telaten mengerjakannya. Sejak kecil hingga ia perlakukan pula pada si kecil kami yang mulai bertumbuh dewasa.
Ia yang dengan rajin meramu daun lidah buaya hingga tersulap menjadi ramuan rambut yang mantap. Dikerjakan sendiri dengan nyanyian hati dalam ketulusan.
"Rambutku mulai memutih. Beberapa kali kudapatkan rontok di sisir," keluhnya pelan.
Aku tidak peduli.