Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika dalam Berperilaku Menumbuhkan "Kebahagaiaan" dalam Pemikiran Sokrates

16 Oktober 2021   18:49 Diperbarui: 16 Oktober 2021   18:58 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebahagiaan dalam Etika (Dok.Pri)

Sokrates lahir di Atena pada tahun 470 sM. Ia anak seorang pemahat yang bernama Sophronikos, dan Ibunya bernama Phairnarete, yang pekerjaannya seorang bidan. Dia menikah dengan seorang wanita yang berciri --ciri tiranik atau campuran. Isterinya bernama Xantipe yang dikenal sebagai seorang yang judes (galak dan keras). 

Dia memiliki tiga orang anak laki-laki. Ia dari keluarga yang kaya dengan mendapatkan pendidikan yang baik, kemudian menjadi prajurit Athena. Ia terkenal sebagai prajurit yang gagah berani.  Karena ia tidak suka terhadap urusan politik, maka ia lebih senang memusatkan perhatiannya kepada filsafat, yang akhirnya ia dalam keadaaan miskin.

Walaupun dia tidak ikut campur dalam politik, dia sangat memperlihatkan keberaniannya untuk membela kebenaran. Sokrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai objek pemikiran filsafatnya. 

Berbeda dengan kaum sofis lainnya, yang setiap mengajarkan pengetahuannya selalu memungut bayaran, tetapi Sokrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya. Sehingga ia dituduh oleh kaum Sofis sendiri memberikan ajara barunya, yang merusak moral para pemuda, dan menentang kepercayaan negara. 

Dalam sidang, Sokrates membela diri yang kemudian disebut oleh plato sebagai Apologia yang berarti pembelaan Sokrates.[9] Dalam pembelaannya itu Sokrates menggunakan data-data yang valid. Namun, walaupun sokrates berusaha membela diri, dia tetap kalah dalam sidang karena yang membela dia lebih sedikit daripada yang menuntutnya. 

Murid-muridnya berusaha untuk melepaskannya dari hukuman apabila Sokrates mau mencabut kata-katanya atau pengajarannya. Tetapi, Sokrates tidak mau melakukan hal itu, sebab ia lebih mengutamakan kebenaran daripada nyawanya sendiri. Kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM. 

Sejak muda Sokrates telah terlihat sifat kebijaksanaannya, karena selain ia cerdas juga pada setiap perilakunya dituntun oleh suara batin (daimon) yang selalu membisikkan dan menuntun ke arah keutamaan moral. 

Cara memberikan pelajaran kepada para muridnya adalah dengan berdialog (tanya-jawab), yang bertujuan untuk mengupas kebenaran semu yang selalu menyelimuti para muridnya. Kebenaran semu tersebut muncul karena ketidaktahuan para muridnya tentang hal-hal tertentu. Dengan cara berdialog pengetahuan semu akan terdobrak sehingga mampu keluar dan melahirkan pengetahuan yang sejati.  

4. Pemikirannya

Menurut Sokrates, tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin.[10] Jiwa manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu (psykhe) adalah inti sari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab.[11]  Oleh karena jiwa adalah inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (eudaimonia) yang memiliki jiwa yang baik (daimon),[12] yang lebih daripada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah yakni kesehatan, kekayaan, dan lain-lainnya. Membahagiakan jiwa tidak hanya dipahami secara sempit tetapi secara meluas. Bukan berarti hanya mencakup aspek-aspek kemanusiaan saja melainkan seluruh aspek-aspek yang dimiliki setiap orang. Apabila aspek kemanusiaan itu tercapai dengan baik maka kehidupan setiap orang pun akan terbentuk dengan baik.

        Menurut Sokrates, alat untuk mencapai kebahagiaan ialah kebajikan atau keutamaan (areta).[13] Dengan memiliki kebajikan atau keutamaan (arete), berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia pula. Keutamaan (arete) adalah pengetahuan.[14] Pengetahuan sejati atau pengertian sejati sangat penting dalam mencapai keutamaan moral. Barangsiapa yang mempunyai pengetahuan sejati berarti memiliki keutamaan moral yang mencapai kesempurnaan hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun