"Bu, sudahlah percuma disesali mas Darma tidak akan kembali lagi, ibu yang sabar ya... Kelak Anggun yang akan menjaga ibu, biarkanlah Anggun yang menjadi anak ibu..."
Wanita itu memeluk tubuhku dan menangis terisak, dia kini sendirian, karena saat aku berada di Hongkong suaminya telah meninggal terlebih dahulu. Aku bermaksud merawatnya dan menganggapnya seperti ibuku sendiri, semoga nanti calon suamiku mau menerima keberadaannya.
Adzan ashar berkumandang, aku mengajak ibu mas Darma pulang ke rumah, kamipun menuju rumah mas Darma yang dulu pernah kami tempati saat sebelum bercerai.
"Anggun, ini titipan anakku sebelum meninggal..." ucap ibu mas Darma dengan menyerahkan map berwarna hijau kepadaku, dengan ragu-ragu aku menerimanya dan membaca satu persatu isi map tersebut.
Mas Darma mengganti nama kepemilikan rumah menjadi namaku, sedangkan tabungan yang berupa uang untuk biaya merawat sang ibu atas pengawasanku.
Disurat itu terselip kertas kecil hasil tulisan tangan mas Darma.
"Anggun, tempatilah rumah ini bersama suamimu, jika dia tidak mau kamu boleh menjualnya, rumah ini sebagai nafkah untukmu selama aku menjadi suamimu dulu..."
Aku menitikkan air mata, rupanya mas Darma sudah mempersiapkan segalanya.
"Terimakasih maass...." bisikku dalam hati.
*****
"Angguuunnn...." panggil ibuku.