"Dimana aku?" tanyaku saat ibuku datang membawa segelas air putih.
"Di rumah mantan suamimu." jawab ibuku sambil menyuruhku meminum air yang baru saja dibawanya.
Setelah segelas air yang aku minum habis, aku baru sadar telah terjadi sesuatu pada mas Darma.
Sayup-sayup aku mendengar beberapa orang membaca surah yasin, seketika aku sadar dan bangkit.
"Nduk gantilah jilbabmu dengan jilbab ini." pinta ibuku sambil mengulurkan jilbab warna hitam.
Segera aku mengganti jilbab warna merah muda yang aku pakai dengan warna hitam, air mataku tiba-tiba menetes saat teringat janji mas Darma untuk kembali menjadi suamiku, kini dia telah pergi selamanya, aku hanya bisa bersabar.
Di ruang tamu para tetangga sedang membacakan tahlil untuk mendoakan mas Darma, aku menatap jasad mas Darma yang sudah tidak bernafas lagi dengan derai air mata, dia tersenyum manis, mungkin sekarang dia sudah tenang di alamnya.
"Semoga Allah memberikan tempatNya yang terbaik untukmu, tempat yang layak tentunya insyaAllah kita bertemu di JanahNya....aamiin..." ucapku lirih.
Acara pemakaman dilaksanakan sebelum adzan ashar, aku ikut mengantarnya sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir, aku menabur bunga mawar putih dan merah di atas pusaranya setelah prosesi pemakaman itu berakhir.
"Bu, aku yakin mas Darma di sana tidak ingin melihat kita bersedih, ikhlaskanlah bu...." bujukku pada ibu mas Darma yang masih menangis memeluk pusara anak lelaki satu-satunya.
"Ini semua gara-gara Diandra, Anggun..." ucapnya dengan lantang.
"Bu, sudahlah percuma disesali mas Darma tidak akan kembali lagi, ibu yang sabar ya... Kelak Anggun yang akan menjaga ibu, biarkanlah Anggun yang menjadi anak ibu..."
Wanita itu memeluk tubuhku dan menangis terisak, dia kini sendirian, karena saat aku berada di Hongkong suaminya telah meninggal terlebih dahulu. Aku bermaksud merawatnya dan menganggapnya seperti ibuku sendiri, semoga nanti calon suamiku mau menerima keberadaannya.
Adzan ashar berkumandang, aku mengajak ibu mas Darma pulang ke rumah, kamipun menuju rumah mas Darma yang dulu pernah kami tempati saat sebelum bercerai.
"Anggun, ini titipan anakku sebelum meninggal..." ucap ibu mas Darma dengan menyerahkan map berwarna hijau kepadaku, dengan ragu-ragu aku menerimanya dan membaca satu persatu isi map tersebut.
Mas Darma mengganti nama kepemilikan rumah menjadi namaku, sedangkan tabungan yang berupa uang untuk biaya merawat sang ibu atas pengawasanku.
Disurat itu terselip kertas kecil hasil tulisan tangan mas Darma.
"Anggun, tempatilah rumah ini bersama suamimu, jika dia tidak mau kamu boleh menjualnya, rumah ini sebagai nafkah untukmu selama aku menjadi suamimu dulu..."
Aku menitikkan air mata, rupanya mas Darma sudah mempersiapkan segalanya.
"Terimakasih maass...." bisikku dalam hati.
*****
"Angguuunnn...." panggil ibuku.
"Daleeemmm bu..., ada apa?"
"Itu Ihsan sama keluarganya datang, ayo keluar." teriak ibu dari luar kamarku.
Aku segera memakai jilbabku dan keluar menuju ruang tamu, aku mengucap salam dangan taklim kepada keluarga Ihsan. Adikku Dian sudah terlebih dahulu duduk manis di sofa, dia asyik berbincang-bincang dengan ibu Ihsan.
Aku segera pergi ke dapur untuk membuatkan minum beserta menyiapkan makanan kecil di piring.
"Nduukkk, sudah belum?" tanya ibuku.
"Sampun bu..." jawabku sambil membawa nampan yang berisi kue kecil ke ruang tamu.
Aku mempersilahkan mereka untuk meminum teh manis dan mencicipi makanan kecilnya. Saat mereka lagi sibuk berbincang Ihsan memberikan kode untuk mengajakku keluar.
Aku mengikutinya dari belakang, lalu dia duduk di kursi yang sudah tersedia di teras rumah.
"Bagaimana perasaanmu Ndari?"
"Maksut mas Ihsan?"
"Aku turut berduka cita Ndari, atas meninggalnya mantan suamimu."
"Darimana mas tahu?"
"Dari adikmu."
Aku terdiam sejenak mengambil nafas yang terasa berat, aku menerawang memandang jalan aspal yang ada di depan rumahku.
"Ndari..."
"Hmmm..."
"Kamu masih mencintainya?"
Aku tidak menjawab namun kepalaku menggeleng pelan.
"Kamu tidak mau mencintaiku?" tanyanya kemudian.
Aku menggeleng lagi, kali ini aku melihat Ihsan menatapku tajam.
"Tunggu sebentar..." ucapku, lalu aku segera masuk kedalam rumah dan menuju kamarku mengambil peninggalan mas Darma, dan kembali menemui Ihsan.
"Ini bacalah...." suruhku pada Ihsan sambil menyodorkan map hijau peninggalan mantan suamiku.
Dia membuka dan melihat satu persatu isi dari map tersebut, tampak keterkejutan dari raut wajahnya, aku tahu dia pasti mengerti alasanku mengapa tidak segera menjawab pertanyaannya.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H